Kalau kamu bertanya-tanya, maka jawabannya, "Nggak, aku sama Raven nggak oho-oho."
Ciuman itu begitu nikmat tetapi Raven harus mengakhirinya dengan kalimat, "Yuk, balik ke hotel. Besok kita pulang ke Jakarta pagi-pagi." Jadi kami meninggalkan bukit yang belakangan kuketahui bernama Bukit Love, lalu tertidur berpelukan hanya mengenakan pakaian dalam.
Nggak ada kata-kata kayak, "Mau nggak mau kamu jadi pacarku?" kayak yang dilakukan anak SMA. Karena pertama, ini Raven. Masa iya dia perlu melakukan itu setelah mencium cewek-cewek yang dia mau. Lalu kedua, ini Raven. Untuk apa dia jadi pacar Raden Oneng gadis miskin dari Kalideres yang prestasi membanggakannya adalah bikin perkedel dan menjadi Employee of the Month?
Itu sama saja kayak mengharapkan Jakarta bebas macet. (Dibaca: nggak mungkin.)
Untungnya, aku tahu diri. Setelah ini, aku akan kembali bekerja di High End dan menjalani kehidupan normalku. (Mudah-mudahan Raven tetap membayarku setidaknya 20 juta sambil melupakan bahwa aku pernah bilang, "Seikhlasnya." Di keluargaku, seikhlasnya berarti memberikan amplop kosong.)
Aku harus melupakan semua hal mendebarkan yang kulakukan bersama Raven. Adegan bathtub, pijat memijat, ciuman di bukit, itu semua PHP. Sebelum aku sakit hati, kudeklarasikan saja bahwa Raven hanya main-main. Dia hanya bersikap seperti semua cowok kaya raya nan ganteng yang sering kulihat di TV: hobi mempermainkan cewek.
Aku hanya bisa bersyukur aku menjadi salah satu korban. Seenggaknya aku punya bahan cerita untuk kuobrolkan dengan Yuni. Malah mungkin Yuni iri. Bisa jadi dia juga ingin dipermainkan Raven seperti yang kualami.
Sudahlah.
Aku menarik napas panjang sekali sebelum tidur. Berulang-ulang dalam hati kukatakan, "Raven nggak cinta kamu. Raven nggak cinta kamu. Raven nggak mungkin jatuh cinta sama kamu." Kemudian aku teringat beberapa siaran telenovela yang disukai ibuku, yang DVD-nya Ibu beli di pasar karena harganya hanya Rp5.000. Di mana aku terpaksa menonton selama bulan puasa karena di rumah kami TV-nya hanya satu.
"Aku bukan Esmeralda. Aku bukan Esmeralda. Raven bukan Jose Armando. Cinta kami tidak mungkin bersatu."
Kalau kupikir-pikir, telenovela itu tayang bahkan sebelum aku lahir.
Esok paginya aku terbangun oleh gedoran di pintu. Aku bangun terlebih dahulu sehingga aku sempat mengambil ponsel dan melirik layar. Pukul setengah enam pagi.
"Bos? We got a situation here." Itu Martin.
Raven terbangun sambil mendongakkan kepala. Dia melirik ke arahku, lalu perlahan-lahan turun dari tempat tidur. Aku ikutan turun untuk mengambil handuk dan membungkus tubuhku supaya Martin tidak melihatku telanjang. Dari kamar mandi, aku mengintip Raven membukakan pintu dan menemui Martin yang tampak sudah siap berangkat.
"Pesawat yang kemarin nggak berhasil dapat release dari Halim. Pilotnya baru infoin ke saya soal VIP movement dan military activity. General aviation dilarang take off sampai pukul 12 siang."
"Okay, ada alternatif flight ke Cengkareng yang lebih pagi? Charter maupun berjadwal?"
"Flight pertama keluar dari Karimunjawa jam 12 siang. Maskapainya Wings Air, tujuan Semarang. Itu pun tiket sudah habis karena ada rombongan Kemdikbud ngadain penataran di sini. Hari ini mereka pulang juga ke Jakarta."
Raven berdecak kesal karena sebuah hal terjadi di luar rencananya.
"Saya ada opsi lain, tapi saya nggak tahu apa Bos bakalan setuju atau nggak," ungkap Martin hati-hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Rich Man Who Controls Everything
RomanceMonika, nama palsu (please jangan kasih tahu nama aslinya siapa) menganggap dirinya gadis sial yang lahir di keluarga miskin. Sampai umur sembilan belas tahun, pencapaian terbaiknya adalah menjadi Employee of the Month sebuah depstor kenamaan di Jak...