Aksa masih ingat dengan jelas kejadian bagaimana hidupnya hancur berkeping-keping, bagaimana bundanya menatap dirinya dengan senyuman manisnya, serta vater-nya yang mengusap-usap kepalanya dengan tatapan bangga.
Pria itu pun masih ingat kalimat-kalimat terakhir bunda dan vater yang mengatakan jika orang-orang itu datang, maka dirinya harus pergi sejauh mungkin lewat jendela kamar. Tapi Aksa kecil tidak berani dan justru terdiam mendengar percakapan orang tuannya. Dan kejadian itu pun terjadi dengan cepat.
Malam itu, hujan turun deras. Setelah mereka melaksanakan sholat isya, Aksa kecil diajak ke kamarnya oleh vater. Beliau memeluk dan mengecup keningnya, lalu tak lama kemudian membisikkan sesuatu kepadanya, yang sama sekali Aksa tidak mengerti. Lalu tak lama kemudian bunda pun datang dan membisikkan kalimat yang sama.
"Kamu tidur aja. Nanti, kalo pas bangun kamu liat bunda dan vater udah gak ada, kamu pergi cari Om Julian, ya?"
Bunda menariknya ke atas ranjang dan menyelimutinya. Dia mengecup keningnya, lalu tak lama kemudian bunda dan vater pergi meninggalkan kamarnya seraya mematikan lampu. Aksa kecil pun memeluk gulingnya dan mencoba untuk memejamkan matanya, dan berhenti memahami ucapan bundanya tadi. Lagipula, dia tidak tahu siapa om Julian itu dan berada di mana dia.
BRAKK!
Aksa membuka matanya kala mendengar suara pintu didobrak dari arah ruang tamu. Jantungnya berdegup kencang kala mendengar suara bentakan seseorang yang terdengar asing di luar sana. Dalam sedetik, Aksa tenggelam dalam rasa ketakutan. Dia ingin keluar dari kamar dan melihat apa yang sedang terjadi, namun dia terlalu takut. Alhasil dia terdiam dan menajamkan pendengarannya seraya memeluk guling.
"Saya sudah bilang, saya sudah tidak berkecimpung dalam urusannya. Lebih baik kalian pergi dengan baik-baik dari rumah saya!"
Aksa meneguk ludahnya kala mendengar suara vater yang melambung tinggi. Aksen British-nya terdengar kental di pelafalan bahasa Indonesianya.
Alih-alih takut, Aksa kecil justru turun dari ranjang dan menguping dari balik pintu. Mendengar sayup-sayup pembicaraan orang tuanya dengan pria asing tersebut.
Jangan-jangan orang itu yang dimaksud bunda?
Aksa menggeleng cepat dan akhirnya membuka pintu secara perlahan dan mengendap-endap ke ruang tamu, di mana mereka berada. Aksa mengintip dari balik sofa melihat empat orang berpakaian serba hitam yang masing-masing mengenakan kopeah. Bunda berdiri di belakang vater, ekspresinya harap-harap cemas. Hingga salah satu dari mereka berbicara dan menarik kerah baju vater. Aksa meneguk ludahnya lagi, pikiran buruknya membuat dirinya takut.
Apakah orang-orang ini orang jahat? Apakah Aksa harus menelepon polisi sekarang juga? Tapi dia tidak tahu nomornya.
"Ikut saya secara hidup-hidup atau ikut saya dalam keadaan mati!" ucapnya. Aksa membelalakkan matanya.
Dilihat vater hanya terdiam tidak bergeming begitupun bunda. Aksa menggelengkan kepalanya dan matanya mulai berkaca-kaca. Bocah itu tak sengaja menatap sebuah kalung rantai besar yang digunakan salah satu dari keempat orang jahat—Aksa memanggilnya begitu karena berani mengancam untuk membunuh orang tuanya—yang terdapat simbol acak yang Aksa tidak mengerti.
Hingga beberapa detik kemudian suara pekikan bersama dua suara peluru menggema seisi ruangan.
Tubuh Aksa seketika kaku. Dia terduduk dan sedetik kemudian tangisnya pecah dalam diam. Ucapan bunda dan vater memenuhi kepalanya. Memaksa dirinya untuk mundur dan bergegas kembali ke kamarnya. Bocah itu mengambil sesuatu dari laci kamarnya seraya masih sesenggukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
yang baik belum tentu baik
ActionDisclaimer dikit: ini hampir 2 tahun lebih di-unpublish karena gaya penulisannya yang menurutku kurang. Sengaja dipublish lagi untuk mengenang perkembangan gaya penulisan gue yang dulunya suka sok ke-jaksel-jakselan. Aslinya mah orang Bogor wkwkw. *...