Chapter 1

53 9 4
                                    

 ‌Tak seorangpun yang tahu, Gadis berusia 17 tahun itu masih tergantung tak berdaya di bawah jembatan dekat kota. Tak ada yang meliriknya dan menyadarinya. Semua berlalu lalang tanpa memberi sedikit kesempatan buat mata melirik sekilas kebawah, melihat gadis itu bergantung cukup lama, 30 menit? Bahkan lebih.

Sepasang kekasih bersenda gurau, berdiri dipinggir jembatan sembari mengenggam erat besi kumal yang memanjang didepannya. Dia sempat melirik kebawah, tapi yang terjadi? Dia hanya melihat, bukan memperhatikan. Jiwanya sedang digelitik oleh asmara, oh, buta sekali.. Dia bahkan sama dengan orang-orang yang bergerak maju dengan kepala yang selalu menengadah kedepan.

‌Kecuali anak lelaki itu. Dia jelas berada tepat dibawah kakinya. Melihat jelas kronologis kejadian itu, bagaimana gadis itu berusaha menutup mata dengan deraian air mata yang masih menggelantung dikelopak matanya. Gadis itu tak tahu, matanya tersenyum ketika dia menangis. Gadis itu menautkan kedua tangannya dengan erat sembari berbisik pelan. tak lama sesudah itu juga dia membuka tangannya dan merentangkannya dengan luas, hingga akhirnya membenamkan diri ke jurang yang gelap yang terlihat tidak berujung. jelas dia tahu, secepat mungkin, aku akan kembali. Terdengar dia tertawa kecil sebelum akhirnya mengakhiri hidupnya dengan berbisik jelas

‌"aku bebas".

‌Ron, anak lelaki itu melihatnya dengan sabar. Sudah 30 menit dia duduk dibawah kaki pucat gadis itu, menunggu dengan pasti apa yang dilakukan gadis itu dengan tali yang melingkari leher putihnya yang jangkung walau ada lebam keunguan melingkar mengikuti bentuk lehernya. Menurutnya itu sangat hebat, sedikit tak sabar memberi tahu orangtuanya tentang perihal itu, bercerita kagum dengan semua kehebatan gadis itu yang melompat turun kebawah dengan tali terikat di lehernya. Pasti Ibu senang jika aku juga bisa melakukan seperti itu, gumamnya tak sabar.
‌.
‌.
‌Anak lelaki itu tak sadar, tak lama dia akan mendapat ratusan pertanyaan dan jelas akan sulit karena Ron berumur 9 Tahun.
‌.

‌Matahari sudah mulai membenamkan dirinya kembali, hanya ada sedikit cahaya merah kecoklatan menerpa wajah gadis itu. Tampak puas, tampak lelah, wajahnya menyiaratkan bahwa 'aku pantas mendapatkannya'. Sedangkan Ron memilih pulang kerumah kecil dekat sungai karna tak melihat ada tanda-tanda gadis itu akan turun.

‌Lehernya yang jangkung, tergores oleh luka lebam. Wajahnya sangat putih, tepatnya pucat. Mata gadis itu layu menatap kebawah, matanya menonjol ingin keluar dari kelopak matanya. Mendadak sebuah tangan besar menyentuh matanya dengan gerakan kebawah. Jelas mata itu tertutup. Orang itu meniggalkannya, tak ada niat membawa dia pulang.

‌Parvati, Gadis berusia 17 tahun meniti hari-harinya dengan sebongkah hinaan, sepasang mata licik mengawasinya dari berbagai sudut, seorang pria dengan kumis tebalnya terlihat memenuhi bagian atas mulutnya, menggaruk gatal akibat bulu rambut runcing menusuk bibir atasnya yang kecoklatan, Rokok menyihir bibirnya menjadi kecoklatan dengan gigi kuningnya yang berantakan terlihat menambah keberingasan pria itu ketika tertawa.

‌Pisau hitam berada pada genggaman pria tua itu yang umurnya kira kira sudah menginjak tangga 5.

"Aku ingin kau merasakan apa yang kurasakan" kata Pria berkumis,berang.

"Aku pikir ini sudah cukup menjelaskan beberapa hal, mengapa kau tetap tega melakukan ini?! Aku putrimu!", Parvati berteriak keras. "Ibu bilang kau selalu menginginkan seorang anak perempuan, dan mataku persis sepertimu! Tapi ini sangat mengherankan mengingat kau tampaknya membenciku setengah mati. Aku selalu terlihat menjijikkan dimatamu!" Sambungnya marah.

Dia tampak tak bersalah memanggilnya dengan 'kau' dan bukan Ayah. Pria itu tertawa licik, namun terlihat bingung, marah, dan sedih?

"Berapa kali kubilang kalau kau bukan anakku?!, Ibumu yang sangat kau sayangi itu tak ada bedanya dengan seorang badut! Dia itu licik. Dia sampah! Kau dengar itu? Sampah dan sam-"

"Dasar tak tau malu! Jangan sekali kali kudengar kau memanggilnya sampah!" Potong Parvati marah, urat kepalanya terlihat menonjol keluar dan wajahnya merah padam.
Parvati teringat bahwa Ayahnya sangat membenci Badut, Ayahnya bahkan tak sudi ikut ke pasar malam hanya karena seorang badut, Ayahnya menganggapnya sangat menakutkan dan terlihat seperti penjahat yang sangat licik. setidaknya itulah alasan yang selalu dilontarkan Ayahnya kepadanya.

"Aku tau kau tak pernah mencintai Ibu! Sangat terlihat dari wajah kekesalanmu setiap hari, kau tak dapat menutupinya", kata Parvati sinis.

Darah kental mengalir keluar dari tangan kanannya, Parvati. Pisau itu sudah menjadi santapannya minimal 3 kali seminggu. Wajahnya bertambah pucat seiring waktu, terlalu banyak kehabisan darah membuatnya semakin lemah dan kadang berhalusinasi. Namun bibir mungilnya tetap merah dengan natural atau karena memang dia terbiasa menggigit bibirnya ketika menahan gertakan yang membuatnya marah namun tak dapat berbuat apa-apa. Tapi kali ini Parvati benar-benar mengernyit kesakitan. Sesuatu yang belum pernah dia lihat menggetarkan hatinya saat menatap lekat wajah Ayahnya. Pria yang dikenalnya tampak ingin menangis, wajah Ayahnya terlihat tak tau arah, menyesal namun masih terlihat marah. Mendadak Ayahnya bergerak cepat dan menyayat kecil bagian tangan Parvati dengan sangat liar.

Ayahnya berlari kecil kekamar miliknya dan membanting pintu dengan keras, terdengar kecil tarikan nafas tersengal-sengal tak teratur dari dalam kamar.
Parvati bergeming, 'A-ayahku mem-menangis? Dia kan tak punya hati, apa maksudnya melakukan seperti itu?'
Parvati tak ingin berfikir panjang, secepat mungkin dia menarik kesimpulan bahwa Ayahnya hanya berpura-pura, as always.

'aku tak akan pernah memaafkanmu, Ayah,' batinnya dalam hati. 'aku bersumpah, kali ini, takdirmu ada ditanganku, bukan ditangan Tuhan', makinya penuh minat.
‌.
‌.
Parvati jelas tidak sadar,

Dia melakukan kesalahan besar.
‌.
‌.

‌"Ibu, aku pulang", Ron berlari kecil kebelakang rumah tempat ibunya terbiasa menangis, merenungi nasib yang tak kunjung berganti seakan hidupnya tidak dapat diperbaiki lagi layaknya mendirikan benang basah. Satu yang tidak dimengerti oleh anak itu. Air Mata.

‌"ini sudah sangat sore, kemana saja kau?" , Samar ibunya menjawab dibalik pohon Mangifera Indica.

‌"kemari Bu, aku menyaksikan sesuatu yang luar biasa, ini akan sangat keren", kata Roy sedikit berteriak kegirangan. Ibunya tersenyum kecil.

‌Ron menarik tangan ibunya dengan semangat dan menyuruhnya duduk.
‌Ron berdiri, bersiap melakukan penjelasan dengan sedikit gerakan plagiat dari Gadis yang dia lihat. Ron mulai berbicara riang dengan mulai merentangkan tangannya dengan mantap, melompat kecil dan berkata,
‌"Ibu, aku melihat seorang perempuan melompat dari jembatan dengan tali yang melingkari lehernya dan -"

DUG!

‌sesuatu yang keras menampar batin wanita tua itu. Kalimat pertama Ron yang bahkan masih permulaan menghancurkan hati wanita tua itu berkeping-keping.
‌.
‌.
‌.
kami dalam masalah.


 ‌

UNDER THE DARKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang