01: Ramadhan yang berbeda

1 0 0
                                    

Di sebuah rumah yang sederhana, terlihat seorang ibu paruh baya yang biasa dipanggil Ibu Nira, dengan anaknya Fatimah yang berusia kisaran 10 tahun, tengah sibuk memasak untuk berbuka puasa.

"Fatimah, tolong bantu cuci beras itu sekalian masak, ya, Nak. Biar ibu yang kerjasayurnya," ucap Ibu Nira pada Fatimah.

"Siap, Ibu Bos," ucap Fatimah sambil hormat pada ibunya, sementara sang Ibu hanya terkekeh melihat tingkah anaknya.

Di sela kesibukannya, mereka bekerja sambil bercerita.

"Bu, Ramadhan kali ini beda banget, yah, sama ramadhan tahun lalu," ucap Fatimah sambil mencuci beras

"Beda gimana maksud kamu, Nak?" tanya ibu Nira.

"Iya, beda, Bu. Dulu, kan, kita bisa salat taraweh di berjamaah di mesjid, nah sekarang uda gak bisa, kita salatnya cuman di rumah, rasanya beda banget, Bu. Apalagi kata teman-teman aku, katanya nanti kita gak salat Id, soalnya wabah virus corona ini." Fatimah mulai bercerita pada Ibunya dengan wajah sendu.

"Tapi, kan, kalo perempuan itu lebih utama salat di rumah.

Dari ummu salamah rhadiyallahu 'anha, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Sebaik-baik mesjid bagi para wanita adalah di bagian dalam rumah mereka." ucap ibu Nira yang kini sudah berada di depan Fatimah.

"Iya juga, sih, Bu. Tapi kalo di masjid rasanya shalat kita lebih khuyuk daripada shalat di rumah."

"Kalau ingin salat di masjid harus perhatikan  aturan menutup aurat, dan juga gak boleh pake wangi-wangian."

"Ooh, gitu, ya, Bu. Makasih, yah, udah kasi tau Fatimah," ucap Fatimah lalu memeluk ibunya.

"Ya Allah, Bu, sayurnya," ucap Fatimah kaget.

"Astagfirullah," ucap Ibu Nira melepas pelukannya kemudia mematikan kompor. "Untung sayurnya gak hangus, Fat. Itu nasi kayaknya juga udah mulai matang," ucap Ibu Nira sambil terkekeh.

Kemudian Fatimah melihat nasi yang di masaknya dan ternyata juga sudah matang, iapun mematikan kompornya.

"Sebenarnya, masih ada lagi, Bu, yang bikin Ramadhan kali ini berbeda," ucap Fatimah dengan raut wajah sedih.

"Memangnya apa?" tanya Ibu Nira.

"Kali ini kita berbuka dan sahur cuma berdua, sedangkan dulu kita bertiga dengan bapak." ucap Fatimah yang matanya sudah berkaca-kaca.

Ibu Nira menatap Putrinya haru. Kemudia memeluknya.

"Itu sudah takdir Allah, Nak. Kamu memang sayang sama bapakmu, tetapi Allah lebih sayang padanya. Semua orang di dunia ini pasti akan kembali kepada sang Pencipta, kita semua tinggal menunggu waktu kapan kita akan di panggil. jadi, mumpung kita masi di beri umur panjang lebih baik kita fokus untuk memperbaiki diri dan lebih mendekatkan diri kepada Allah." Ibu Nira tidak bisa membendung air matanya. Diapun merasakan apa hang dirasa oleh Fatimah, tapi iya berusaha untuk tegar.

"Hiks ... Iya, Bu. Fatimah rindu dengan bapak." Tangis Fatimah pecah akhirnya ia menangis dalam pelukan ibunya.

Allahu akbar, allahu akbar ....

"Masya Allah, udah buka puasa, Fat. Untung semuanya sudah selesai baru kita nangis-nangis kayak gini," ucap Ibu Nira terkekeh sambil menyeka air matanya, begitu juga dengan Fatimah. mereka kembali tertawa.

"Hahaha, iya, Bu. Ayo kita buka puasa."

Mereka berdua lalu berbuka puasa walaupun tanpa kehadiran seorang ayah.

~End~

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 09, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang