kali kedua

1.3K 131 12
                                    





"Windy, udah kamu istirahat dulu. Capek baru sampai," seru Ibu sesaat setelah melepas rindu dengan putri bungsunya yang baru saja berpulang dari pendidikan strata terakhirnya.

Memang sedih tak ada yang menemani kelulusan studi Ph.D Windy, tetapi kepergian salah satu anggota keluarga bukanlah hal yang dikehendaki. Salah satu paman Windy berpulang dua hari sebelum keberangkatan keluarganya ke Jerman.

Mungkin dalam setahun paling banyak dua kali Windy akan pulang, entah itu saat libur musim panas atau natal. Meski tidak bisa merayakan hari besar agamanya bersama keluarga, namun setidaknya Windy bersyukur dapat melepas rindu.

Suasana kamar wanita berusia 27 tahun itu terasa berbeda. Mungkin karena Ibu membenahi letak beberapa barang, membuat Windy berkeliling sekitar memastikan tidak ada yang dibuang oleh Ibu kesayangannya.

"Loh kok belum istirahat? Sok itu dibuka mantelnya," seru Ibu yang tiba-tiba menerobos masuk ke kamar.

Sementara Windy masih linglung mencari keberadaan kotak berwarna coklat tua yang biasanya dia taruh di rak buku, "Bu, kotak coklat yang biasanya disini dimana?"

"Kotak coklat? Isinya apa?" tanya Ibu seraya menaruh air putih di nakas dekat ranjang.

"Banyak... ada tiket-tiket nonton.. banyak deh pokoknya, Ibu buang gak?" Windy terdengar amat gelisah.

"Oh... yang ada bunga-bunga keringnya juga? Tsk, tadinya mau Ibu buang, tapi..." lalu Ibu membuka lemari kaca Windy dan mendapati kotak itu disana, "paling bawah ada sesuatu, jadi gak jadi deh dibuang" seringai Ibu aneh lalu menepuk pundak Windy dengan lembut, "jangan lupa istirahat" Ibu mengakhiri sebelum menutup pintu putih kamar Windy dari luar.

Setelah memastikan kamar terkunci, membuatnya lebih nyaman dengan membuka mantel musim dingin, wanita itu terduduk di ranjang lalu membuka kotak itu perlahan.

Windy menahan napasnya sebelum bau kenangan itu kembali memenuhi parunya. Satu persatu ia perhatikan semua kertas yang mungkin lebih cocok untuk dibuang bagi beberapa orang.

Bahkan uang Rp10.000 lama masih ia simpan dengan rapih, bernilai kecil bagi orang lain, namun bagi Windy, uang itu hanya satu di dunia bahkan jika dibuat duplikat tentunya berseri sama.

Tiket wahana permainan, bioskop, segala macam jejak masih ia simpan.  Tapi tak bisa ia kembali lagi, jejak itu tak menuntut balik. Ia harus terus menuju setapak yang baru, semakin hari semakin menjauh

Lalu ia dipaksa kembali mengingat hari itu.

"Calvin, maaf... aku gak bisa lanjutin hubungan kita," ujar Windy seraya menundukkan kepalanya.

"Hah? Aku gak salah denger, Dy?" respon Calvin menambah rasa sakit Windy.

"Maaf, Vin.. tapi... aku gak bisa-" dengan lantang Windy menatap mata besar Calvin, "kamu di Indonesia, aku di London. Aku udah nyoba satu semester ini, tapi maaf aku-" Windy benci tangis, "aku gak cukup dewasa untuk hubungan jarak jauh-" senggukan Windy menghentikannya sebentar sebelum memulai lagi dengan, "aku selalu cemburu saat lihat kamu sama teman-teman cewe kamu yang buat aku kadangan takut sendiri kamu gak cukup puas dengan kondisi aku," gadis itu menutup mulutnya dengan lengan, "aku- aku gabisa juga 'kan nahan kamu atau marah-marah karena kamu temenan sama cewek lain? Jadi-"

"Dy, apaan sih?" Lalu lelaki itu mencoba untuk menghapus air mata Windy yang justru membuatnya ingin menumpahkan seluruh tangis yang ia punya detik ini juga.

"Kalo kamu takut aku selingkuh, aku berani sumpah aku gak pernah,Dy," Calvin mencoba menggenggam jemari Windy, "Dy, jangan gini lah..." nada sendu lelaki itu membuat napas Windy terhenti sejenak.

imagine: wenyeolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang