9. Taruhan, Kitkat, dan Orang-Orang Tak Boleh Berpikir Kalau Aku Takut

11 2 0
                                    

Sekali lagi batang leherku terselamatkan dari amuk Pak Sukardi. Kupikir tak perlu kujelas-jelaskan lagi kenapa dan bagaimana. Tak butuh kuterang-terangkan karena siapa. Hanya dan hanya satu itu. Hanya dan hanya dia.

Jam di atas papan tulis menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit, dan kelas masih ramai dengan berbagai aktivitas. Di mejaku, kutemukan Kitkat dan Tiarma tengah mengobrol heboh, Bang Jack pun nimbrung tanpa perlu gontok-gontokkan terlebih dahulu dengan dua lainnya.

Kitkat yang pertama kali melihatku, diikuti oleh dua pasang mata lainnya. Yang perempuan, yang dengan slebor tengah menduduki mejaku, bergegas turun tanpa berkata-kata. Ia duduk di bangkunya, bibir sama sekali rapat. Kemudian dengan sengaja memunggungiku, sibuk merogoh-rogoh isi tas.

Kitkat menatapku sedih dan Bang Jack hanya mengangkat bahu. Amarah Tiarma masih menyala, dan kurasa tak ada yang bisa kulakukan terhadapnya.

Usai duduk dengan perasaan murung, aku mengaitkan tasku ke punggung kursi. Dan tiba-tiba saja sebuah kotak bekal berwarna kuning berada tepat di depan wajahku, sejajar dengan bola-bola mata. Wangi betul. Tak butuh waktu lama untuk mengetahui kalau isinya adalah serabi; makanan favoritku. Satu-satunya makanan yang dengan ahli dapat dibuatnya.

Seharusnya aku tahu kalau Tiarma tak pernah suka menyimpan amarah, apalagi memelihara rasa benci lebih dari sehari. Ia persis kembang api.

Air mukanya yang kian risih membuatku tersenyum. "Aku minta maaf," kataku memudahkannya.

"Aku tahu," jawabnya pelan. Sungguh besar gengsi Si Nona Besar.

Kuambil kotak bekal itu, lalu kutaruh di kolong meja. Kubagi senyum ke arahnya sekali lagi, namun yang kusenyumi memilih menghindari bola-bola mataku dengan melempar pandang ke sosok Bu Putri yang baru saja tiba.

Melihatnya begitu salah tingkah membuat Kitkat, Bang Jack, dan aku geli sendiri. Setelahnya, kata-kata Bu Putri yang memulai pelajaran tak ada yang masuk satu pun ke kepalaku. Anganku melayang-layang ke jam istirahat pertama yang masih dua setengah jam lagi, lalu ke serabi hangat gula aren kesukaanku.

*

Betul saja, serabi itu begitu lezat, dan Tiarma membawakan cukup banyak untuk kubagi dengan Bang Jack dan Kitkat.

"Pelan-pelan, Bhum. Makanmu sudah seperti babi."

Kami bertiga tertawa keras, sedang Tiarma hanya menggeleng-gelengkan kepala. Uang saku kami utuh, dan lidah telah dimanjakan dengan begitu jatmika, mana bisa aku memberang?

Tetapi tentu saja semesta lagi-lagi membuktikan yang sebaliknya. Di pintu masuk kulihat Arus bersama konco-konconya tengah menyapu pandang ke seluruh kantin dengan congkak. Dan ketika matanya menemukan kelompokku, senyum culas terbit di bibirnya.

"Halo, Tuan-tuan. Dan Nyonya, tentu saja," sapanya menyebalkan ketika sampai di meja kami. Kulihat Bang Jack memutar bola matanya muak. Untuk hal yang satu ini kami bulat sepakat; Arus Manayu adalah orang paling menyebalkan se-SMA Kalam Angkasa, kalau tidak bisa dibilang sejagat semesta.

"Kau membuatku tak nafsu makan," seru Bang Jack lantang, tetapi Arus tahu cara-cara paling baik untuk membuat orang-orang semakin mendongkol. Pertama; ia tak mengacuhkan segala serangan yang jelas-jelas diarahkan kepadanya.

"Apa kabar, Kitkat?" tanyanya seraya meraih jemari Kitkat, kemudian mengecup punggung tangannya lembut. Itu yang kedua; bersikap seolah-olah apa yang kami miliki adalah apa yang dimilikinya juga. Oke, mungkin Kitkat bukan objek yang dapat dimiliki sesiapa. Secara de jure, namun secara de facto ia milikku.

Kitkat merentak tangannya, kaget. Reaksi Kitkat yang campuran takut dan malu hanya dibalas kekehan dan seringai menjengkelkan. Ini membuat wajah Kitkat semakin dan semakin merah. Pun membuat amarahku memuncak sudah.

Belum cukup sampai di situ, Arus dengan lancang memeluk Kitkat dari belakang. Kedua lengannya dikalungkan ke leher sahabatku yang kini kehilangan kata-kata.

"Kuharap cowok-cowok problematik ini tidak memusingkanmu," ujarnya sembari membaringkan pipi di puncak kepala Kitkat, sedang tatapannya lekat padaku. Dalam hati aku bertanya-tanya apakah setan mengambil posisi yang sama seperti Arus ketika menempeli manusia.

Aku dan Bang Jack berdiri bersamaan, bersiap melanggar janji pelajar poin keenam. Kuharap Bang Jack mengerti kalau Arus hanya dan hanya milikku, sedang ia bisa mengambil dan membereskan dua lainnya. Tak ada yang lebih kuinginkan selain mematahkan hidung sombongnya, atau setidak-tidak membenamkan tinjuku ke tubuhnya, bagian mana terserah.

Baru saja Crabbe dan Goyle versi SMA Kalam Angkasa maju mengapit Arus, Tiarma menyela untuk pertama kalinya.

"Dasar cowok. Nggak bisa ya menyelesaikan segala sesuatu dengan cara yang lebih berkelas? Kalian mau gontok-gontokkan apa nggak malu sama seragam?"

Tiarma berbicara begitu santai seakan-akan di depannya tidak ada sedikitnya lima orang yang hendak saling baku hantam. Nadanya seakan-akan sedang menjelas-jelaskan kalau Susu Beruang tak benar-benar diperas dari, kau tahu, susu beruang.

Arus melirik ke arah Tiarma, matanya berkilat-kilat. "Oh, ya? Kau punya ide yang lebih baik? Aku tentu tak ingin terlibat percekcokkan kasar, primitif, dan kelas rendahan seperti yang teman-temanmu coba lakukan."

Tiarma membalas senyum Arus. Maksudku, Tiarma membalas senyum Arus. Tak pernah dalam seribu tahun aku membayangkan kejadian ini.

Yah, sebenarnya Tiarma tidak pernah secara terang-terangan berkata bahwa ia membenci Arus. Atau bersikap seakan-akan dirinya membenci Arus. Kalau dipikir-pikir, hanya Bang Jack dan akulah yang heboh sendiri. Tiarma hanya... ia hanya... tak pernah mengacuhkan Arus?

Entahlah, aku tak mengerti. Jelas-jelas apa yang dilakukan Arus barusan termasuk pelecehan seksual, namun tak satu pun sendok atau buku fisika yang melayang.

"Kau calon ketua klub fotografi, bukan? Dan yang selalu membuatmu dongkol adalah calon wakilmu? Kenapa tak di sana saja kalian mempertaruhkan segalanya ketimbang cuma mendapat memar di tubuh dan lebam di muka?"

Arus dan aku mencerna kata-kata Tiarma. Mataku bertemu matanya. Maksudnya, duel?

"Menarik," sahut Arus, punggungnya ditegakkan, mata fokus ke satu-satunya perempuan di meja ini, posisinya kini serius. "Pemenangnya berhak atas Kitkat?"

Aku melihat Kitkat, kemudian Tiarma, kemudian Arus, kembali lagi ke Kitkat, yang sama sekali tak mengerti apa maksud kami semua. Kebingungan total.

"Aku pikir kamu bisa lebih kreatif, Rus."

Kurasa Tiarma dan Arus sebenarnya telah berpacaran di belakang kami semua, kulihat dari cara mereka saling berbagi senyum. Demi Tuhan, mengerikan.

"Entahlah, tentu aku takkan mampu menolak ide cerlang-cemerlangmu."

"Trims," tuturnya, kelihatan betul tersanjung. "Bagaimana kalau yang kalah, rela tak rela, suka tak suka, harus mau menjadi babu bagi yang menang?"

Hening, lama sekali rasanya. Masing-masing dari kami sibuk mencerna hingga tak mampu berkata-kata. Kami, kecuali Crabbe dan Goyle, karena sepertinya mereka hanya memandang nanar Tiarma.

"Menarik," bisik Arus memecahkan hening.

"Kaupikir aku bakal gentar?" sahutku akhirnya, menyesal terlalu lama tak berkata apa-apa. Orang-orang ini mungkin akan berpikir kalau aku takut. Dan orang-orang tak boleh berpikir begitu. "Lihat saja, Rus. Kau akan menjadi babuku seharian. Dan kau takkan pernah bisa membayangkan apa yang nanti akan aku lakukan."

Arus tersenyum ngenyek sebelum berkata, "Ganti taruhannya menjadi seminggu."

"Kayaknya nyali kalian berdua lebih kecil daripada buah zakar Ucok Baba, deh," sela Tiarma kemudian. Matanya berkilat-kilat menyeramkan. Dan aku sadar kalau sebenarnya Tiarma masih membenciku dan keputusan-keputusanku.

"Ganti taruhannya menjadi sebulan."

*

Whatever Float My BoatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang