Kejadian Arkan tertawa dikantin yanh disebabkan oleh dirinya membuat Ica menjadi terkenal. Sepanjang koridor, setiap tatap mata pasti melihat dan bergunjing ria tentang dirinya. Padahal ia sudah memprediksi akan adanya gosip pagi ini, hal inilah yang membuatnya sengaja berangkat siang.
Tepat di bawah tangga yang menghubungkan lantai satu dan dua, ada dua sejoli yang tengah adu argumen. Yang satu perempuan rambut blonde dengan pakaian ketat dan seorang pria yang menggunakan tindik di dua telinga dan gelang didua tangannya tak lupa rambut bercat grey.
Ica menpercepat langkahnya agar tak perlu berhubungan dengan mereka berdua. Namun sayang mata Arkan menangkap sosok dirinya. "Ca!" Panggilnya, namun Ica tak menghentikan langkahnya. Samar didengar telinga Ica, "Gue pacaran sama lo soalnya lo mohon-mohon buat gue jadi pacar lo. Dan ya gue terima, tapi bukan berarti lo bisa ngatur idup gue." Yang Ica yakini adalah suara milik Arkan.
Terdengar isak tangis, membuat dirinya harus menghentikan langkah kakinya. "Tapi, Arkan. Aku itu pacar kamu tetep aja. Jadi aku berhak marah kalo kamu pergi sama cewe lain kemarin." Deg! Jadi mereka bertengkar karena kemarin? Itu artinya ada hubungannya dengan dirinya.
"Aku udah ga ngatur kamu mau pake dandanan gaya preman gini, Ar. Tapi setidaknya hargain aku." Lanjut sang gadis. Sebelum Arkan sempat menjawab, Ica menghentikannya dengan memeluk sicewe dari belakang. Hal itu sontak membuat Arkan dan Sasya-pacarnya-terdiam.
"Banci lo, Kan!" Tegas Ica, dia kesal harus mendengar dirinyalah yang menjadi topik pertengkaran mereka.
Sasya melepaskan pelukan Ica dan menghapus air matanya. "Ga usah sok baik lo." Sergah Sasya. Ica mengangguk, "Ga akan so baik kok. Cuma gue kesel aja jadi alasan lo berdua berantem. Terus lebih kesal lagi denger lo direndahin kek tadi." Jelas Ica tajam menyindir Arkan.
"Gue ga salah, Ca. Emang dianya aja banyak ngatur. Padahal masih untung gue terina jadi pacar gue, ga ada ot-" belum sempat Arkan menyelesaikan ucapannya, tamparan keras mendarat diwajah tampannya. Ica menamparnya.
"Ga tau apa yang udah lo lakuin selama gue ga ada. Tapi gue nyesel kesini nemuin lo. Ga nyangka lo bisa ngomong kek gitu ke cewek." Arkan mematung mendengar ucapan beruntun dari Ica. Apa dia berlebihan?
Lalu Ica menoleh pada Sasya yang ikut mematung akan adegan tamparan dari gadis kecil berkuncir ekor kuda dihadapannya dan Arkan ini. "Dan lo. Putusin dia. Ga ada bagus bagusnya suka sama orang yang udah ga nganggep seorang perempuan itu istimewa. Masih banyak yang lebih dari bajingan ini." Titah Ica. Sasya mengangguk, "Mulai sekarang kita putus, Ar." Setelah mengucapkan itu, Sasya dan Ica pergi dengan Ica menggandeng lengannya pergi kelantai dua menjauhi Arkan yang masih diam.
"Thanks ya. Lo buat gue sadar, ga seharusnya gue ngerendahin diri kek gitu. Eh, kenalin gue Sasya kelas 12 IPS." Ujar Sasya yang dibalas Ica dengan datar, "Ica kelas 11 IPA." Sudah memperkenalkan diri, Ica pergi meninggalkan Sasya sendiri.
Ica kesal, dia juga marah. Tapi bukan berarti ia harus melontarkan ucapan pedas seperti tadi. Tapi, Arkan juga salah. "Aisssh!" Ica menjambak rambutnya frustasi. Bingung hatus melakukan apa. Minta maaf? Bukan dia sendiri yang salah.
Clara yang melihat kegilaan Ica menyahut, "Ada masalah?" Ica mendongak menatap Clara, lalu dengan pasrah dia menceritakan semuanya dari awal. Clara mengangguk paham akan permasalahan Ica, iapun menyarankan agar Ica Mendinginkan pikirannya dulu sebelum mengambil tindakan. Dan Ica mengangguk setuju, dia akan pergi ke UKS untuk tidur.
Baru saja tubuhnya berdiri tegak dari kursi tempat duduknya, Edho teman sekelasnya masuk dengan tergesa-gesa. "Arkan berantem woy!" Teriaknya membuat seisi kelas gaduh langsung ikut berlari mengikuti arah tujuan Edho. Lapangan upacara.
Ica yang juga ikut karena ditarik paksa oleh Clara hanya dapat berlari dengan wajah suramnya. Sesampainya dilapangan upacara, tempat itu sudah penuh dengan anak-anak yang lain. Sorak-sorai penuh semangat bergemuruh disini. Clara yang masih setia menggandeng Ica, menariknya agar masuk lebih dalam lagi untuk melihat adegan perkelahian.
Ica yang juga ikut karena ditarik paksa oleh Clara hanya dapat berlari dengan wajah suramnya. Sesampainya dilapangan upacara, tempat itu sudah penuh dengan anak-anak yang lain. Sorak-sorai penuh semangat bergemuruh disini. Clara yang masih setia menggandeng Ica, menariknya agar masuk lebih dalam lagi untuk melihat adegan perkelahian.
Arkan yang tengah menghajar siswa laki-laki yang terkapar dengan Arkan diatasnya. Dilihat sekeliling Arkan, banyak siswa lain yang tergeletak mengenaskan dengan lebam pada wajah dan juga darah. "Balikin anjing!" Teriakan Arkan membuat Ica bertanya pada siswa yang ada disebelahnya. "Masalah apa?" Siswa yang ditanya lalu nenjawab bahwa mereka mengambil paksa kalung Arkan dan membuangnya kesumur dibelakang sekolah. Ica menghembuskan nafasnya, lagi-lagi kalung.
Saat dia menoleh kearah Arkan, siswa yang tergeletak tak jauh dari Arkan berdiri dan melepaskan ikat pinggangnya dan bersiap mencambukkannya pada Arkan yang masih menghajar temannya.
Ica berlari dengan cepat kearah perkelahian. Saat tangan yang memegang gesper itu terkibaskan menuju Arkan, tangan kanan Ica sudah terlebih dulu datang menyambut cambukan itu. Tangan kanannya terkena kepala dari gerper itu, mengakibatkan tangan kanannya berdarah walau tak terlalu parah, tapi tetap saja perih. "Anjir." Lirih Ica menegang tangannya yang terluka.
Anak-anak yang menyaksikan itu langsung bertambah ribut, Arkan menoleh ke belakang dan mendapati Ica yang tengah merintih memegang tangan kanannya. Dengan sigap Arkan berdiri melihat keadaan Ica.
"Ica." lirihan Arkan terdengar membuat Ica menoleh dan tersenyum. "Belum selesai, noh yang lain bangun." Jawabnya. Arkan melihat anak-anak yang tadi sudah jatuh berdiri kembali, bersiap menghajar mereka. Baru saja mereka akan menyerang lagi, suara tegas membuat semuanya diam.
"Hentikan!" Semua siswa menoleh mendapati kepala sekolah mereka dengan tampang marah memasukki area perkelahian. "Bubar semua!" Tanpa penolakan semua anak-anak langsung bubar menyisakan Ica, Arkan dan juga ke 4 anak yang berkelahi dengan Arkan tadi.
Kepsek itu melihat kearah Arkan, lalu bergantian kearah Ica. Pak Banu mendesah kasar. "Kalian berlima ikut bapak kekantor. Dan kamu Ica. Obatin luka kamu dulu baru kekantor." Titahnya.
Setelah kepergian pak Banu, Ica menatap Arkan lekat. "Bego lu." Ujar Ica, membuat Arkan mengernyit heran. "Kalo berantem itu sadar situasi jangan cuma fokus sama satu musuh doang." Lanjut Ica yang melihat kebingungan Arkan.
Arkan tertawa mendengar penuturan Ica, temannya itu ratal sahabatnya itu memang tidak berubah sedikitpun, dan Arkan bersyukur akan hal itu.
"Ngapain lo senyum senyum!" Ketus Ica ketika melihat tawa Arkan yang berhenti tergantikan senyum haru. Arkan menggeleng dan membawanya ke UKS berniat mengobati luka ditangan kanan Ica.
Baru beberapa langkah, tepukan jidat dari Arkan membuat Ica menoleh. Mendapati sahabatnya itu mengernyit bingung, Arkan menjawab dengan gusar. "Kalungnya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE IS SAHABAT
Fiksi RemajaKadang kalian tidak perlu mencari orang baru hanya untuk jatuh cinta. Bisa jadi orang terdekat kalian itulah cinta sejati kalian. Masuk kedalam hati, pusatkan fikiran kalian. Lalu tanya pada diri kalian sendiri, apakah kalian bersahabat sebagai tema...