Aku bisa terluka, dan aku pun bisa kembali sembuh dari luka. Tapi, ketika aku kecewa, aku tidak akan bisa mengembalikan rasa percaya itu lagi.
Nindy Niranja~
Suara monitor di ruangan bernuasa putih ini terus berdenting, Nindy memegang lengan Airin yang masih menutup matanya, bibirnya pucat. Nindy mengusap perlahan lengan Airin yang lembut. "Kak Airin gadis kuat," Gumamnya.
Devita duduk disamping Nindy, sementara Vero duduk di sofa yang sudah disediakan oleh rumah sakit, Devita mengusap pundak Nindy dan tersenyum. "Makasih, kamu sudah mau menerima Airin,"
"Aku gak musuhan atau bagaimana sama kak Airin, dia baik,"
Devita mengangguk. "I know, maksudku dulu saat Airin sering kambuh, waktu kamu dengan Vero kurang,"
"It's okay, aku paham, dia sahabat dari kecil, ya kan Ver?"
Vero mengangguk dan tersenyum, sorot matanya terus menatap monitor itu, Vero sejak tadi hanya bisa menahan air matanya agar tidak keluar. Vero menatap jam dinding di atas sana, sudah pukul 4 sore, ia bangkit dan menghampiri Nindy. "Udah sore, apa lo gak mau balik?"
Nindy tersenyum tipis. "5 menit, siapa tahu kak Airin bisa sadar,"
"Dia akan sadar, lo juga perlu istirahat," Ucap Vero.
Nindy menatap Devita yang tersenyum dan mengangguk seperti meyakinkan dirinya untuk pulang dan istirahat, Devita mengusap bahu Nindy sebentar. "jika dia sadar, kakak akan kabarin kamu,"
Nindy mengangguk. "Baiklah,"
•••
Angin sore menerpa Nindy dan Vero yang sedang di atas motor. Mereka membelah jalanan luas milik kota besar ini. Nindy memeluk Vero seolah Vero hanya miliknya, air matanya mengalir membasahi seragam sekolah milik Vero. Nindy menangis karena lelah dengan semuanya.
Vero merasakan ada sebuah tetesan air yang membasahi seragamnya dan Vero tahu Nindy sedang menangis, Vero mengusap lengan Nindy yang memeluknya, kemudian ia menepikan motornya sebentar. Nindy yang merasa mesin motornya berhenti langsung membuka matanya. "Kenapa berhenti? Masih jauh rumah gue Ver,"
"Gue gak mau jalan kalo lo nangis,"
Nindy menyeka air matanya dengan cepat, kemudian ia menggeleng, Vero melihat dari kaca spion Nindy tengah tersenyum kepadanya. "Gue gak nangis Vero,"
"Jangan bohong, baju gue basah,"
"Hujan kali,"
"Nindy, please! Don't cry, okey?"
Nindy mengeluarkan air matanya lagi, tetapi bibirnya membentuk lengkungan hangat yang membuat Vero terhanyut, Vero menghapus jejak air mata Nindy. "Please, stop it,"
"Gue gak paham sama lo Ver, kadang gue merasa dijadikan yang pertama sama lo, tapi kenapa lo selalu kembali lagi sama dia? Atau lo masih peduli sama dia, please, jangan buat harapan apa - apa yang bikin gue bingung," Jelas Nindy dengan suara yang menahan isaknya.
Vero memegang lengan Nindy dengan erat, matanya menatap Nindy dengan yakin. "Enggak Nindy, cuma lo yang ada di hidup gue, jangan nangis, gue benci air mata,"
Nindy semakin tersiak menangis, Vero membawa Nindy ke dekapannya. "Apa lo terlalu tersakiti Nindy? Apa gue selalu bikin lo sedih seperti ini? Kalo gitu gue gak akan kejar dan ganggu lo lagi,"
"Vero, gak gitu... Gue cuma gak mau tersakiti lagi, gue lelah menangis Ver,"
Vero melepaskan pelukannya. Kemudian ia menunduk. "Oke, gue gak akan ganggu lo lagi Nindy, gue gak akan pernah telfon lo ataupun ganggu rutinitas lo, sekarang lo bisa bahagia,"
Nindy menatap Vero, ia menggeleng tak percaya bahwa Vero akan berbicara seperti itu. "Vero, please, jangan bicara seperti ini, gue gak minta lo pergi, gue juga gak minta lo mundur, gue hanya berharap sama lo, kalo lo bisa pegang omongan lo itu,"
Vero menggeleng dan tersenyum. "Gue gak mau bikin lo sedih terus Nindy, ayo pulang,"
Nindy melepaskan lengan Vero, dia menggeleng dan kembali mengeluarkan air matanya. "Silahkan Ver, katanya lo mau pergi kan? Gapapa, jangan ganggu lagi gue,"
"Gue antar lo pulang Nindy,"
"Pergi Ver,"
Vero menghela nafasnya kasar, kemudian ia kembali menatap Nindy yang sedang memalingkan wajahnya dan menahan tangisnya. Vero memasang helmnya dan pergi membawa motornya. Setelah Vero pergi, Nindy berteriak kencang, tak ada orang disana. Nindy menangis lagi untuk kesekian kalinya.
Rasanya sakit bila diingat semua yang Vero ucapkan tadi, bukan ini yang Nindy harapkan. Vero pergi dan Nindy bahagia, bukan. Nindy hanya ingin memperbaiki semua yang sudah rusak saat itu, tetapi Vero salah mengira. Vero berfikir bahwa Nindy tak ingin di kejar, Vero berfikir bahwa Nindy tidak bahagia.
Nindy mengambil ponselnya dan mencari kontak Barra, tak butuh waktu lama, Barra menerima panggilan itu.
"Kenapa?".
" Jemput gue bang, gue udah share location,"
"Lo kenaoa?"
"Jemput gue bang, tolong,"
"Lo tunggu, jangan gegabah, cari tempat aman sampe gue datang,"
"Iya, cepet bang,"
Nindy memeluk tubuhnya sendiri, angin sore mulai merasuki kulit Nindy. Air matanya terus mengalir, tapi pikiran Nindy kosong, sampai sebuah mobil sport hitam datang dan pemiliknya turun. Nindy langsung memeluk tubuh Barra yang lebih besar darinya. Nindy seperti mengadu kesedihannya saat ini, Barra menenangkan adik kesayangannya itu dengan mengusap perlahan bahunya. "Jangan nangis, udah, ayo pulang,"
Nindy menggeleng. "Gue capek bang, capek, selalu seperti ini, selalu stuck disini, gak pernah mau bangkit dan berjuang,"
"Ceritanya nanti di mobil, dingin disini Nindy, ayo pulang,"
Nindy mengangguk, kemudian Barra menuntun Nindy masuk ke dalam mobil. Barra yakin bahwa Nindy sedang ada masalah dengan mantan kekasihnya itu. Barra masuk ke dalam mobil dan membawa mobil dengan kecepatan di bawah rata - rata. "Kenapa?"
Nindy kembali menangis, kali ini tangisnya pecah. "Vero pergi, dia lepasin gue dengan alesan dia gak mau gue nangis terus gara - gara dia, gue gak mau itu bang, gue gak mau,"
"kenapa gak mau? Vero udah bagus gak akan bikin lo nangis,"
"Tapi apa berhasil? Dia malah tambah bikin gue sakit hati, entahlah, gue sekarang kecewa sama dia, gue lelah, gue lelah karena selalu jadi gadis lemah, tapi gue selalu berusaha buat jadi gadis kuat, gue lelah karena terus menerus tangisin cowok yang udah sering buat gue kecewa, apa gue terlalu bodoh?"
Barra membawa kepala Nindy ke bahunya, ia mengusap rambut adiknya yang panjang. "Lo gak bodoh, lo hebat. Disaat banyak cobaan yang selalu buat lo down, lo selalu berusaha tersenyum ke banyak orang, lo adik satu - satunya yang gue punya, jangan nangis, gue gak mau lo sedih,"
Nindy tersenyum, ia memeluk Barra. Nindy mencoba menstabilkan isaknya. "Gue gak tau kalo lo udah nikah, gue gak punya abang yang bisa gue andelin, gue gak punya tempat buat gue mengadu, jangan tinggalin gue bang,"
"Enggak Nindy, gue masih abang lo satu - satunya, yang akan selalu jaga lo disaat banyak yang ingin nyakitin lo,"
"Iya bang, makasih udah mau jaga gue, adik lo yang bandel, adik lo yang keras kepala, adik lo yang bikin lo repot, makasih bang,"
Barra tersenyum dan mengecup puncak kepala Nindy. "Iya, jangan nangis lagi,"
Tuhan, terima kasih telah menghadirkan dia di hidupku. Kakak terbaikku, kakak yang menjadi sosok menakutkan bila adiknya disakiti. Terima kasih.
•••
Waktu terus berjalan beriringan. Dan kini, saatnya untuk kelas XI dan XII melaksanakan kegiatan PERSAMI. Nindy ingat janji Vero akan bersamanya sampai acara itu selesai, tetapi sekarang tidak. Vero telah pergi bagaikan angin yang berhembus, tidak terlihat dan tidak bisa dicari. Nindy tahu semua ini untuk dirinya sendiri.
Di bus, Nindy duduk bersama Lolita, sementara Cika bersama Andi si bus kelas XII. Lolita selalu membuat Nindy tertawa. Lolita tahu Nindy sedang merasa terbebani, maka dari itu Lolita lebih memilih menemani Nindy dari pada Riko. "Oh iya Nin, gue kan udah sheresch di google tempat yang bagus nanti disana, gila! Ada air terjun juga disana, pokoknya lo harus ikut gue main disana!"
Nindy tersenyum. "Iya, emang lo gak malu basah - basahan?"
Lolita berdecak sebal. "Yaelah Nin! Hargai kek usaha gue buat bikin lo senyum! Iyain aja gitu,"
Nindy terbahak - bahak mendengar Lolita merutuki dirinya. Lolita tersenyum kecil melihat Nindy tertawa, akhir - akhir ini Lolita perhatikan sahabatnya itu selalu diam dan merenung. "Lo bawa powerbank gak Nin?"
"Bawa, lo gak bawa emangnya?"
Lolita berdecak. "Di pinjem Riko, ponsel lo penuh gak?"
"Penuh, kalo lo mau pake, pake aja,"
"oke! Pinjem yaa,"
Perjalanan dari Jakarta ke puncak bogor sudah dilalui oleh murid SMA Bintang, hanya memakan waktu karena ada kemacetan parah. Lolita tidur sangat pulas, sementara Nindy sama sekali tidak bisa tidur karena terganggu oleh suara bising. Nindy berusaha membangunkan Lolita, tetapi nihil, sangat sulit. "Lol! Bangun ih, udah sampe,"
Lolita hanya mengerang, tiba - tiba Ando teman sekelas Nindy yang sering menjahili Lolita datang dengan membawa sebuah air. "Lo mau ngapain Do?" Tanya Nindy.
"Lo mau temen lo bangun kan? Udah lo diem aja,"
"Jangan aneh - aneh deh Do! Lo pasti mau jailin dia kan?"
"Kagak! Udah lo diem aja,"
Nindy akhirnya tak menghalangi aksi Ando membangunkan Lolita yang tertidur pulas. Ando menyipratkan air tersebut kepada Lolita, wajah Lolita mengerut, tiba - tiba dia bangun dan berteriak. "BANGSAT! PEDES BANGET INI! SIAPA SIH YANG CIPRATIN KE GUE?!"
Ando terbahak melihat kekesalah dan wajah Lolita yang memerah, air itu telah Ando bawa dari rumahnya, ia sudah memasukan potongan cabai agar pedas dan garam. Lolita menatap tajam Ando yang tertawa dan membawa sebotol air. "Heh! Topik! Pasti lo dalangnya ya?!"
"Kok lo bawa - bawa nama bokap gue sih?!"
Lolita mengusap wajahnya kasar, kemudian ia mengambil tissue basah. "Ah elah! Pik, lo jahat banget sumpah,"
"Lagian lo tidur udah kaya orang mati aja,"
Nindy tertawa kecil melihat tingkah laku Ando dan Lolita, seperti Anjing dan kucing. Setelah puas tertawa, Nindy dan Lolita membawa barang mereka seperti yang di intruksikan oleh panitia. Disana ada Vero, tapi Nindy hanya bisa melihatnya dari jauh, Vero benar - benar menjauhkan ia.
Nindy, Lolita dan Cika satu tenda, karena Cika sudah bawa tenda yang besar. "Haduh! Nih tenda gede amat sih? Udah tau bikin tenda kecil aja ribet, nih pake bawa yang gede lagi!" Keluh Lolita.
"Yee! Gue mah baik, biar lo berdua tidur gak saling sedek, udah deh gak usah bawel, lagian dikir lagi ini!"
Lolita mendengkus sebal, akhirnya ia mau memasang semua yang ada di tenda itu. Setengah jam mereka bertiga baru bisa menyelesaikan tenda itu, mereka langsung masuk dan membereskan barang - barang yang dibawa. "Eh, gue ke luar sebentar ya? Pengen pipis nih," Ucap Nindy.
"Mau gue anter gak?"
"Gak usah deh, gue aja sendiri,"
Nindy keluar, kemudian ia mencari keberadaan Vero. Ia menghampiri Andi dan Riko yang sedang beradu mulut. "Kak, Vero kemana?"
"Tadi sih gue liat dia ke arah sana," Jawab Andi.
"Lah ngapain?"
"Mana gue tempe, kalian berdua lagi kenapa sih? Gue puyeng liatnya!" Ujar Andi.
Nindy menghela nafasnya kasar. "Gitu deh, yaudah gue mau nyusulin Vero ya? Makasih!"
"NINDY! BILANGIN KE SI VERO! AWAS KESAMBET SETAN!"
•••
Di sebalik pohon yang besar, Nindy mengintip seorang lelaki bertubuh jangkung yang sedang duduk. Matanya terpejam, Nindy ingin menghampiri lelaki itu, tetapi ia takut lelaki menghindarinya. Dengan perlahan Nindy berjalan menghampiri Vero. "Hai, sendiri aja nih?"
Vero hanya menatap Nindy sekilas dan tak mempedulikan, seolah Nindy itu tidak ada disana dan itu membuat Nindy sakit. "Gue tau lo lagi berusaha buat jauhin gue kan? Tau gak Ver, rasanya hilang, kaya ada yang kurang di hidup gue,"
Vero berdecih. "itu mau lo. Gue udah lakuin tetep salah?" Tanyanya dengan nada sinis.
"Gue gak pernah minta itu, lo salah mengartikan Vero,"
"Halah! Udahlah, gue udah jauhin lo, gue gak suka sama lo, gue juga udah gak cinta sama lo! Paham?"
Semudah itu Ver?
Nindy tersenyum getir. "Iya Ver, gue ngerti. Tapi Ver, nanti ketika lo udah menemukan kebahagiaan lo, jangan lupain gue ya Ver? Jangan lupain gue yang setiap saat tungguin lo, maaf Ver kalo kedatangan gue buat lo terganggu,"
Nindy menahan sesak di dadanya, ia menahannya agar butiran itu tidak luruh di depan Vero. "Gue pergi ya Ver?"
Saat Nindy pergi, suara Vero membuat Nindy berhenti dan diam. "Gue udah pacaran sama Gissel, berhenti ganggu gue,"
Dan air mata itu luruh. Nindy mencoba tersenyum di depan Vero dan mengangguk. "Iya Ver, semoga lo bahagia sama Gissel, makasih, makasih udah kasih gue luka yang dalam, karena lo gue belajar, gue gak akan sepenuhnya taruh kepercayaan gue ke setiap orang, karena gue takut, gue takut gue dikecewakan disaat yang tidak tepat,"
"Bahagia Vero, maaf kalo gue selalu bikin lo sedih atau gimana, maaf kalo gue selalu repotin lo,"
"Ini terakhir kita bicara dan bertemu, gue pergi, bye,"
Aku bisa terluka kapan pun itu, aku pun bisa menyembuhkan luka itu kapan pun. Tapi entah, saat rasa kepercayaan itu hilang, aku tidak bisa mengembalikannya. Mungkin ini pelajaran yang bisa kuambil kedepannya.
Kisahku dengan Vero, akan ku tutup sebentar saja, sampai aku bisa menyembuhkan luka dan mengembalikan kepercayaan. Vero bahagia, akupun bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Couple (SUDAH TERBIT)
Ficção AdolescenteCover by : wira putra *BEBERAPA BAB DI HAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBIT Banyak orang di luar sana yang ingin memiliki kekasih yang sempurna. Tapi, tak selamanya sebuah hubungan berjalan dengan sempurna. Akan ada di tengah perjalanan, ketika kamu sed...