Extra Part - Blue Ink and Heartbeats

595 46 4
                                    

You walked into my life like you had always lived there.

Like my heart was a home built just for you.

- a. r. asher


Akila melangkahkan kakinya yang kini sudah beralaskan slipper rumah putih polos, merasakan halusnya susunan parquet kayu coklat tua yang menghiasi ruang keluarga-dapur-ruang makan terbuka rumah Tama.

Rumah pribadi laki-laki itu, alih-alih rumah keluarga Edbert yang tahun kemarin menjadi basecamp timnya tinggal.

"Tolong tunggu aku sebentar. Kamu bisa nonton TV, baca buku, bikin kopi, atau apapun itu." Tama menunjuk ke segala sisi rumahnya. "Biasakan dirimu aja pokoknya. Oke? Aku ganti baju dulu."

Akila mencekal pergelangan tangan laki-laki itu. Membuat tubuh keduanya hampir bertubrukan.. atau berpelukan tepatnya.

"Tunggu sebentar. Aku enggak tau letak perintilan dapurmu."

Tama menjentikkan lidahnya jahil.

"Emang nunjukkin tempatnya harus pake cara ini ya?" tanya Akila gemas lantaran Tama memeluknya dari belakang dan membuat mereka berjalan ke meja cabinet dengan posisi itu.

Sebuah ciuman di belakang kepalanya. Hanya itu jawaban dari Tama.

"Itu mesinnya-" Tama menunjuk mesin espresso di sebelah kulkas tanpa melepas genggaman di pinggang Akila. Membuat Akila merasa terkunci. Ya walaupun sebenernya Akila juga enggak menolak sih. Oops!

"Mugnya ada di cabinet atas. Nyampe gak?"

Akila memutar badannya cepat. Melepas pelukan Tama hingga hidung laki-laki itu terbentur dahinya. Membuat si 'korban' merintih antara kaget dan sakit.

"Aku enggak sependek itu tau! Dasar nyebelin!"

Akila memeletkan lidahnya.

"Aku mau kopi hitam."

"Aku..Hm. Aku tuh-" Akila tersedak kalimat di ujung lidahnya lantaran mata coklat hangat Tama menatapnya dengan jarak yang sangat dekat. Mengunci tatapannya tanpa sedikitpun ruang untuk menutupi perasaan di hati mereka.

"Aku tuh enggak nanya. Dan.. ya, enggak mau buatin juga!"

Tama membulatkan kedua bola matanya gemas, kontras dengan otot pipinya yang terangkat naik hingga menampilkan senyum manis di bibirnya. "Ini pasti bukan Akila! Hayo mana Akila aslinya! Akila SMA yang bahkan rela enggak makan siang karna menguntitku di perpustakan setiap istirahat itu!"

"Dasar ngaco!"

Akila mendorong dahi Tama dengan jari telunjuknya. Menciptakan cukup jarak untuknya bernapas tanpa mengenai anak rambut yang menghiasi sekeliling wajah Tama.

Ya, mereka sedekat itu tadi.

Tama mencuri sebuah ciuman ringan di pipi Akila. Bergegas mengambil langkah seribu menuju ruang lain.

"Ya! Dasar nakal!"

"Kamu bisa menghukumku dengan ciuman juga, princess!"

"Hey! Nakal!"

Akila menyukai ketenangan yang langsung mengisi rumah 2 lantai bergaya modern itu. Lengkap dengan aroma tanah basah yang tercium samar dari jendela lebar dapur, yang kini sudah tercampur aroma kopi hitam di depan Akila.

Sebuah mug porselen putih dan 1 lagi biru muda.

Satu-satunya mug (atau tepatnya peralatan makan) yang enggak berwarna monokrom. Sama dengan hampir seluruh furniture di ruang terbuka ini.

WANTED! Cat Biru Kesayangan AkilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang