*** Camera, Rolling, and Action***
Take 10: The Power of Puppies
*************************************
Riley (POV)
Aku tidak tahu harus berbuat apa selain menatap lekat-lekat handphoneku yang sedari tadi bergetar di atas meja. Sebuah nomor muncul di layar dan aku tidak menerima panggilannya. Hal ini terjadi sekitar lima kali sejak tadi. Nomor itu berhenti menelepon, kemudian kembali muncul hanya dalam rentang waktu tiga puluh detik.
Dahiku berkerut. Kapan orang ini berhenti meneleponku? Lagipula aku dan dia tidak punya urusan apa-apa setelah ia mengantarku pulang dari toko buku. Kutarik napas dalam-dalam. Aku sama sekali tak mengerti jalan pikiran Josh.
Tiba-tiba teleponku berhenti bergetar. Dengan heran, kuperhatikan layarnya. Tidak ada pesan atau panggilan lagi. Aku hanya terpaku. Mungkin setelah ini, bakal ada panggilan masuk lagi.
Drrt. Drrt. Drrt.
Tuh, kan.
“Halo?” Akhirnya aku mengangkat panggilannya. Di seberang telepon, kudengar ia menghela napas. Rasanya sudah lama sekali aku tidak mendengar suaranya.
Oke, fokus.
“Kau di mana, sih? Pusat perbelanjaan?” Ia menggerutu. Tidakkah dia tahu kalau aku sedang kacau? Josh Wilford memang tidak pernah peka.
“Bukan urusanmu.” balasku gusar. Baru kusadari suaraku gemetaran sejak tadi. Gawat! Jangan sampai dia mendengar suaraku yang tidak stabil.
Josh terdiam sejenak. “Kau di apartemenmu?”
“Ya.”
“Bagus.”
“Bagus apanya—“ Kudengar dia bilang ‘tidak ada apa-apa’. “Hei! Hei, Josh—!” Kemudian, dia memutuskan percakapan. Aku menggenggam handphoneku dengan frustasi. Tidak bisakah dia bercerita padaku? Dasar!
Aku menarik sebuah bantal, kemudian kutidurkan diriku di atas sofa. Beberapa hari terakhir benar-benar berlalu terlalu cepat. Mulai dari kejadian di bar, Josh yang menginap di apartemenku, dan kelakuan Sean kemarin... semuanya tak pernah terpikirkan olehku akan terjadi.
Aku... kacau.
Aku tahu Sean tidak main-main soal kemarin. Tapi aku tidak mungkin menyukai Josh, astaga. Seluruh kelakuannya yang seperti anak kecil benar-benar menyebalkan. Dan aku straight. Bahkan, jika ia seorang perempuan pun, dia tidak akan masuk ke dalam tipeku. Untuk apa pun yang hidup, tidak mungkin sebuah ciuman bisa membuat seorang straight berubah jadi gay. Buktinya aku baik-baik saja dengan Sean.
Yang jadi masalah adalah: kenapa aku tidak bisa ‘baik-baik saja’ di hadapan Josh? Kenapa dia? Kenapa aku?
Belum sempat aku berpikir lagi, tiba-tiba handphoneku kembali bergetar. Kulihat nomor yang muncul. Terkutuklah Josh Wilford.
“Kau mau apa?”
“Buka pintu apartemenmu. Ada puppy di luar, kedinginan, dan sangat-sangat membutuhkan selimut serta segelas cokelat panas.”
Puppy? Aku nyaris tersedak ludahku sendiri mendengarnya. Josh pasti sedang bergurau. Dengan tergesa-gesa aku berlari mendekati pintu. Kubuka pintu apartemenku. Dan aku melihat mereka.
Aku tidak salah ketika aku bilang mereka. Josh sedang berdiri di depanku sambil menggenggam sesuatu. Sesuatu yang berbulu hitam-putih-cokelat terang itu bergulung di balik syal dan jemari-jemarinya yang dibalut sarung tangan. Kemudian, sebuah kepala mungil dengan telinga kecil mencuat dari sana. Sepasang mata yang besar dan menggemaskan menatapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Camera, Rolling, and ACTION!
RomantizmRiley, seorang script dan scenario writer memasuki tempat kerja baru, yaitu RWM Studio. Di sana dia bertemu dengan banyak makhluk aneh bin ajaib. Mulai dari Damon sang sutradara yang cuek, Sean si Graphic Artist yang dingin sekaligus hangat, hingga...