InterludeーKeraguan.

20 1 0
                                    

POV : Tilea Lorena

Adikku Emilia bisa kubilang sangat spesial. Dia sangat berbakat tak hanya sihir, tapi juga dalam seni berpedang. Dia itu adalah jenius yang sangat langkah. Orang orang biasanya hanya menempuh satu jalan saja untuk menentukan profesinya. Alasannya karena jika tidak, seseorang tak bisa menguasai profesi itu dengan sempurna. Tapi itu hanya argumen belaka. Seseorang dapat menguasai lebih dari dua profesi, tapi masalahnya adalah waktu. Olehnya mayoritas hanya memilih satu profesi saja. Tapi tetap ada orang seperti bibi Sylvia mengambil seni berpedang dan sihir bersamaan. Tapi dia tak menyempurnakan keduanya, dia manyatukan ketidaksempurnaan itu dan membuat sesuatu yang baru, yaitu Magic Swordsman.

Aku sendiri ingin mengikuti langkah ibuku, aku ingin meneruskan dia sebagai Valkyrie karena tidak ada harapan bagiku di bidang sihir. Penyihir perlu ilmu pengetahuan yang luas, dan mendapatkannya melalui membaca. Aku benci membaca, itu membuat mataku dan kepalaku sakit. Sementara untuk Emilia, membaca itu adalah hobinya. Bahkan saat makan malam ada buku di tangannya. Kemana mana dia selalu membawa buku. Tapi ada beberapa saat juga dia meletakan buku itu dan berlatih pedang bersamaku.

Jujur aku merasa inferior. Emilia sangat begitu sempurna dan tak begitu terlihat memiliki kekurangan sama sekali. Aku merasa cemburu akan bakat dia, namun bertanya pula saat bermain. Apa itu memang karena bakat Emilia, atau aku yang belum berusaha cukup keras?. Aku memilih untuk membuang rasa cemburu yang negatif itu dan berusaha lebih keras lagi. Emilia sempat berada dalam bahaya, golem menyerang dia di sebuah reruntuhan tua. Untungnya aku dan Viani datang tepat waktu. Rasa percaya diriku meningkat saat berhasil menyelamatkan Emilia. Dalam pikiranku, setidaknya dia tidak sesempurna yang kukira. Tapi rasa bersalah juga muncul karena pikiran itu. Aku secara tidak sadar senang akan ketidak beruntungan adikku. Mungkin hanya aku yang terlalu memikirkannya.

Sekarang Emilia lulus dini dari akademi. Dia mendapatkan gelar sebagai Great Swordsman dan Sorcerer. Walau aku memiliki gelar yang lebih tinggi darinya. Rasa inferiority ini mulai muncul kembali. Gelarku sebagai Knight hanya satu tingkat lebih tinggi dibanding Swordsman. Terlebih lagi dia memiliki dua gelar. Rasa inferiority dan cemburu ini membuatku merasa menjadi kakak yang jahat. Sebelum Emilia lahir, aku sangat menginginkan adik yang selalu berada di sisiku dan dapat melindungi dia. Tapi rasanya adikku ini lebih patas melindungi kakak yang tak bergunanya ini.

"Tilea, kenapa dari tadi kau terus menghela nafas? Apa menjadi komandan pasukan patroli keamanan membebanimu? "

Apakah semudah itu aku terbaca?. Bahkan ibu sepertinya melihat bisa melihat aku memiliki beban pikiran.

"Bukan itu ibu... Tapi. "

"Apa ini tentang Emilia lagi?. "

Ibu memang luar biasa, dia membaca pikiranku. Aku hanya bisa mengangguk saja untuk merespon itu.

"Kau sudah harusnya tahu, Emilia itu berbeda. Tidak hanya penampilan, namun juga bakat. Tapi walau bagaimanapun Emilia adalah bagian dari keluarga kita."

Aku hanya bisa terdiam mendengar kata kata ibu.

"Aku juga sebenarnya takut. Emilia terlalu berbeda dari kita. Dia memang mewarisi bakat sihir ayahnya dan juga seni berpedang. Tapi bakat miliknya terlalu luar biasa dan sempat membuatku berpikir apa dia benar benar anakku?. Tapi aku membuang pikiran itu dengan cepat. Aku mengerti perasaanmu. Pertanyaan seperti itu juga muncul di hatiku. Tapi bagaimanapun, seperti yang kubilang tadi... "

"... Emilia adalah keluarga kita... ya? " Aku melanjutkan kata kata ibu.

"Ya, benar. Dia bagian dari keluarga kita. Walau seberapa spesial dirinya. "

Ibu kemudian terdiam sesaat.

"Kau tahu Tilea, aku selalu berpikir. Jika Emilia tidak terlahir di masa ini dan memiliki orang tua yang tidak pengertian. Kira kira seberapa malang nasib Emilia. "

"Itu... " aku tak bisa berkata apa apa.

"Emilia terlalu berbeda. Orang orang di Lorena mungkin masih bisa menerima dia. Tapi bagaimana dengan orang orang yang ada di luar sana?. Tidak semua orang akan menerima keberadaan jenius seperti Emilia. Aku tahu Emilia memiliki kekuatan yang sangat hebat. Tapi, jika suatu hari datang dia tak bisa mengatasinya sendiri. Tilea, bantu adikmu itu."

Ibu kemudian tersenyum dan membalikan badannya.

"Baiklah, sampai di sini dulu latihan kita. Sampai jumpa besok! "

Aku hanya berdiri diam dan melihat ibu pergi menjauh.

°°°

Seharian penuh aku terus menerus memikirkan kata kata ibu. Kata kata itu terus terngiang di kepalaku. Aku mengayungkan pedangku sendiri. Aku ingin menjadi lebih kuat dari aku yang sekarang.

"Kak Tilea."

Dari belakang aku mendengar suara dia. Suara yang tak berekspresi. Nada datar yang monotone. Suara adikku Emilia.

"Emilia? ada apa."

"Bisa kita bicara sebentar, sekalian berlatih pedang juga." Kat Emilia.

Aku menghapus keringatku, lalu berkata. "Baiklah."

Aku dan Emilia kemudian berlatih pedang bersama. Tapi tidak seperti biasanya, ada yang berbeda dengan Emilia yang di hadapanku. Dia terlihat.. depresi?.

"Kak... alasan apa yang membuat kakak untuk menjadi lebih kuat?. " Kata Emilia dengan nada monotone nya.

Alasanku untuk menjadi lebih kuat?. Aku.. aku tak pernah memikirkan itu. Apa alasanku untuk menjadi kuat?. Kata kata ibu kemudian teringat kembali di kepalaku.

"Kurasa aku ingin menjadi kuat karena aku ingin membantu adikku jika dalam kesusahan."

Emilia berhenti sesaat, kemudian kembali melanjutkan latihan kita.

"Aku tahu, kamu tidak selalu membutuhkan bantuan kakakmu ini. Tapi akan ada suatu saat kau mungkin tak bisa mengatasi masalahmu. Jadi Emilia saat itu terjadi, jangan segan segan meminta bantuan pada kakakmu ini. Aku akan selalu ada di sisimu. " Kataku sambil tersenyum.

Emilia kemudian tersenyum balik kepadaku. Aku terpesona dengan senyum Emilia. Aku mulai menggali ingatanku kapan aku terakhir melihat Emilia tersenyum?. Terakhir itu saat sebelum kejadian penyihir Noesha itu. Jadi begitu..

"Apa kejadian itu masih ada di dalam pikiranmu? Lia?."

Emilia membuka lebar matanya dan berhenti sesaat. Dia kemudian menutup matanya seraya kembali melanjutkan latihan kita.

"Iya, itu masih berada di pikiranku. "

Jadi Emilia masih mengkhawatirkan kejadian itu.

"Apa menurutmu itu semua adalah salahku. Aku terlalu egois. Aku kira aku bisa melakukan segalanya. Pada akhirnya Viani terluka parah dan Noesha.. dia menghilang entah kemana. Andai saja... andai saja aku tidak begitu Egois. Semua ini tidak akan terjadi." Nada suara Emilia sangat datar dan monotone, tapi terdapat getaran kesedihan di suara itu.

Aku melempar pedang yang ada di tanganku dan mendekat ke Emilia. Aku kemudian memeluk Emilia, lalu berkata.

"Itu semua bukan salahmu. Kalaupun itu salahmu, manusia bukanlah makhluk sempurna. Kita semua akan melakukan suatu kesalahan suatu saat nanti. Tidak ada manusia yang sempurna."

Iya tidak ada manusia yang sempurna. Dan kalau bukan karenamu Lia, aku mungkin tidak akan menyadari ketidak sempurnaanku ini.

Emilia kemudian juga ikut memelukku, lalu ia berkata. " Terima kasih kak Tilea!." Sambil tersenyum lebar.

Emilia The WitchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang