Hari itu, aku memakai sepatu lusuh yang sudah rusak ke kakiku. Aku menatap mereka miris, namun masih bersyukur sepatu ini masih bisa ku gunakan. Aku menyalimi ibu dan mengambil keranjang kue yang harus kuantarkan ke warung bi Piah.
Setelah mengambil tas yang hampir putus ini, aku berjalan keluar rumah kayu kecil dan berjalan kaki. Ditengah perjalanan aku mampir ke warung bi Piah untuk menitipkan jualan ibu.
Aku kembali berjalan, sesekali kusapa anak-anak yang duduk dipinggir jalan karena kami saling mengenal. Bersyukur hari ini masih bisa melihat mereka tersenyum dan menyapaku.
Setelah beberapa menit aku berjalan kaki, akhirnya aku tiba di bangunan tua nan kuno yang biasa kami sebut 'sekolah'
Sekolahku memang bukan yang terbaik dikota ku. Malah mungkin yang terburuk. Aku pernah mencoba mengikuti beasiswa ke sekolah elite di kota. Dengan penuh harapan bisa belajar dan menuntut ilmu disana. Sayangnya aku gagal dan masuk ke sekolah ini yang terakreditasi c. Namun aku bersyukur aku masih diberi kesempatan untuk bersekolah. Karena itu, aku belajar dengan giat. Untuk membuktikan bahwa Dalia yang yatim dan kekurangan ini, bisa menjadi apapun yang diinginkannya.
[•]
"Jean."
Kami yang berjumlah 19 orang dikelas menatap kagum seorang laki-laki yang sedang mengenalkan dirinya didepan kelas. Tatapannya menatap kami rendah, tangannya dimasukkan ke saku jaket, dan tasnya disampirkan ke bahu kanannya.
Aku ikut menatap sosoknya dengan kagum. Matanya yang tajam, rahangnya yang kokoh, bahu yang tegap, kulit bersih, hidung yang sempurna, dan seragam yang masih putih bersih. Sangat berbeda dengan kami yang mengenakan seragam seadanya dan telah menguning.
Terlihat jelas, kastanya berbeda dengan kami. Kelasku memang hanya terdiri dari 19 orang yang merupakan satu-satunya angkatan kelas sepuluh. Dan kami yang 'beruntung' ini bisa sekelas dengan ia yang sekarang kuketahui bernama Jean.
"Jean silakan duduk dibelakang Dalia," ucap bu guru dan ia menurutinya dengan tatapan malas. Karena siswa yang sedikit, kami duduk sendiri-sendiri dan tidak memiliki teman sebangku. Jujur, aku merasa senang ketika Jean didudukkan dibelakangku.
Pelajaran hari ini pun dimulai. Aku sedikit merasa gugup karena ada Jean yang duduk dibelakangku –padahal ia tentunya tidak melirikku namun aku tetap gugup. Mungkin ini pertama kalinya aku merasakan ketertarikan pada lawan jenis.
Tiba-tiba aku merasa punggungku diketuk dari belakang. Aku menoleh pada Jean dengan sedikit menunduk, "kenapa?"
"Pinjem pulpen lo," ucapnya sambil mengadahkan tangan.
Aku menatap pulpenku. Pulpen ini merupakan satu-satunya pulpen yang kumiliki. Itupun aku menemukannya ketika sedang pulang sekolah.
Aku menatap Jean yang sedang menatapku malas dan tajam, "tapi ini pulpen aku satu-satunya,"
"Ya udah lo beli aja lagi," ujarnya.
Aku menggeleng pelan, "aku gak punya uang buat beli pulpen lagi."
Jean menarik tangannya kesal, "miskin amat!"
Aku hanya bisa mengangguk pelan sambil memutar badan, kembali menghadap papan tulis kotor yang bahkan masih menggunakan kapur.
Sakit hati?
Tidak..
Karena kata 'miskin' selalu melekat pada diriku sejak dulu. Sehingga mendengar orang lain mengatakannya membuatku hanya bisa mengangguk atau tersenyum.
Dalam hati aku mengutuk diriku sangat bodoh karena merasa tertarik dengan Jean.
Ia terlalu indah dan sempurna untuk aku yang serba kurang dan tidak memiliki apa-apa.