Langkah Awal

19 3 2
                                    

   Namaku Faunus Andrian. Aku memiliki teman masa kecil yang cerdas. Ia bernama Florina Melinda. Ia selalu mencetak peringkat kesatu disetiap jenjang. Mulai dari SD, SMP, hingga sekarang kelas 1 SMA, ia mempertahankan peringkatnya. Terkadang aku iri kepada pencapaiannya, namun aku tak pernah membencinya. Kenapa? Jelas saja, karena aku menyukainya

   Hari ini aku berencana menyatakan perasaanku. Beruntungnya Flo (nama panggilannya) sedang membantu guru meng-input nilai-nilai teman sekelas di ruang guru. Aku yakin ia akan menghabiskan banyak waktu hanya untuk meng-input saja. Akhir-akhir ini ia sering begitu, karena ia selalu menganalisis dan mengkoreksi kesalahan pada lembar jawaban teman-teman sekelas yang menjadi kebiasaanya. Mengkoreksi salah jawaban, salah penulisan, bahkan sampai mengomentarinya. Terlebih lagi bahasa yang digunakan ketika mengoreksi itu sangat mudah dimengerti. Tak heran Flo disenangi teman-teman sekelas.

   Aku menunggu di ruang kelas yang mulai sunyi, bermandikan cahaya senja yang begitu menenangkan. Ditemani debu kapur yang bertebaran dihempas angin agustus yang berhembus dengan halus. Debu yang menari di udara bagaikan sebuah galaksi yang dipenuhi bintang-bintang namun berlatarkan warna jingga. Hingga aku memejamkan mata seolah menikmati melodi instrumen klasik.

   "-nus..."
   "Faunus..."
   "Faunus!"

   Perlahan aku membuka mata sambil bertanya-tanya dalam hati, siapa yang memanggilku. Aku mengenali suaranya namun aku tak yakin.

   Setelah aku mendapatkan penglihatanku kembali, di sebrang mejaku berdiri seorang gadis yang mengerutkan keningnya. Ia memakai kacamata bulat dengan frame tipis yang tampak cocok di wajahnya, rambut kepang berkilau berwarna hitam kecoklatan tampak elok disandingkan dengan cahaya sore hari, badan yang tak begitu mungil namun tak begitu tinggi terlihat ideal. Gadis yang menyukai tumbuhan lebih dari apapun ialah Florina, teman masa kecilku, seseorang yang aku sukai.

   "Lagi-lagi kamu ketiduran. Mubazir tahu! Nungguin aku boleh aja, tapi mendingan sambil membaca ulang materi yang tadi kita pelajari! hadeh."

   "Maaf, habis suasananya mendukung."

   Raut wajahnya semakin masam. Disadari atau tidak, semakin ia marah semakin imut. Aku hanya tersenyum tipis sambil menatapnya mengoceh.

   "...semuanya demi masa depan! mengerti?"

   "iyaa iyaa"

   Tak puas dengan jawaban yang kulontarkan, ia mengebrak meja sekencang mungkin, kemudian ia menghadapkan wajahnya tepat 1 sentimeter di depan wajahku. Hidung kami hampir bersentuhan.

   "Apa kamu mendengarkan, Faw?

   Selama beberapa detik, pandangan kami saling bertemu. Seketika ia menarik diri, membuang muka, aku pun melakukan hal yang sama. Terlalu dekat. Hatiku berdegup kencang. Aku sedikit melirik Flo, wajahnya tampak merah.

   Tak ada kata-kata yang terlontar, suasana yang asalnya riuh berubah menjadi canggung. Setelah beberapa saat, aku membuka mulutku.

   "Flo..."

   "Apa?"

   Kurasa ini bukan saatnya untuk menyatakan perasaanku. Biarpun hatiku sudah berdegup kencangnya, aku masih bisa memilih untuk memendamnya. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Hening kembali menghampiri.

   "Faw..."
   "Kenapa kamu mau menungguku untuk pulang bareng? Bukannya kamu punya kegiatan lain? Waktu kamu jadi sia-sia kan?

   Mendengar itu, hatiku menjadi tak nyaman. Aku tak bisa berfikir lagi. Aku pun berteriak

   "Itu tidak benar!"
   "Aku menunggumu karena ini keinginan diriku sendiri!"
   "Biarpun orang-orang pergi meninggalkan kamu, aku pasti menunggu kamu."
   "Jadi, janganlah merasa bersalah."

   Emosiku meluap dengan cepatnya. Reaksi Flo yang kebingungan yang kemudian berubah menjadi tangis. Flo yang kuketahui selalu ceria dan berenergi kini menunjukkan sisi lemahnya. Aku mencoba untuk menenangkannya, namun aku tak dapat memikirkan cara yang lain lagi. Aku memeluknya dengan erat. Tangisannya tak terbendung lagi, ia menangis kencang.

   Setelah beberapa saat, Flo mulai tenang. Ia melepaskan pelukan dariku. Kacamata khasnya berembun, ia segera membersihkannya.

   "Terima kasih, Faw."

   Ini kali pertama aku melihatnya begitu lemah. Aku tak tahu bagaimana rasanya menjadi sosok nomor 1 yang sekarang ia emban. Flo begitu kuat dari yang aku kira.

   "Flo..."
   "Ada satu hal yang ingin aku ucapkan."

   "Umm? Apa itu?"

   "Maukah... maukah kamu... jadi..."

   "Jadi?"

   "J-jadi... P-... Pengajarku?!"

   Aku hampir menggigit lidahku. Ternyata menyatakan perasaan begitu sulit sampai aku salah mengucapkannya.

   Flo tertawa lepas mendengar pernyataanku. Rasanya aku ingin tenggelam di dasar laut.

   "Ahahaha, apa itu?"

   Flo mengusap mata, membersihkan sisa tangisannya, sambil menarik ingus yang hampir keluar. Ia memperbaiki ekspresi dan gestur, lalu ia berkata.

   "Boleh saja."
   "Bersiaplah untuk mendapatkan pelatihan setan yang kuberikan!"
   "Juga, malam ini aku punya beberapa teori yang telah aku baca, jadi bersiaplah mengangkat panggilan telepon dariku, kita punya baaaaanyak bahasan sampai larut malam!"

   "Telepon malam... lagi? ayolah."

   Pada akhirnya perasaanku tak tersampaikan. Namun, aku merasa bersyukur telah menyatakannya walau berbeda artian.

   Flo tersenyum manis bagaikan bunga yang mekar. Aku akan merekam dan menyimpan senyuman itu di lubuk hatiku yang paling dalam, hingga suatu saat nanti aku akan sehebat Flo dan perasaanku tersampaikan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 05, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Satu KalimatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang