Bandung, Jawa Barat.“Hh . . .”
Bulan, delapan tahun, masih kecil.
Memang betul, masih kecil. Masih terbiasa disuapi oleh bunda di pagi hari sebelum berangkat ke sekolah lalu diantarkan oleh ayahnya. Benar, keluarga harmonis yang diisi dengan senyuman tiap detik dan menitnya.
Iya betul, Bulan masih kecil.
Betulan masih kecil beberapa bulan yang lalu, sebelum dia menjatuhkan tas nya asal di halaman depan rumah dan menjauhkan tangan bibi wen yang berusaha menggapainya saat gadis manis itu berusaha mengikuti kemana kedua orangtuanya dibawa pergi.
Betul masih kecil, beberapa bulan yang lalu sebelum ia mendapati bahwa orangtuanya tidak ada di rumah dan bibi wen mengabari bahwa kedua orangtuanya berada di rumah sakit di kota.
Bulan masih kecil, beberapa bulan yang lalu saat dirinya mendapati kabar bahwa kedua pegangan hidupnya dijemput Tuhan lebih awal. Padahal, seharusnya ayahnya yang menjemput bulan — bukan Tuhan yang menjemput ayahnya.
Bulan masih kecil saat dia dipaksa semesta untuk menerima keadaan hidupnya saat ini, ketika dua simphoni favoritnya harus pergi begitu saja, meninggalkan gadis cantik ini dengan semesta yang menurutnya tak pernah adil kepadanya.
Saat itu, dia masih kecil — masih gadis delapan tahun dan polos, yang tidak tahu menahu bahwa semesta bisa bertindak sekejam itu kepadanya. Anganya untuk membangun kastil besar seperti princess yang sering dirinya saksikan di televisi buat kedua orangtuanya lenyap seketika saat orangtuanya diambil paksa dan begitu tiba tiba darinya.
Semesta memupuknya menjadi pribadi yang keras dan tak tersentuh. terlebih ketika tidak ada satupun keluarga nya yang mau menggenggam tangan kecilnya saat itu. Dia kehilangan arah saat bibi wen yang berumur lima puluh tahun saat itu tiba-tiba juga direnggut dari pelukannya, satu-satunya orang yang menggenggam tangannya dulu saat dirinya kehilangan arah.
Semesta tidak adil. Tega, teramat tega.
“Bunda, kenapa bunda selalu tersenyum padahal bulan nakal ? kalau mama nya teman-teman bulan pasti sudah marah besar, tangannya di pinggang, bawa penggaris buat pukul mereka.”
Senyumnya tak bersisa, hancur sudah kepercayaannya pada semesta—bahwa semesta perlahan pasti akan bertindak baik kepadanya. Tidak butuh sabar, kepalang benci dengan dunia.
“Karena Bunda sayang bulan. Bunda enggak mau bulannya bunda ini punya sedikit demi sedikit rasa tidak suka ke bunda karena bertindak jahat. Kalau bulan salah, bunda tegur kan?”
“hum!”
“Tapi, bunda enggak pukul bulan, karena tau bulan cantiknya bunda pandai memahami keadaan. Persis nama bulan.”
Segalanya yang ia masih ingat tentang ajaran kehidupan beralih menjadi hal yang ia lakukan bertolak belakang saat ini. Terlampau kesal mengapa hidup nya seperti ini.
“Bibi wen, kenapa bibi selalu peluk bulan waktu bibi menangis?”
“entahlah. bulan persis namamu, tetap bersinar saat malam dan langit begitu sepi. hangat, meski kita tahu bulan sendirian diatas sana.”
“...um.”
Sedih, kecewa —betul, ia tidak bisa bersyukur dengan hidupnya.
Bulan, delapan belas tahun — membenci kehidupannya.
“Bulan, anak ayah. Bawa namamu dengan baik nantinya, jadi terang di gelap orang lain, bersikap baik kepada sesama.”
“Bulan . . . Minta maaf.”
Bulan, delapan belas tahun, tidak kecil lagi dan membenci semesta.
•••
Writer's lil talkHalo? Selamat malam semangat menunaikan ibadah puasanya ya?
Saya kembali dengan cerita baru, dan melalaikan cerita lama yang saya gantungkan — really sorry:(Otaknya belum nemu mood yang pas buat lanjut.
Tapi mungkin berkenan dengan kisah 'bulan' yang satu ini, hm?
Buat dukungannya diberbagai platform, terimakasih ya? Saya sayang kalian banyak sekali. Terimakasih atas apresiasinya atas tulisan yang saya buat.
Akhir kata, terimakasih dan tetap jaga kesehatan kalian ya? Perihal bumi, dia sedang tidak sehat. Jadi, Tolong jangan memperparah, oke?
Have a great day, you all.Lovely,
Sleepyrose. 💕
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan
Teen FictionMungkin jalan nya memang begini. Bulan hanya mampu menemanimu di gelapnya hidup tanpa bisa menggapaimu.