cogannya SMA Angkasa, muncul semua di part ini lohhh.
Kali ini gue mau membully beberpa someone;)))
Kalo Suka langsung tekan bintang kecilnya yah! Biar nambah semangat gue buat nulis. Gratis kok tekan bintang itu doang!🍁🍁🍁
Orang yang paling sabar itu bukan dia yang nggak marah kalo dihujat. Orang yang sabar itu dia yang lagi nge-charge HP nggak dimainin dulu nunggu sampe 100 persen.
Kalian termasuk orang sabar nggak?
🍁🍁🍁
Fajar menghempas kasar tangan Samudera.
“Ngapain lo ikut makan?!” Ia menaikkan sebelah alis yang dibalas putaran bola mata oleh Samudera.
Jam istirahat. Seperti biasa, kami tinggal di kelas. Menikmati ikan goreng buatan ibuku. Ikan hasil memancing kemarin.
“Emangnya nggak boleh? Gue mau nyicipi doang. Lagian ini bekal punya Daisy, ‘kan?” Samudera protes.
“Kemarin aja lo ngehina kue Daisy. Sekarang masih punya muka makan bekal Daisy?” Ayub menyahut dengan mulut penuh makanan.
Aku menahan tawa melihatnya.
“Kue sama ikan goreng beda! Kalian tau, gue nggak suka kue. Wajar gue bilang gitu.” Samudera memasukkan potongan ikan ke mulut. “Gue juga nyesel. Tonjokan Fajar ga maen-maen. Bibir seksi gue ternodai.” Samudera memasang muka dongkol.
“Najis!”
Samudera mengunyah. “Hmm ... enak juga ternyata ikan gorengnya.” Pujian Samudera membuatku tersenyum malu-malu.
“Iya, enak. Jago banget yang masak. Lo yang masak, Dei?” Ayub bertanya.
Aku menggeleng. “Bukan. Ibuku yang masak. Aku nggak sempat tadi. Ada sedikit masalah.” Aku melirik Fajar.
Fajar terlihat berusaha biasa saja. Terus memakan bekalku. Turut menyembunyikan masalah yang aku hadapi.
Aku menghela napas.
Tadi pagi. Sewaktu pertengkaran hebat antara ayah dan ibu. Ketika perang batin dengan akal yang tidak lagi sehat. Ayah memanggilku. Aku kira dia—aku tidak sudi memanggilnya beliau-- akan memarahiku. Ternyata memberitahu bahwa ada teman yang menjemputku.
Aku heran. Teman? Hei, aku bahkan tidak punya teman sebangku. Tapi, aku melupakan sesuatu.
Seorang cowok berseragam sekolah sama denganku berdiri di depan rumah. Mataku membola. Begitu juga dengannya.
Dia mendekat, merapikan rambutku. Ada apa dengan ram-ya tuhan! Aku lupa merapikannya habis kutarik-tarik! Bagaimana kalau dia curiga? Bagaimana kalau dia tahu tentang keluargaku?
“Dei, rambut lo kenapa acak-acakan gini?”
Mataku bergerak gelisah. Mencoba mencari alasan logis.
“Eh, gak apa-apa. Belum sempat aku rapikan.” Logis nggak, sih?
“Mata lo bengkak, Dei. Pipi lo basah.”
Aku menunduk. Tidak bisa menjawab. Lalu teringat sesuatu. “Fajar, kamu ngapain kemari?”
Dia menghela napas. “Lo lupa sesuatu, Dei.” Dia menyodorkan buku tulis. “Ini. Tugas matematika lo yang kemarin dari Bu Ninis. Udah gue kerjakan. Tinggal salin.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Missing You
Teen Fiction[ ON GOING ] Pintu hati ini telah terkunci rapat, dalam gembok bernama kenangan. Kunci karatan miliknya, kugenggam dalam rindu. Lalu, siapa sangka. Seorang malaikat dari atas bus sekolah telah mengetuk pintu yang terlanjur sekeras baja. Dihangatkan...