Lika-liku Masuk Sekolah Baru

39 6 3
                                    

Berat, Bray. Aku bisa melihat gurat lelah dan kecewa dari Bapak dan Mamak hari itu setelah penolakan ke sekian.

Ya, begitulah faktanya. Ekspektasi yang kami harapkan nggak sesuai sama kenyataan di lapangan. Satu per satu sekolah sudah kami datangi tapi nggak ada yang mau nerima aku dengan alasan catatan merah yang tertulis di buku raport.

Duh, nyesek, sih. Kalau udah begini, rasa sesal main serang keroyokan sama kecewa dan putus asa. Bahkan, di sekolah terakhir yang kami datangi, petugas sana yang entah bagian apa bilang kalau mereka nggak bisa menerima calon kriminal.

Setdah! Hahaha. Mulutku ketawa tapi dalam hati nyes juga.

Tapi lagi-lagi aku hanya bisa pasrah, begitu pun orang tuaku.

Kampretlah! Harusnya aku bisa ngendaliin diri waktu itu.

"Ayok, Pan, sing* semangat! Nggak usah dipikir jeru-jeru*!"
[*Yang==>sing semangat=yang semangat.
*Dalam-dalam==>jeru-jeru= (dalam hal ini tentang kondisi psikis) terlalu dalam.]

Pak Limbuk mencoba menghiburku. Beliau adalah salah satu karyawan Pak Haji, kuli panggul merangkap supir. Umurnya sebaya bapakku tapi tubuhnya sangat bagus dan tampak sehat daripada bapak yang lebih kurus. Pak Limbuk juga karyawan yang sangat loyal bekerja dengan Pak Haji. Katanya, sih, dari remaja sampai sekarang yang sudah mau punya mantu. Tentang namanya yang unik itu, entahlah. Aku juga nggak tahu nama aslinya. Asal ikutan yang lain saja.

Semua karyawan Pak Haji sudah tahu perihal aku yang dikeluarkan dari sekolahan ketika aku memutuskan untuk mengisi kekosongan hari dengan bekerja. Karena kebanyakan karyawannya laki-laki, jadi nggak ada drama tangis-tangisan atau peluk-pekukan. Yang ada malah aku diketawain. Pak Haji malah menimpuk kepalaku pakai gumpalan kertas sambil mengataiku "Enthus!*"
[Bodoh, bebal]

Yah, mungkin benar kata Pak Haji itu.

Oh iya, tentang hubunganku dengan karyawan lain sangatlah baik. Karena aku yang paling muda jadi aku menganggap mereka sebagai bapak-bapakku. Maklumlah, umur mereka rata-rata sudah kepala empat. Sebelum aku, ada Mas Thohir yang usianya sudah tiga puluhan akhir. Jadinya aku kayak adik bagi mereka. Lebih tepatnya, adik untuk di-bully. Mereka kerap bertingkah jahil dengan menjodohkan-jodohkanku sama  karyawan toko sebelah. Yang ini risih banget dah. Padahal nggak ada apa-apa juga aku sama karyawan itu. Cuma pernah saling sapa bentar udah main mak comblang aja. Kadang para lelaki itu rempong juga, kayak emak-emak.

Dan yang paling sering adalah aku dijadikan babu. Tolong ambil ini, tolong ambil itu. Letakkan di sana, simpan di situ. Pijatin sebentar.

Tapi, aku nggak masalah sama itu semua. Yang penting mereka tetap memperlakukanku layaknya manusia pada umumnya sekalipun mungkin rumor tentang kelebihanku sudah mereka dengar.

"Heh, Pan. Daripada kamu mumet mikirin pelajaran, mending kawin sajalah sana. Tuh lihat, si Rukmi sudah mesam-mesem saja dari tadi ngeliatin kamu," seloroh Pak Limbuk.

Kami saat itu memang sedang berkumpul untuk makan siang. Biasanya kami hanya berkumpul di samping toko jika sepi pembeli.

"Udah kebelet dia kayaknya, Pan." Yang lain menimpali.

"Entar mumet mikirin beli susu kamu, Pan!"

"Ngapain beli, lhawong udah punya gitu, lho! Premium!"

Halah, asem! Omongan para bapak-bapak kelebihan belaian ini kayaknya udah di luar batas pemahamanku. Jadinya aku diam saja. Meski kulirik juga si Rukmi yang memang cukup manis itu. Kulitnya putih, pipinya tembem dan ada tahi lalat kecil di sebelah kiri.

Kata orang-orang, dia kelihatan imut. Ya memang imut. Masalahnya aku belum tertarik sama yang namanya cinta-cintaan. Bukannya aku nggak suka lawan jenis, tapi memang bukan itu fokusku selama ini.

Ghost, Away! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang