"Akan kutemukan jalan untuk pulang, jika memang tidak ada aku akan membuat jalanku sendiri. Tak perduli apapun risikonya."
Seperti yang kubilang sebelumnya, game FDVR dapat di akses menggunakan helm, namun di beberapa kejadian, game FDVR juga dapat di akses melalui headset yang telah di sesuaikan sehingga mampu menerima signal otak.
Sudah-sudah, aku tidak akan membebani otak kalian dengan teori-teori merepotkan, mari kita beralih pada pembicaraan yang lebih simple, pernah dengar rumor ini tidak? Tentang protagonis yang tersesat dalam aliran waktu, atau protagonis yang terdampar di dunia lain, mereka selalu berusaha keras untuk pulang, kan? Kenapa mereka mau pulang ke dunia seperti itu?
Dunia yang sekarang di penuhi kekacauan, irasionalitas dan ikonsitensi yang tidak berarti. Sementara orang-orang yang menyadarinya hanya bisa melahirkan suatu hasrat. Hasrat seperti, "Andai ada dunia lain yang jauh lebih baik."
Baiklah kalau begitu, biar kubantu mewujudkannya, mari kita tulis ulang takdir dunia dengan gaya yang lebih elegan sperti ini.
***
Aku berjalan terseok-seok, hanya sedikit cahaya rembulan yang menembus rimbunnya pepohonan, sesekali tersandung sulur-sulur menyebalkan atau menabrak pohon.
Sejenak aku terdiam, menyadari sesuatu, gameku sudah sempurna, hanya saja renderingnya sedikit lama. Ternyata aku memang benar-benar genius. Aku kembali menyelusuri hutan, mencoba mencari tempat yang cukup bagus untuk berkemah malam ini.
Setelah berjalan cukup lama, ku lihat cahaya terang di depan sana, sontak membuatku berlari menghampirinya, meskipun risikonya berulang kali terjerembab karena akar-akar pohon.
Setelah sampai di sana baru aku tahu, cahaya itu berasal dari pantulan air yang di terpa cahaya rembulan. Tempat ini jauh lebih menyenangkan daripada yang kubayangkan.
Kulemparkan kotak berukuran sedang yang langsung berubah menjadi tenda, jika kau tau seni melipat origami, kurasa tidak jauh berbeda dengan ini. Rembulan semakin membumbung tinggi, namun sialnya aku lupa membawa kotak p3k.
Semilir angin semakin mendingin, bahkan api unggun yang kubuat tidak banyak membantu, membuatku ingin mengumpat.
"Huuh kenapa aku lupa mengatur iklim dan geografisnya ...," gumamku seraya menggerutu
Belum sempat menyelesaikan bualanku sebuah anak panah meluncur tepat di depan mataku, membuatku membelak tak percaya. Pasalnya aku hanya membuat mob hewan, memangnya ada hewan yang bisa memanah?
Sementara dari tempat anak panah itu datang muncul sesosok pria muda dengan penampilan acak-acakan, kemeja putih yang di keluarkan sebagian di padukan dengan celana hitam dan rambut yang tak kalah berantakan.
"Terlalu tampan untuk ukuran mob," mataku memperhatikannya dari ujung kaki sampai ujung rambut.
"Apa kau manusia?" Tanyanya membuatku ambigu
"Jadi kau benar-benar mob ya?" Gumamku sambil mengangguk-angguk
"Tentu saja aku manusia, kau yang aneh. Terutama telinga hewanmu itu." Jawabanya tanpa menoleh ke arahku.
Ia mencelupkan tangannya ke aliran air yang sangat dingin, lalu menyapukan ke seluruh wajah, yang di lanjutkan dengan merapikan rambutnya dengan tangan. Meninggalkan poni basah yang meneteskan air.Sontak aku melepaskan headsetku, "Aku manusia, ini hanya headset," ujarku sembari menyodorkan headsetku, membuatnya menoleh lalu memperhatikanku dari bawah sampai atas.
"Dari pakaianmu sepertinya kau pendatang," cercanya
Ia menghela nafas kemudian melipat tangan di depan dada, "selain itu, untuk apa seorang gadis berkemah di tempat seperti ini ... dan juga lukamu cukup parah, ikut aku dan aku akan mengobatimu. Mungkin kita akan dapat petunjuk tentangmu di kota." Tuturnya satu arah, di sertai tatapan tajam.
Aku segera membereskan tendaku-- mengembalikannya ke bentuk semula, membuat pria dibelakangku mengerutkan alis, lalu beranjak mematikan api unggun yang kubuat. Tubuhnya yang lebih tinggi dariku membuatku harus mendongak untuk menatap wajahnya.
"Ikuti aku, jangan buang-buang waktu hanya untuk menatapku seperti itu," ujarnya lagi sembari berjalan memasuki hutan
***
"Jadi nona, dari mana asalmu?" Selidikinya seraya mengikat perban di pergelangan tanganku.
"Amethys distrik 23," jawabku yang masih sibuk memperhatikan caranya membalut luka.
"Hmmm ... siapa namamu?" Tanyanya lagi sambil merapikan alat-alat yang digunakan untuk mengobatiku
"Areolla Tynetta, dan kau?" Aku masih terduduk, memperhatikan pekerjaannya.
Tempat ini adalah perpaduan dari klinik dan rumah, mataku menelusuri setiap inci ruangan ini, tanpa menyadari bahwa seseorang itu sudah kembali duduk di depanku.
"Jadi Nona Areolla, apa maksudnya distrik 23, apa anda bercanda? Maksudku-- Amethys hanya punya 20 distrik," sahutnya seolah menyudutkanku, dan sialnya aku belum membuat ktp.
"Permisi, Dr. Sean?" Panggil seseorang dari luar ruangan
"Tunggu disini, aku harus mengurus yang satu ini ... ya tunggu sebentar," pungkasnya sambil berjalan meninggalkanku sendirian di ruang serba putih ini.
Jadi namanya Sean? Dan dia seorang dokter? Pantas saja ia sangat cekatan. Selain itu tempat ini seperti tidak asing bagiku, rasanya seperti déjàvu.
Satu jam berlalu namun belum ada penampakannya, yang benar saja apa dia berniat meninggalkanku sendirian di tempat mengerikan ini? Sesekali aku menguap, rasa kantuk sudah mengendalikanku.
Pukul empat dini hari seseorang memasuki ruangan, penampilannya tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, acak-acakan, hanya saja sekarang ia menggunakan jas putih yang mempertegas profesinya sebagai seorang dokter. Matanya menelusuri setiap inci ruangan, kemudian terhenti padaku yang masih setengah sadar.
Ia berjalan menghampiriku, melepaskan jasnya kemudian memakaikannya kepadaku sebagai pengganti selimut, ia tersenyum sekilas sebelum melenggang meninggalkan ruangan. Tidak banyak yang bisa kulakukan selain menuruti naluriku untuk tidur.
Meskipun setengah jiwaku masih terjaga, namun tetap saja ragaku butuh istirahat. Omong-omong dari mana orang itu ya? Membuatku penasaran saja. Belum lama sejak ia meninggalkan ruangan untuk kedua kalinya, ia kembali lagi, kali ini dengan penampilan yang lebih rapi dan wangi, tangannya meraih jas putih yang menyelimutiku, lalu menggantinya dengan sebuah selimut tebal yang menyelimuti seluruh tubuhku. Tentang yang kukatakan sebelumnya sepertinya sekarang aku yang mengalaminya. Duh apa-apaan ini, game super sampah.
"Aku tidak tau apakah aku bisa mempercayaimu, tapi untuk sekarang ini, kau pasienku, jadi sudah tugasku untuk melindungimu." Gumamnya sembari meyakinkan dirinya sendiri.
Ya tentu saja, setiap orang akan berusaha yang terbaik untuk tujuannya, karena itu aku harus pulang. Masih ada hal yang harus kuurus, Leon, Tante Allena, Om Juan, dan proyek yang terbengkalai. Akan kutemukan jalan untuk pulang, jika memang tidak ada aku akan membuat jalanku sendiri. Tak perduli apapun risikonya.
Tangannya menyentuh puncak kepalaku, memberikan sentuhan hangat yang sudah lama tidak aku dapatkan, membiarkan aku tenggelam dalam mimpi yang tak berujung. Ia kembali tersenyum sekilas lalu meninggalkan ruangan untuk kesekian kalinya, dan aku kembali sendirian bersama dengan segudang pertanyaan yang menghantuiku tentang alasan mengapa semua ini terjadi padaku.
####
Irasionalitas: perihal yang tidak masuk akal, tidak selaras atau berlawanan dengan rasio.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/IrasionalIkonsitensi: tidak taat asas, mempunyai bagian yang tidak bersesuaian, tidak serasi.
https://jagokata.com/arti-kata/inkonsisten.htmlMob: karakter dalam game kecuali player
Déjàvu: Déjàvu berasal dari bahasa Perancis yang berarti fenomena merasakan sensasi kuat bahwa peristiwa atau pengalaman saat ini sudah pernah terjadi di masa lampau
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Déjà_vu
KAMU SEDANG MEMBACA
RF 2018 [Pindah Platform]
Ficção CientíficaPada hakekatnya, manusia memang tidak pernah tau tentang apa yang akan terjadi di masa depan, jangankan meramal masa depan, manusia saja hanya tau 5% dari bumi, jadi kesimpulannya manusia tidak benar-benar tau, mereka hanya "sok tahu" Ah selain itu...