SEBELUM KALIAN MEMBACA CERITA INI JANGAN LUPA BACA DOA !!
-
-
-🍁🍁🍁
Hari sudah beranjak pagi. Matahari sudah kembali dari persembunyiannya dengan awan cerah menghias di langit sana.
Sesuai perkataan Dimas semalam, tiga cowok itu pulang saat rembulan sudah berganti tugas dengan matahari. Rianda, Mila, dan Sindy menyambut kedatangan mereka. Semalaman mereka terjaga karena Silvi tak kunjung tenang dan tetap merajuk minta pulang. Barulah sekitar satu jam yang lalu gadis itu bisa diam dan kini tengah terlelap dengan mata yang sembab karena semalaman menangis. Sebenarnya mereka semua tak sampai hati membiarkan Silvi seperti itu, tapi mereka juga mengingat perjanjian sebelum menginjakkan kaki di hutan ini. 'Mereka datang ke hutan itu bersama-sama, maka keluarpun juga harus bersama-sama.'
"Gimana ?" Tanya Rianda membuka pembicaraan.
Dimas hanya menggeleng lemah. Pemuda bertubuh jangkung itu sepertinya kelelahan dan kurang tidur, nampak jelas dari lingkaran hitam di bawah matanya. Kini ditambah dengan pikirannya yang kalut karena merasa gagal menjadi ketua tim.
"Gue rasa perkataan Silvi ada benarnya deh. Entah kenapa feeling gue mengatakan kalo Tyo sama Nadia itu udah...." Rianda sengaja tak melanjutkan kata-katanya.
"Mati ? " Tanya Barok menaikkan kedua alisnya.
Rianda hanya mengangguk.
"Lo percaya sama omongannya Silvi ? Gue ngga nyangka loh, Rin. Pikiran lo ternyata belum sedewasa yang gue pikir, gue salah menilai lo. " Ujar Nugro dengan ketus.
"Rin, mimpi itu cuma bunga tidur. Wajar kalo kita semua mengalami mimpi buruk, apalagi tentang Tyo dan Nadia karena mereka berdua memang belum ada kabar sampai sekarang. Tapi bukan berarti mimpi itu akan menjadi kenyataan kan, Rin. Dan lo ngga bisa seenaknya ngambil kesimpulan kalo mereka berdua udah ngga ada hanya karena mereka belum ada kabar. " Imbuh Nugro.
"Gue ngomong kayak gini bukan tanpa alasan, Gro. Kalian semua harus tahu, semalam ada yang neror gue pakai nomor ngga dikenal. " Jelas Rianda, ingatannya kembali melayang pada kejadian tadi malam.
Mila tersentak mendengar penuturan dari Rianda, semalam ia memang merasa aneh dengan sikap gadis itu. Tapi Mila tak pernah menyangka kalau ada yang meneror sahabatnya.
"Neror ? Neror gimana maksud lo ?" Dimas menatap Rianda tajam.
Rianda menghembuskannya nafasnya perlahan, "Semalam....tepat beberapa menit setelah kalian pamitan sama kita, gue bermaksud buat nutup pintu karena hawanya dingin, tapi gue kaget karena handphone gue tiba-tiba bunyi. Pas gue liat ternyata ada panggilan masuk dari nomor tidak dikenal. Gue sempat curiga, tapi akhirnya gue angkat karena penasaran siapa yang nelpon gue malam-malam. Pas gue angkat, gue cuma dengar suara angin dari speaker. Gue mulai kesal, gue kira ada yang iseng sama gue, tapi lama-kelamaan suara angin yang gue dengar berubah jadi suara gamelan. Gue mulai emosi dan gertak si penelpon buat jawab apa tujuan dia nelpon gue, tapi yang gue dengar cuma..... Arini. "
Dimas mengrenyitkan dahinya, "Arini ?"
Rianda mengangguk antusias.
"Tapi di hutan ini nggak ada sinyal, Rin. Mana mungkin ada panggilan masuk " sanggah Barok.
"Gue juga nggak tau, Bar. Tapi tadi malam memang ada yang neror gue. "
"Alibi apa lagi ini, Rin ?" Nugro menatap Rianda tajam.
"Gue nggak ber-alibi, Gro. Ini real semalam- "
"Real ? Real kalo lo juga sama egois nya kayak Silvi. " Ujar Nugro.
Rianda membulatkan matanya, "Tapi- "
Nugro mengangkat tangannya tanda ia tidak mau mendengarkan penjelasan apapun, kemudian berjalan menjauh dari teman-temannya untuk menjernihkan pikiran.
Sindy mengelus punggung Rianda, "Udahlah, Rin. Mungkin lo cuma halusinasi, seseorang yang terlalu banyak pikiran biasanya sulit membedakan mana yang nyata atau tidak. "
"Gue ngga halusinasi, Sin. Gue semalam memang diteror. "
"Rin....tapi di hutan ini nggak ada sinyal, mana mungkin ada panggilan masuk. Waktu itu Barok pernah nyoba nelpon Tyo, itupun harus ke atas bukit dan hasilnya juga tetap nihil. Yang diucapin Sindy mungkin benar, lo cuma halusinasi, Rin. " Jelas Mila.
Rianda membuang nafasnya kasar. Rianda sangat yakin bahwa yang ia alami semalam bukan hanya sekedar halusinasi. Entah dengan cara apa ia bisa meyakinkan teman-temannya bahwa dirinya memang mendapat teror. Sementara Dimas, Barok, Mila dan Sindy memilih keluar menemani Nugro. Tapi sepertinya cowok itu sedang tidak ingin diganggu. Perubahan sikapnya menjadi tempramental menunjukkan bahwa Nugro benar-benar kehilangan sosok Nadia dalam hidupnya.
Rianda mengalihkan pandangannya pada seseorang yang tengah terlelap sambil mengigau, bulir-bulir bening sesekali terjatuh dari matanya. Dalam keadaan tidur pun Silvi masih menangis, itu artinya Silvi benar-benar tertekan atau yang lebih parahnya lagi dia depresi.
Di saat-saat seperti ini seharusnya Silvi mendapat perhatian lebih, apalagi gadis itu memiliki sifat yang mudah tersinggung dan gampang tertekan. Walaupun dari luar dia nampak seperti seorang gadis yang periang dan seolah tidak memiliki masalah hidup. Silvi pintar menyembunyikan kesedihannya pada orang luar, padahal dia begitu rapuh. Apalagi setelah kedua orang tuanya bercerai dan memutuskan untuk tinggal bersama keluarga barunya masing-masing, lalu meninggalkan Silvi hanya bersama sang nenek. Sahabat dan orang terdekatnya memiliki kewajiban untuk memberikan support agar keadaannya membaik, tapi sepertinya Silvi kurang mendapatkannya pada beberapa hari terakhir.
"Maafin kita ya, Sil. Persahabatan kita semua jadi renggang karena masalah ini. Gara-gara kita, keadaan lo bukannya semakin membaik justru malah sebaliknya. Kita janji, setelah kita semua menemukan Tyo dan Nadia kita akan pergi dari hutan ini secepatnya dan memperbaiki hubungan persahabatan kita seperti dulu." Ucap Rianda seraya mengelus rambut pirang Silvi.
"Gue yakin Sil, apa yang lo alami bukan hanya sekedar bunga tidur. Gue juga yakin kalau apa yang gue alamin semalam bukan sekedar halusinasi. "
Rianda menghentikan aktivitasnya mengelus rambut Silvi, ia seperti merasa ada yang aneh. Rianda menaruh punggung tangannya di atas dahi Silvi lalu sedetik kemudian ia membulatkan matanya. Tubuh Silvi terasa panas.
Rianda berusaha tetap tenang dan tidak panik walaupun hatinya begitu mencemaskan Silvi. Kemudian meraih ransel yang berada tak jauh dari tempatnya duduk, mengeluarkan kotak obat yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi. Rianda bisa saja memberitahu teman-temannya bahwa Silvi sedang demam tinggi. Namun disana juga ada Nugro, ia takut cowok itu malah menuduhnya yang macam-macam dan membuat keadaan Silvi semakin parah. Bukannya ingin berburuk sangka pada Nugro, tapi ia hanya berjaga-jaga melihat kondisi emosional Nugro yang saat ini sedang tidak stabil.
Dengan telaten, Rianda meminumkan obat penurun panas pada Silvi. Kemudian mengambil sebuah kain kecil untuk mengompres dahinya.
"Silvi lo tenang ya, gue disini ada buat lo" titah Rianda saat Silvi kembali mengigau.
Beberapa saat kemudian, Rianda merasa terganggu dengan suara bising dari luar rumah. Seperti suara orang yang tengah berkelahi.
-
-
-
-
-Sedih banget kalau hubungan persahabatan renggang. Pasti rasanya ada yang kurang.
Cuma mau ngingetin, kalau marahan sama sahabat jangan lebih dari tiga hari ya.
SATU LAGI WOYYY, VOTE AND COMENTNYA JANGAN LUPA. ( Author nyolot amat 😂😂)
KAMU SEDANG MEMBACA
RONGGENG
HorrorKe sembilan remaja itu tidak menyadari kalau nyawa mereka berada di ambang kematian. Desa Petilasan adalah desa angker. Dan hutan Ronggeng adalah sarangnya. JANGAN LUPA UCAP DOA SEBELUM MEMBACA CERITA INI !! *27 Maret 2020*