17 | do i love her?

156 38 4
                                    

Selama delapan belas tahun Keke hidup, dia tidak pernah mendatangi pemukiman kumuh Ibu kota yang berada di pinggiran pelabuhan. Walau dirinya pernah beberapa tahun hidup susah dengan makan nasi basi pun dia tidak pernah merasa sekotor itu hidup dengan tumpukan sampah.

Terkadang setiap ada anak-anak kecil berlari main kejar-kejaran di depannya pun, gadis itu hanya bisa tersenyum simpul. Atau bahkan di antara mereka ada yang menyapanya ramah.

Dengan penampilan urakan dan dekil, serta sendal jepit yang berbeda warna, tiba-tiba seorang bocah laki-laki berusia 7 tahun datang menghampirinya dan tersenyum lebar menampilkan gigi ompongnya.

"Tante orang baru, ya?"

"Hmm ... iya nih, Dek. Tapi ... kamu bisa tolong panggil pake sebutan 'Kakak' aja? Kakak baru 18 tahun soalnya, belum tua-tua banget," ucap Keke membalas pertanyaan bocah tersebut. Bocah itu menganggukkan kepalanya dan duduk di samping Keke.

"Maaf Tante—eh, Kak, soalnya tadi aku sama temen-temen liat Kakak sama Om Aksa. Jadi aku refleks manggil Kakak Tante deh," ucap bocah itu. Keke hanya tersenyum.

"Kamu kenal Aksa juga?" tanya gadis itu.

Bocah itu mengangguk. "Setiap minggu dia suka dateng ke sini, bagi-bagi buku sama makanan enak. Baik deh orangnya!" jawabnya.

Keke mengernyit tidak percaya. "Masa, sih?" tanyanya.

Dan bocah itu lagi-lagi mengangguk. Beberapa detik kemudian kepalanya menoleh, mendapati sosok Aksa yang berdiri di belakang. "Halo Om Aksa! Tumben banget hari Kamis dateng ke sini, biasanya juga hari Sabtu."

Keke ikut menoleh, bibirnya secara otomatis tersenyum kecil. Aksa berjongkok dan mensejajarkan tubuhnya dengan bocah itu. "Iya nih, Om lagi ada urusan. By the way, kamu bisa pergi sebentar sama temen-temen kamu yang lain? Om mau ngomong sama Kakak yang duduk di samping kamu," pinta Aksa.

Bocah itu mengangguk mengiyakan, tapi sebelum bocah itu pergi, tiba-tiba dia berkata. "Om, pacarannya jangan lama-lama! Nanti dilaporin sama Pak RT loh!"

Sukses Keke dibuat melongo di tempat. Aksa hanya terkekeh lalu duduk di samping gadis itu.

"Sori lama. Tadi ada sedikit kendala," ucap pria itu seraya memberinya sebuah flashdisk putih kepadanya.

"Jadi lo suka ke sini?" tanya Keke, mulai membuka topik pembicaraan.

Aksa menghela napasnya. "Well ... hanya sekedar mengenang masa lalu," jawabnya seraya memasukkan kedua tangannya di saku jaket bombernya.

Keke mengerutkan keningnya. Masa lalu? Seorang Aksa Ardhana yang katanya uangnya sampai tumpah-tumpah itu dulu pernah miskin? Bahkan hidup di tempat kumuh? Melihat wajah campuran Asia-Eropa-nya saja sepertinya dia dari kalangan elit.

"Dulu lo tinggal di sini?" tanyanya lagi sedikit penasaran.

Aksa terdiam sejenak, lalu pria itu menggeleng. "Nope," balasnya. Lalu dia menghela napasnya. "But, I was in the same situation. Gue pernah hidup di kerasnya jalanan, no food, no drink, no money, even no parents. Gue pernah merasakan semuanya." Aksa menatap anak-anak tersebut yang terlihat dari kejauhan. Lalu berbalik menatap Keke. Gadis itu tidak berkedip, entah kenapa dadanya tiba-tiba terasa tidak enak.

"You are ... Orphan child?"

"Yeah. Tapi sebelumnya gue punya Ayah dan Bunda. Hingga akhirnya mereka mati dibunuh di depan mata gue sendiri."

Keke ingin sekali menerawang Aksa saat ini juga. Tapi sayang, dia tidak bisa. Entah karena apa, dia tidak tahu. Alhasil Keke refleks menyentuh pundaknya. "I'm sorry ... gue gak bermaksud buat ... mengingatkan lo dengan masa lalu lo." Keke tersenyum tipis seraya memijat bahunya pelan. Aksa terkekeh, lagi-lagi menatap Keke. Namun kali ini posisi mereka lebih dekat, membuat keduanya terdiam.

yang baik belum tentu baikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang