Membenci Ayah 10

29 2 2
                                    


.

          "Dasar gila! Dasar manusia aneh!" Naratha menjnju dadaku kesal. Setelah itu dia meringis merasakan perih di telapak tangan, karena tak menyadari ada bengkak kemerahan dj sana.

Lalu, dia mulai mendunduk menahan sakit di telapak tangan itu.

"Sudah marahnya?"

Dia mendongkak.

"Kalau masih belum puas, silakan tampar pipiku," lanjutku datar.

Namun, Naratha justru mendelik kesal. Dari tatapannya, dapat terbaca bahwa dia seolah ingin menelanku bulat-bulat. Atau menampar sekuat tenaga.

Aku hanya menatapnya datar, menahan senyum. Karena tidak mungkin gadis itu akan menamparku dengan kondisi tangannya yang serba memar. Hahaha!

Dia tersenyum sinis. Sempat berbalik beberapa langkah menuju kafe, pasti ingin kembali ke dalam sana hingga aku sedikit mengejar di belakang, tapi mendadak kaget ketika sebuah kaki tiba-tiba melayang di udara.

Menampar pipi.

"Aaaahh ...!" Aku meringis. Memegang pipi yang memanas. Sementara gadis itu, terlihat memamerkan senyum sinis di antara kilap matanya.

Shit!

"Kamu sendiri 'kan yang bilang aku boleh menampar pipimu?"

"Menampar, bukan menendang!" sahutku kesal.

"Memang apa bedanya? Jika tanganku tidak sakit, pasti kuat tamparannya sama saja." Dia menjawab santai.

Aku tak menjawab. Mengabaikannya sesaat. Hingga terlihat tangan itu kembali ia bungkus di ujung seragam kaos. Sakit. Lalu hendak membawa langkah ke dalam kafe lagi.

Aku segera menarik lengannya.

"Jangan ke sana!"

"Berhenti ikut campur, Andra!" protesnya.

"Kamu bukan bekerja, tapi disiksa! Paham?"

Dia menatapku, dalam. Dan kembali, ada kilap di matanya.

"Tidak peduli, yang penting ayahku bisa sehat kembali!"

Seketika ada yang berdesir di dalam hati, membuatku tanpa sadar mengendurkan cengkraman di lengan Naratha. Gadis itu menatapku sesaat, lalu tanpa bicara segera memasuki kafe.

Ayah.

Jadi luka, harga diri, dan airmata itu, hanya demi seorang ayah?

Aku menghela napas. Mungkin beliau adalah ayah yang pantas.

Aku berlari ke dalam kafe. Di mana Naratha tengah berdiri di antara perempuan galak tadi dengan seorang pembersih di sana.

"Maaf, Kak Eylien! Saya tidak sengaja menjatuhkan gelas itu ... tolong jangan pecat saya ...."

Naratha sempat menangkup tangan di depan dada. Seolah memohon. Sementara mata wanita yang ia panggil Eylien hanya menatap dingin tak peduli.

"Dengar, Naratha! Kamu itu sudah sering membuat ulah! Apa yang bisa kamu lakukan dengan baik? Tak ada, 'kan?"

"Tolong, Kak ...."

"Pak Alsey sudah menyerahkan semua pengurusan karyawan kepada saya, termaksud memberhentikan dan memperkerjakan kamu. Paham?"

"Tolong, Kak. Saya janji tidak akan mengulang. Janji! Saya ... butuh pekerjaan ini."

Aku mendekati mereka. Terlihat Naratha tampak tak peduli dengan kedatanganku, sedangkan wanita berpakaian kaos merah khas seragam kafe ini menatap datar ke arahku. Beberapa detik. Seolah ada hal yang dia pikirkan.

Detik kemudian kembali mengangkat suara.

"Naratha, kau dipecat!"

***

          Naratha berjalan pelan melewati trotoar di mana di beberapa meter tiap sisinya tepasang lampu jalan. Gadis itu menunduk. Menangis mungkin.

"Ayo, naik!" Aku berseru untuk yang kesekian kalinya dari atas motor.

Dan dia hanya tetap diam menunduk.

Sementara aku seperti orang bodoh mengikuti langkahnya dengan motor. Membiarkan orang-orang yang lewat menatap kami penuh makna. Seperti ingin berkata,

"Sepasang kekasih yang bertengkar."
"Lebay."
"Laki-laki memang selalu salah."

Ah, wtf! Namun, kenapa aku mau seperti ini? Kenapa? Untuk apa? Kasihan. Padahal dia sudah berjalan kaki hampir setengah jam. Sedangkan tangan memar kemerahan itu mulai membengkak tanpa penangan apa pun.

Aku menghela napas.

"Ayo naik, Naratha!"

Dia tetap diam. Tak peduli.

"Naik."

....

"Naik!"

....

"Atau harus kembali kugendong untuk naik ke motor?"

Dia mendelik tajam ke arahku.

"Naiklah!"

"Kenapa harus memaksa?"

"Jadi seperti ini cara gadis bodoh merespon pertolongan?"

"Jadi seperti ini cara pria gila memberi pertolongan?"

Aku mendesis. Menghela napas dari dalam helm.

"Ayo naik!"

Dia berhenti. Menatap ke arahku, datar.

"Terima kasih. Tapi ... pulang saja duluan. Aku bisa sendiri!" Ia menolak. Kali ini dengan nada yang biasa saja.

"Dengan berjalan kaki?"

Ia tak menjawab. Memilih lanjut melangkah tanpa menoleh sekalipun.

"Kamu menyedihkan, Naratha."

Ia kembali terhenti dan menatapku.

"Memang," lirihnya. Anehnya, ada senyum di bibir kemerahan itu. Senyum menyedihkan.

"Gara-gara kamu, Ndra! Aku kehilangan pekerjaan karena kamu! Sekarang aku tidak tahu harus ke mana. Dengan apa aku akan merawat ayahku, melanjutkan sekolah, dan makan untuk hari-hari berikutnya!"

Naratha menatapku tajam. Tapi tatapan itu segera hilang, termakan redup dan kaca-kaca. Lalu semakin lama, muncul isak tertahan darinya.

Aku menghela napas. Melepas helm.

Detik kemudian mendekap tubuhnya. Di pinggir jalan.

***

         

          Miss Grassya memasuki kelas dengan gaya khasnya. Penuh aura ketegasan, tapi tetap terpancar pesona kecantikannya. Lalu dia mengakhiri itu dengan duduk di meja bersama buku tebal yang biasa dibawa. Dan seperti biasa, mengapbsen tiap murid dengan memandang satu-persatu.

Hingga berhenti di satu meja. Aku mengamati dari belakang sini.

"Di mana Naratha?" Dia bertanya.

"Tidak ada kabarnya, Bu." Iqbal, sang ketua kelas itu menjawab.

Miss Grassya hanya mengangguk. Seolah telah mengetahui alasan sebenarnya. Lalu mulai membuka buka tebal di hadapan, sejenak mencari sesuatu di sana.

Aku menarik napas. Memandang jauh ke luar jendela, di mana hanya telihat awan putih yang menggantung indah. Memikirkan sesuatu.

***

          Pukul setengah tujuh malam. Motor melambat memasuki area parkir. Setelah benar-benar terhenti, aku turun dan sedikit membenahi penampilan rambut yang baru terlepas dari helm. Detik kemudian membawa langkah memasuki kafe bersama tas gitar yang menyelempang di pundak.

Beberapa pemusik lain telah datang dan bersiap di atas panggung kecil yang tersedia di salah satu sisi kafe. Aku segera bergabung ke mereka. Tetap berusaha santai, meski ini pertama kalinya aku tampil di depan banyak orang.

Sesaat, melirik ke berbagai arah. Mencari seseorang. Tapi segera tersadar bahwa dia baru saja dipecat kemarin. Aku menghela napas, menahan sesuatu. Entah.

Membenci Ayah (GANTUNG KE HUBUNGAN LU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang