Setelah melakukan banyak pertimbangan, akhirnya Lubna benar-benar mengikuti kelas mentoring bersama Albhi. Sebelumnya Lubna sudah meminta agar profesional yang akan menjadi mentornya bukan Albhi atau laki-laki lain. Lubna ingin diberikan mentor perempuan. Meskipun ia sudah mengantongi izin Raf dan tujuannya mengikuti mentoring ini adalah ingin menyelesaikan masalah dirinya sendiri, Lubna tetap merasa tidak nyaman jika harus bertatap muka dengan laki-laki.
Mendengar penjelasan itu, Albhi mengangguk paham dan menawarkan solusi lain. "Kamu bisa chat atau telepon aja, Na, nggak perlu pakai video call. Meskipun saya perlu tahu ekspresi dan gestur kamu, tapi kenyamanan kamu lebih utama. Lagipula, saya kenal kamu sudah lama. Saya tahu gimana respons kamu terhadap pertanyaan-pertanyaan saya."
Maka inilah yang Lubna lakukan sekarang: menatap senja di balkon kamarnya sambil mendengarkan Albhi yang memulai sesi mentoringnya. Sejak tersambung dengan Lubna sepuluh menit yang lalu, Albhi sudah melemparkan beberapa pertanyaan yang hanya Lubna jawab seperlunya.
"Jadi, apa yang kamu rasakan?" Albhi bertanya sekali lagi. "Apa ini mirip seperti waktu itu? Waktu kamu datang ke seminar saya dengan semangat hidup yang nyaris hilang?"
"Bukan, Bhi, bukan." Lubna menggeleng tegas. "Jauh berbeda. Waktu itu, aku sudah kehilangan semuanya. Itu alasannya aku merasa udah nggak ada gunanya lagi aku hidup. Tapi sekarang ... aku nggak kekurangan apa-apa. Aku punya keluarga kecilku. Ada Mas Raf, ada Ghazi dan Gia. Semuanya lengkap, Bi. Aku nggak kehilangan apa-apa."
"Kamu yakin?" Albhi bertanya untuk memastikan jawaban Lubna.
"Iya. Apa aku terdengar seperti orang bohong?"
"Bukan, Na." Albhi terdiam sejenak. "Dari yang saya lihat, kamu nggak kehilangan apa-apa, kecuali diri kamu sendiri."
Mendengar jawaban Albhi, Lubna tersentak. Setelahnya, ia hanya terdiam dan membuang napasnya dengan berat.
"Lubna?" Albhi kembali membuka suara. "Apa perkataan saya sebelumnya buat kamu merasa nggak nyaman?"
"Iya."
"Kenapa?"
"Karena aku mau menyangkal itu, tapi bagian dalam diri aku bilang kalau ucapan kamu benar. Semuanya kontradiktif, Bhi. Aku nggak tahu sampai kapan harus berdiri di antara dua hal yang berlawanan. Dua-duanya buat aku terhimpit ...."
Albhi terdiam beberapa saat. "Nggak ada yang meminta kamu berdiri di sana, Na. Kamu bisa pergi kapanpun kamu mau."
"Bukannya aku nggak mau, Bhi. Aku nggak bisa ... Maksudnya, aku lagi mencoba juga. Tapi aku nggak yakin akan berhasil."
"Kenapa?" tanya Albhi, "kenapa kamu nggak yakin akan berhasil?"
"Aku terlalu sayang sama anak-anak ....," lirih Lubna, "rasanya nggak siap kalau mereka tumbuh tanpa abinya."
"Itu aja?"
Lubna menggumam sejenak. "Dan ... aku terlanjur sayang sama Raf."
Hening beberapa saat. Yang Lubna dengar hanyalah hela napas Albhi di ujung telepon. Lubna membayangkan Albhi kehabisan kata-kata untuk menyambung obrolan ini dengannya--persis seperti tujuh tahun yang lalu. Saat itu juga obrolan mereka lebih banyak diisi hening alih-alih dipenuhi ocehan Lubna atau nasihat-nasihat dari Albhi.
"Oke." Albhi akhirnya kembali bersuara. "Itu urusan hati kamu sama Raf. Saya nggak akan ikut campur. Lagipula, kamu juga bilang kalau kamu sudah ketemu married consultant. Yang mau saya tahu, perasaan kamu sendiri gimana, Na? Perasaan kamu ke diri kamu. Ke dunia kamu. Ke hari-hari yang kamu jalani. How was your day?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Persinggahan Sementara [On Hold]
Espiritual[BUKU KEDUA DWILOGI RIHLAH CINTA] Sejak awal menikah dengan Raf, Lubna sudah tahu bahwa sampai kapanpun, ia tidak akan pernah menjadi yang pertama dan utama. Tanpa menjelaskan apapun, dari sudut mata Raf yang selalu sendu saat melihat album dengan j...