BUKU 1

6.9K 83 7
                                    

SEKALI_SEKALI terdengar petir bersabung di udara. Setiap kali suaranya menggelegar memenuhi lereng Gunung Merapi. Hujan diluar seakan-akan tercurah dari langit.

Agung Sedayu masih duduk menggigil diatas amben bambu. Wajahnya menjadi kian pucat. Udara sangat dingin dan suasana sangat mencemaskan.

“Aku akan berangkat “tiba-tiba terdengar suara kakaknya, Untara dengan nada rendah.

Agung Sedayu mengangkat wajahnya yang pucat. Dengan suara gemetar ia berkata, ”Jangan, jangan kakang berangkat sekarang”

“Tak ada waktu” sahut kakaknya “sisa-sisa laskar Arya Penangsang yang tidak mau melihat kenyataan menjadi gila dan liar. Aku harus menghubungi paman Widura di Sangkal Putung. Kalau tidak, korban akan berjatuhan. Anak-anak Paman Widura akan mati tanpa arti. Serangan itu akan datang demikian tiba-tiba”.

“Tidakkah ada orang lain yang dapat menyampaikan berita itu?” Potong adiknya.

“Tak ada orang lain“ sahut kakaknya.

“Tetapi…. “, bibir Sedayu gemetar.

“Aku harus pergi “Untara segera bangkit. Tetapi tangan adiknya cepat-cepat menggapai kainnya.

“Jangan, jangan “ adiknya berteriak “aku takut”

Untara menarik nafas panjang. Katanya “kau hanya akan berada di rumah ini sendirian malam nanti. Besok kau pergi ke Banyu Asri. Kau akan tinggal disana sampai aku pulang”.

“Aku takut, justru malam ini “ sahut adiknya “bagaimana kalau laskar yang liar itu datang kemari“

“Mereka tak akan datang kemari “jawab kakaknya “aku tahu pasti. Mereka akan menyergap Paman Widura. Karena itu aku harus pergi”

“Tidak-tidak“, mata Sedayu mulai basah. Dan akhirnya dari matanya itu melelehkan air mata.

Sekali lagi Untara menarik nafas panjang-panjang. tanpa sesadarnya ia terlempar kembali, duduk disamping adiknya. Hatinya menjadi bingung. Ia tidak dapat berpangku tangan terhadap laskar Widura yang sedang terancam bahaya. Tetapi adiknya benar-benar penakut. Anak yang telah mendekati usia 18 tahun itu sama sekali menggantungkan dirinya kepada orang lain. Sepeninggal ayahnya beberapa tahun yang lampau dan ibunya yang baru beberapa bulan, maka anak itu hampir tidak pernah berpisah darinya. Apalagi didalam kekalutan keadaan seperti saat itu. Sehingga dengan demikian Untara merasa seakan-akan memelihara anak bayi.

“Sedayu” katanya kemudian “umurmu telah hampir 18 tahun. Dalam usia itu Adipati Pajang yang dahulu bernama mas Karebet, telah menggemparkan Demak, dan sekarang dalam usia yang muda pula, Sutawijaya berhasil melawang Penangsang yang perkasa“

“Aku bukan mereka” jawab Sedayu

Untara mengeleng-gelengkan kepalanya, katanya “setidak-tidaknya kau harus malu kepada dirimu sendiri”

“Tetapi aku takut” Sedayu tidak menghiraukan kata-kata kakaknya.

Kembali Untara termenung. Adalah salahnya sendiri, apabila pada masa kanak-kanaknya adiknya itu terlalu dilindunginya. Kenakalan kawan-kawannya pasti akan dihadapinya. Karena itulah maka Sedayu terlalu tergantung padanya. Dan sampai masa dewasanya, ia tidak mampu berdiri diatas kakinya sendiri. Meskipun adiknya itu selangkah dua langkah diajarnya juga cara-cara membela diri dan didalam latihan-latihan dapat juga menunjukkan kelincahan dan ketangkasan, namun kelincahan dan ketangkasannya itu terbatas dibelakang dinding-dinding rumahnya. Hatinya terlalu kecil untuk berhadapan dengan dunia. Terasa betapa kerdil jiwanya. Apalagi setelah didengar oleh Agung Sedayu, betapa laskar Penangsang yang sedang berputus asa itu berkeliaran dilereng gunung Merapi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 14, 2014 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Api di Bukit Menoreh  Karya : SH. MintardjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang