Di bumi ini ada banyak hal yang mempengaruhi perilaku kita.
Maksudku, apa yang kita lihat, apa yang kita dengar, apa yang kita baca mempengaruhi apa yang kita pikirkan.
Apa yang kita pikirkan, mempengaruhi apa yang kita lakukan dan apa yang kita bicarakan. Sebagai manusia, dalam menjalani aktivitas aku sangat ingin melaluinya tanpa ada halangan. Sayangnya, hal yang mempengaruhi ini ada yang bisa aku kendalikan ada yang tidak.
Hari minggu, pagi-pagi sekali aku terbangun di atas ranjang kosanku dengan rambut berantakan seperti singa dan baju yang entah mana depan dan belakang. Rasanya kurang lengkap kalau tidak buka handphone, kulihat ada sebuah pesan suara dari Mawang. Yap, betul sekali kami masih rutin mengobrol. Kali ini ada perkembangan, kami mengobrol pakai aplikasi chat tidak hanya di instagram lagi.
Tapi, setelah kupikir-pikir lagi aku aga merasa mudah sekali memberikan nomorku pada Mawang. Jadi ceritanya ketika di rumah setelah membicarakan banyak hal Mawang membahas tentang sejarah Jampang dan sejarah tempat tinggalku.
Mawang bilang begini "ah hese ngajelaskena, kudu di VN," (ah susah jelasinnya harus di VN) katanya.
Dengan mudahnya kemudian, ku kirim nomor handphone miliku dan bilang "tah nomber HP urang, VN we didinya," (tuh nomor handphoneku, VN aja disitu) jawabku.
Setelah itu, aku dipanggil mamah ke dapur dan melupakan handphoneku. Sekembalinya aku ke kamar, ada sebuah pesan suara dari nomor baru. Setelah aku dengar, aku langsung tau itu Mawang yang belum sempat kulihat display picture-nya.
Sampai akhirnya, perkuliahan sudah mulai kembali dan aku sudah kembali ke kosan. Mawang dan aku masih berhubungan. Seringkali, kami mengobrol menggunakan pesan suara untuk sekedar mendengar suara bangun tidurnya, suara biasanya, suara tertawanya, bahkan suara batuknya.
Memang Mawang ini orang yang tidak tahu situasi sepertinya, dalam segala suasana akan selalu dia balas pesanku, termasuk pagi itu. Dengan suara bangun tidurku kami tidak berhenti saling bertukar pesan suara dan anehnya, aku menikmati percakapan pagi itu yang tidak bermanfaat tapi penuh dengan tawa yang kalau kupikir lagi enggak lucu-lucu amat, asli, serius deh.
Waktu itu kuliah begitu membosankan dan memuakan. Mendengarkan penjelasan dosen tentang pengetahuan umum yang membosankan. Mau mengadakan kegiatan organisasi pun rasanya menyakitkan.
Kenapa?
Salah satunya karena aku merasa kampusku adalah kampus yang pilih kasih. Ada satu daerah kampus dimana hanya boleh dipakai untuk aktifitas organisasi ekstra kampus, diluar itu kami tidak diperbolehkan memakai daerah tersebut. Aku merasa marah dan kecewa luar biasa, maksudku aku bayar BOP, BPP dengan tepat waktu dan membayar dengan uang halal dari kedua orangtuaku. Begitu juga, beratus-ratus mahasiswa lain. Tapi fasilitas itu hanya boleh digunakan oleh mahasiswa yang mengikuti organisasi ekstra tertentu. Gila kali, dongkol sekali rasanya.
Masa-masa itu berangsur tidak terlalu terasa karena kehadiran Mawang. Maksudku, ketika aku bersamanya rasanya ditengah lomba lari ini aku lari keluar arena dulu dengan menikmati waktu kami bersama tanpa terbebani persaingan lomba lari yang sedang kujalani. Mawang adalah distraksi yang sangat kusukai.
Hingga akhirnya aku sadar, sebuah distraksi tidak lantas membuat aku lebih cepat sampai finish dari lomba lari ini. Melainkan hanya membuat aku lupa untuk kemudian kembali mengejar ketertinggalan. Tapi tetap aku biarkan, kamu tahu? Menurut Freud saja manusia itu mengejar rasa bahagia. Begitupun aku ketika itu menghindari perasaan yang tidak kusuka dan berdiam dalam perasaan menyenangkan yang memang fana.
Suatu hari ketika liburan semester, ketika aku dirumah tiba-tiba tercipta percakapan aneh tapi sangat berkesan bagiku. Mawang bercerita tetang hubungan Maret dan Soni. Dia bilang jalan-jalan dengan pacar itu menyenangkan, kubilang jalan-jalan dengan teman lebih menyenangkan. Sampai akhirnya dia bilang
"Maneh te percaya? Hayu buktiken," (lu enggak percaya? Ayo buktiin) katanya.
"ha? Kumaha ai maneh?" (ha? gimana si lu?) jawabku, heran.
"Iya, maneh jadi pacar urang nanti urang ajak jalan-jalan liat asyik enggak," (iya, lu jadi pacar gue nanti gue ajak jalan-jalan liat asyik enggak) katanya.
Karna chat sebelumnya pun bercanda aku kira chat itupun bercanda jadi kujawab "heeh hayu," (iya ayo) jawabku.
"Benernya? Cak maneh kabogoh urang," (bener ya? Fix lu pacar gue) katanya.
Aku sempat kaget, untuk memastikan, kutanya lagi.
"Ha? Maneh heureuy kan?" (ha? Lu becanda kan?) tanyaku.
"Henteu atu beneran," (nggalah beneran) katanya.
Aku benar-benar speechless, apa yang harus aku lakukan aku tidak berniat pacaran. Tapi disisi lain aku merasa aga baikan aku merasa tidak terlalu buruk karena ada orang yang menginginkan aku menjadi pacarnya. Aku pun cerita ke Maret tentang hal ini karena memang maret dan Mawang cukup dekat.
Setauku hal yang tidak bisa dikendalikan itu adanya diluar diriku sendiri.
Aku salah, Aku sudah meykinkan diriku jangan gembira tapi dia gembira.
Aku bilang pada diriku jangan memberi tahu maret semuanya, sayangnya saking semangatnya aku menceritakan semuanya ke Maret.
Meski begitu, karena masalah ini aku merasa baikan. Maksudku aku sejenak lupa dengan kebusukan hidup ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Proton
ChickLit"Keja bodoh! tidak ada hal baik dalam dirimu," ucapku di depan cermin. Seandainya saja aku proton, barangkali elektron mau mengelilingiku, mencari keseimbangan yang bisa kuberi. Sayangnya, bahkan aku tidak lebih baik dari hal sekecil proton. Tidak a...