15. Hari Terakhir (2)

63 3 0
                                    

Enam bulan berlalu sejak kerusuhan terjadi di kota kami. Kami yang selamat mendapat kompensasi uang bulanan dari pemerintah, dan biaya sekolah digratiskan karena banyak pelajar yang kehilangan orangtuanya. Gedung-gedung industri banyak yang dirobohkan, termasuk gedung sekolahku dulu. Aku terpaksa harus pindah ke sekolah lain.

"Kau sedang memikirkan apa?" Yohan yang tiduran di sofa rumahku menyadari raut wajahku yang murung.

Aku menggeleng. "Hari ini tepat enam bulan sejak kejadian itu."

"Benarkah? Rasanya seperti baru kemarin."

Ya, kejadian itu rasanya akan membekas diingatanku untuk selamanya. Sejak kejadian itu terjadi kehidupanku berubah total. Aku hidup dengan uang kompensasi dari pemerintah dan seorang diri mengurus kebutuhan rumah tangga. Ayah dan ibu sudah tidak ada di sisiku, aku harus melakukan semuanya sendiri. Aku juga bekerja paruh waktu mengajar matematika untuk anak-anak SD.

Aku dan Yohan memutuskan untuk tetap saling bertemu setelah kejadian itu, karena kami sama-sama kehilangan keluarga kami. Kami lalu menjadi dekat dan Yohan sering menginap di rumahku. Kurasa dia juga kesepian seorang diri di rumah. Entahlah hubungan kami ini apa, tapi saat ini kami nyaman menghabiskan waktu bersama. Bahkan berangkat dan pulang sekolah pun kami selalu bersama. July dan Elsa bersekolah di tempat lain, jadi kami jarang bertemu. Sedangkan L, kudengar dia pindah ke luar kota karena sekarang dia hidup dengan pamannya.

"Ah aku lupa beli telur." Ujarku ketika melihat tidak ada telur di kulkas, padahal ini sudah jam makan malam. "Aku akan belanja sebentar di minimarket dekat rumah."

"Mau kutemani?"

"Tidak usah, sebentar saja."

"Oke. Jangan lupa bawa payung, di luar mendung."

Aku tersenyum kecil. Aku jadi teringat ibu. Ibu selalu mengingatkanku untuk membawa payung. Kurasa hari ini aku akan menjadi sedikit sensitif. Bahkan jalanan ke minimarket dekat rumah pun mengingatkanku pada misi mencuri makanan saat kami masih terjebak di sekolah.

Selesai belanja keperluan untuk makan malam, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya ketika aku membayar di kasir. Untung rumahku dekat, menerobos dengan payung pun pasti basahnya tidak seberapa. Ketika aku hendak keluar dari minimarket, seseorang masuk dan kami bertabrakan karena membuka pintu secara bersamaan.

"Oh, maaf." Ujarku sambil menengok ke wajah orang itu.

"Sudah lama ya, Arya."

Aku tidak bisa mempercayai sosok di depanku sekarang sehingga aku terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya aku berkata, "L!?"

L tersenyum. Penampilannya tidak berubah, hanya saja rambutnya sekarang lebih cepak dan berwarna cokelat.

"Kenapa kau ada di sini?" Tanyaku.

"Sepertinya dulu aku sering mendengar pertanyaan ini."

Kami sama-sama tertawa. Apa L biasanya memang seceria ini?

"Karena ini akhir pekan pamanku mengajakku berkunjung ke sini. Aku kemari untuk melihat-lihat, ternyata sekolah kita dulu sudah tidak ada?"

"Ya, gedungnya dirobohkan karena sudah tidak terpakai. Jumlah penduduk di sini berkurang, jadi fasilitas yang ada juga dikurangi. Sedang ada pembangunan total di kota ini. Bagaimana dengan kotamu?"

"Kotaku tidak terlalu terdampak."

Aku memangut-mangut. "Kalau kau sendiri? Bagaimana kabarmu?"

"Biasa saja. Tapi hari ini cukup bersejarah bukan? Mood-ku sedang tidak baik."

Suspicious NightsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang