Duri

3.2K 284 0
                                    

Sugeng dalu, guysss
Nepatin janji. Bakal up 3 part malem ini.
Selamat membaca.
Sebelumnya, turut berduka cita atas meninggalnya Pakde Didi Kempot. Semoga diterima amal ibadahnya. Aamiin ...

“Setahun setengah tidak cukup mengenalmu, Mas. Kita memang berawal dari sama-sama asing dan aku tak tahu kata asing itu kapan meleburnya.”




Sejak tragedi penghancuran bunga anyelir kuning itu,  sepasang suami istri itu sama-sama diam. Abid diam dengan segala pikiran yang berkecamuk. Risel diam karena bingung bagaimana membuka obrolan.

Malam itu tak dihabiskan dengan duduk di teras belakang. Risel disibukkan oleh tangisan Alfath. Sejak selepas maghrib, Alfath yang biasanya sudah di alam mimpi tidak biasanya ia rewel. Haanya sempat memejamkan mata sepuluh menit lamanya, setelahnya lanjut menangis. Demikian dengan Risel, lima menit memejamkan mata pun rasanya tak tenang.

Sementara Abid tidur di atas karpet bulu depan televisi. Dari tadi, ia tak enak pikiran. Otaknya masih memutar kejadian dengan Ayu itu. Memori lama merasuk kembali. Tentu saja dengan ucapan Ayu saat memberikan anyelir kuning.

Ia pun sama tak bisa tidur. Tangisan Alfath juga mendukung untuk susah terlelap. Pikirannya terlalu ruwet untuk sekadar menenangkan Alfath ia tak bisa.

“Mas tolong dong!” teriak Risel saat tangis Alfath semakin kejer. Abid meraup mukanya kasar. Dengan langkah gontai ia masuk menemui Alfath.

Ia merengkuh Alfath, menariknya dalam dekapan. Tapi nihil! Alfath semakin kencang menangis. Abid geram, merasakan betapa pening otaknya itu.
“Cup Cup Cup ... Kenapa sih, Nak?” Abid menepuk-nepuk pelan bokong Alfath. Tapi tetap saja tangisnya tak berhenti.

“Mau asi mungkin,” lirih Abid menatap Risel. Dengan wajah sayu Risel menjawab, “Udah. Nggak mau.”

Abid melantunkan ayat suci untuk anaknya. Tak mau diam, ia mengalunkan shalawat sambil menggendong Alfath memutari ruang tamu.

“Ya Allah, Nak. Baba pusing lagi banyak pikiran. Cup ... cup ... siapa yang nakal? Sini Baba pukul!”

“Anaknya jangan diajarin mukul orang!” sergah Risel. Ia mengambil alih Alfath dari Abid.

Kakinya melangkah ke teras belakang. Ia membawa Alfath duduk di bangku, mengajak putranya mengobrol meski tangisnya belum reda.

“Sholehnya Amah, kenapa nangis? Liat, Nak bintangnya banyak. Alfath tau nggak jumlahnya ada berapa?” Ucapan Risel bagai angin berlalu untuk Alfath yang masih menangis kencang. Bahkan saat ini sambil menendang-nendang udara.

“Nak, Amah sayang sama Alfath. Alfath bobo yuk? Nanti capek nangis terus. Alfath maunya apa, Nak? Amah kasih asi nggak mau, kasih bubur bayi juga dimuntahin. Alfath sakit, Nak?” Kemudian Risel menyentuh dahi Alfath, “Nggak panas.”

“Amah ceritain ya. Alfath kan cowok, nggak boleh lemah Sayang. Nanti kalau Alfath sudah besar, Alfath harus tegas dalam memimpin. Bukah hanya memimpin, tapi juga memilih. Alfath nanti jadi kebanggaan Amah, loh. Amah bakal cerita ke semua orang kalau Alfath adalah anak yang baik. Alfath jangan sekali-kali nyakitin orang ya, Nak. Karena kita nggak tau orang yang kita sakiti itu nyimpan dendam atau tidak. Nanti bisa menghambat kita masuk surga kalau dia masih dendam atau sakit hati sama kita,” ujar Risel sambil mengusap kepala Alfath yang berambut tipis.

ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang