͒
Pagi ini hujan membasuh kota Jakarta. Genangan memenuhi badan jalan. Aku basah kuyup. Burung-burung berterbangan dari satu dahan ke dahan lainnya. Angin kencang sesekali bertiup hingga aku merapatkan jaket yang kupakai ke tubuh.
Hanya bermodal sandal jepit biasa, dan dress selutut membuatku merasa bahwa trotoar ini terlalu beku untuk ditelusuri. Kuakui gayaku cukup berantakan, tetapi tadi malam aku tidak sempat berganti pakaian atau sekedar menemukan sendal yang lebih bagus dari ini.
Alana sudah pulang ke rumah, aku sempat memarahi anak itu karena keteledorannya. Kemudian berjanji akan menjemput keduanya dan membawanya ke rumah Ezard siang nanti jika lelaki itu mengizinkan.
Menjelang pukul tujuh pagi aku sudah sampai di depan pintu utama, sebelum sempat membuka pintu seseorang dari dalam terlebih dahulu membuat pintu itu terbuka. Kali ini aku dihadiahkan dengan pemandangan dua bola mata tajam milik Ezard. Wajah ovalnya terlihat sangat tidak baik-baik saja. Kemeja hitam yang dipakai tadi malam sudah diganti dengan kaos putih polos lengan pendek. Dan ia hanya memakai celana kaos di atas lutut. Memperlihatkan bulu kakinya yang lebat.
Pria itu menghela napas dalam-dalam. Seakan berusaha melepaskan energi negatif yang ada di sekujur tubuhnya di detik itu.Aku sedikit menggigil ketakutan. Siapa yang tidak takut? Mengingat suamiku ini adalah lelaki yang suasana hatinya tidak menentu. Akan sangat sulit menjinakkannya kalau ia sudah mengamuk.
Jadi, sangat besar kemungkinan bahwa nyawaku saat ini dalam bahaya. Ia bisa saja menarik tali kematian untukku. Ia bisa saja membelikanku tali khusus dan menggantung leherku di balkon. Atau menggulungku bersama pakaiannya dalam mesin cuci.Seperti yang sudah-sudah. Ia bahkan dengan teganya menyiram tubuhku supaya sadar dan tidak mencintainya lagi.
"Kau pikir rumah ini sama seperti kandang binatang? Kau bisa masuk kapan saja dan pergi semaumu?"Baiklah, sebagai seorang istri aku memang salah. Seharusnya aku meminta izin terlebih dahulu sebelum pergi. Sekali lagi aku istri yang durhaka terhadap suami sendiri.
"Ikut aku." Dia sedikit gusar.
Tanganku kini sudah dalam genggamannya, langkahnya yang panjang membuatku kesulitan menyamainya.
Ezard membuka pintu kamar dengan satu sentakan yang menimbulkan bunyi yang keras.
"Kemana kau semalaman? Apa kau ingin mati? Kenapa tidak memberitahuku?""Kau cemas?"
Pertanyaan apa itu Nai? Jelas dia cemas karena ia suamimu.
"Hm." Pria itu mengangguk. "Ada banyak gadis di dunia ini, tetapi tidak ada yang sepertimu. Lagi pula aku juga tidak ingin menjadi duda dalam waktu dekat."
Tidak ada yang sepertiku?
"Itu artinya kau mulai menyukaiku?" Aku mengikuti langkah Ezard yang menuju kamar mandi.
"Jika kau mati tentu tidak akan ada yang sepertimu, Nai. Kau ini ada-ada saja." Ezard berkata, ia memutar shower, mengatur suhunya menjadi hangat.
"Lain kali kau jangan begini, Nai. Kau menyuruh Paman Gober untuk tutup mulut. Jelas ia akan melakukannya karena ia sangat loyal."
"Maafkan aku."
Hanya itu yang bisaku katakan. Aku tak bisa membantah atau Ezard akan lebih kecewa padaku.Impian memiliki suami yang mencintaiku tinggal sebuah impian. Ezard bukanlah sesuatu yang bisa diharapkan. Aku bukanlah apa-apa dalam kehidupannya. Ketika mengingat tiga hal itu, rasanya seluruh alam semesta serentak ingin menghancurkanku.
Aku tidak tahu apa yang kulakukan selain menjulurkan tangan dan hendak membuka baju yang basah.
Tetapi yang terjadi tidak selalu sesuai dengan yang kupikirkan. Lelaki itu menahan tanganku dan menatapku serius. "Aku akan keluar dulu. Setelah itu kunci pintu. Jangan lama-lama atau kamu akan kedinginan."
Sinar di mataku semakin gelap. Menyadari kenyataan yang semakin berlari mendekat. Coba katakan, sudah berapa kali lelaki itu menolakmu.
Aku tidak bisa menjelaskan rasa sakit yang tertanam di hatiku. Fakta itu selalu menggangguku. Fakta yang membuatku ingin menghilang dan melarikan diri dari rumah ini.
Aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa ia tidak mencintaiku. Aku tidak bisa. Aku hanya mengangguk dan menutup pintu kamar mandi setelah lelaki itu benar-benar keluar.
Setelah selesai mandi dan mengenakan pakaian. Aku berjalan mendekat pada Ezard yang duduk di tepian ranjang. Ia tampak fokus pada buku bacaan yang ada di tangannya.
Aku mengedar pandanganku ke sekeliling. Satu susu hangat sudah tersedia di atas nakas dan beberapa roti tawar yang sudah diolesi mentega. Aku menghela napas, membuat Ezard melirik padaku. Tatapannya kali ini tak seperti tadi. Ia bangkit dan menarikku agar ikut duduk bersamanya.
Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Seperti ada milyaran aliran listrik yang menyengat tubuhku. Ada rasa bahagia, takut, cemas, haru dan rasa yang tak bisa aku sebutkan lainnya.
"Mengeringkan rambutmu dulu atau memotong kukumu?"
Ezard mengangkat tangan kananku. Memperlihatkan kukuku yang terlihat sudah panjang. Ezard menatap mataku.Aku seperti terkunci di dalam tatapannya yang begitu tajam. Sedetik kemudian, senyuman tipis merambah wajahnya. Ia memperbaiki posisi duduknya. Kali ini ia benar-benar menghadapku.
"Tapi, kali ini aku lebih tertarik pada kuku ini."
Ezard menggapai pemotong kuku yang ada di dalam laci. Sedetik setelahnya ia mulai fokus pada kuku tanganku.
"Apa ini tidak pernah dipotong?"
"Aku lupa."
Ya. Aku lupa. Aku tidak mengingat apapun selain masalahku. Bahkan diriku seperti tidak terurus."Aku mau bicara."
"Dari tadi kita sudah bicara, Nai."
"Maksudku, hal penting."
"Katakan."
"Aku ingin membawa adikku ke rumah ini." Aku memebri jeda. Membiarkan Ezard lebih dulu beraksi, alih-alih ia hanya fokus pada kuku tanganku.
"Kau pikir aku akan menolak? Berapa kali aku mengatakan bahwa seharusnya kau mengajak mereka tinggal bersama dengan kita. Itu akan lebih mudah untukku mengurus segala keperluannya."
"Aku hanya tidak ingin merepotkan."
"Nai, kita ini sudah menjadi keluarga. Sudah seharusnya aku memenuhi setiap kebutuhanmu. Memberikan apa yang kamu minta selama aku bisa menyanggupinya, maka aku akan tetap berikan, Nai."
"Aku sangat berterimakasih untuk itu dan sekarang aku ingin mengatakan apa kau ada waktu untuk menjemput mereka?" Aku berhati-hati.
"Sebentar lagi aku akan ke kantor. Agaknya aku tidak bisa, Nai. Apa kau tidak keberatan kalau pergi bersama Paman Gober saja."
"Hm." Aku mengangguk dan tersenyum.
Setelah selesai memotong kuku tangaku. Lelaki itu mengeringkan rambutku. Ia tersenyum sesekali.
"Itu berarti semalam kau pulang ke rumah?"
"Ya. Andre menelpon dan menangis. Katanya ia sangat takut. Aku panik sehingga tidak sempat mengabari terlebih dahulu dan meminta izin."
"Lain kali, aku mohon jangan rahasiakan apapun dariku. Aku tidak ingin kau dicuri preman, Nai."
"Preman mana yang ingin mencuriku."
"Jangan salah. Mata lelaki tidak selalu mengawasi wanita cantik."
"Itu berarti aku cantik?"
"Sangat."
Lelaki itu kemudian berdiri. Meletakkan handuk di atas gantungan kamar mandi. Lalu, kembali mendekat ke arahku. Ia menengok arlojinya dan mengehela napas berat.
"Nai, aku hampir terlambat. Kau jangan lupa sarapan dan minum juga susunya." Matanya bertumpu pada susu dan roti di atas nakas.
Dan berikutnya. Ia mencium keningku sekali. Aku hanya tersenyum. Napasku tercekat. Suaraku hilang entah kemana. Tangannya melambai sekalis sebelum akhirnya menghilang bersama pintu kamar yang tertutup.
Ah! Aku belum sempat mengatakan kalau aku mencintainya, tetapi ia sudah pergi lebih dulu.
......
KAMU SEDANG MEMBACA
Season With You || Lee Jeno [✓]
Romance🔞"Cintai aku sekali lagi. Jika seumur hidup terlalu berat, maka cukup satu menit saja," ucap lelaki itu, penuh harap. || Copy Right 2020 || Start April 2020