Panas terik matahari menyiram bumi. Deretan pepohonan yang rimbun menari-nari sambil membawa angin sepoi-sepoi. Suara jangkrik, siulan burung, serta aliran sungai layaknya musik orchestra di tengah hutan. Beberapa ekor rusa melepas dahaga di tepi sungai bersama anak-anaknya. Tanpa ada yang tahu Zikra yang tergeletak hampir tak sadarkan diri di tepi sungai tengah membutuhkan pertolongan. Badannya penuh luka di sana sini, entah apa sebab. Antara hidup dan mati, ia hanya bisa memasrahkan diri pada nasib. Tubuhnya sudah tidak sanggup lagi bertahan. Sayup-sayup matanya mulai menutup. Hal yang terakhir diingatnya adalah langit yang berputar-putar di atasnya, dan wajah seorang gadis cantik dengan rambut hitam terkuncir. Di sampingnya berdiri seorang anak lelaki yang sekilas mirip sekali dengan gadis itu. Gadis itu berkata, "Dia orangnya. Pasti dia."
"Tidak sekarang, Laila," kata lelaki itu. "Dia masih sadar. Kita bawa dia ke rumah."
***
Bulan purnama. Sungguh indah untuk dilihat. Sayang Zikra masih terbaring lemah di atas kasur. Perlahan ia mulai membuka mata. Mulanya masih tampak gelap. Kemudian matanya mulai berkunang-kunang, hingga akhirnya ia bisa melihat dengan jelas. Bingung. Dimana ini? Pikirnya. Ruangan itu terbuat dari kayu. Rapi dan bersih. Dari balik tirai jendela ia melihat sekelompok pemuda-pemudi mengelilingi api unggun sedang membakar ikan.
Zikra mencoba untuk bangun. Tapi tubuhnya masih terlalu lemah. Tak sengaja ia menjatuhkan gelas di samping tempat tidurnya.
Pemuda yang sedang mengipasi ikan menoleh. "Dia sudah bangun!" Segera mereka bangkit dan berlari menuju kamar Zikra dirawat. Pintu kamar mendecit terbuka. Empat orang dari mereka, Zikra menghitung. Dua pasang anak laki-laki dan perempuan, mirip-mirip. Seukuran anak SMA, sedikit lebih muda dari dirinya, terka Zikra. Semua tampak ramah, senyum ikhlas terpancar dari masing-masing wajah keempat muda-mudi tersebut. Zikra memakukan pandangannya pada dua orang yang dikenalinya.
"Kalian yang membawaku ke sini." Zikra menunjuk lelaki dan gadis itu. "Dimana ini?"
"Tenanglah. Ini rumah kami. Kau pingsan di tepi sungai dalam hutan. Kami sedang memancing ikan dan tak sengaja menemukanmu," lelaki itu menjelaskan. "Kalau boleh tau dari mana asalmu? Bagaimana kau bisa hanyut di sungai ini?"
Zikra mencoba mengingat sesuatu. Malam, gelap, senjata, sungai. Kemudian kepalanya berkedut-kedut.
"Kalau tidak salah aku terpeleset saat kabur dari rumah."
"Kabur?" Lelaki itu terus mendesaknya.
Zikra memegang kepalanya. "Agh, maafkan aku. Bisakah kita bicarakan itu lain kali saja?" Zikra hanya tidak ingin berbagi cerita dengan orang yang baru ditemuinya. Kemudian suara keroncongan menguar dari perutnya. "Maaf."
Lelaki itu tersenyum. "Kebetulan kami sedang membakar ikan hasil tangkapan tadi siang," ia menunjuk ke arah api unggun. "Ngomong-ngomong, siapa namamu?"
"Zikra." Ia berusaha bangkit. "Kalian?"
Lelaki itu menjulurkan tangan, membantu. "Aku Ezra, kakak tertua. Ini adik-adikku. Laila, Eska, dan Arka. Kami kembar empat. Kau pasti ingat Laila." Gadis cantik berkuncir yang dilihatnya di sungai tersenyum ramah. Pantas saja mereka terlihat begitu mirip, pikir Zikra. Ezra membantunya berpakaian. Saat itu Zikra tidak sadar kalau Laila begitu terpaku melihatnya.
***
Kondisi Zikra jauh lebih baik setelah beristirahat semalaman. Kesibukan sudah terlihat di rumah nan mungil itu.
"Kau sudah bangun?" Laila sedang membawa segerobak ember kosong. "Silahkan kau mandi dulu. Itu airnya sudah kusiapkan."
Zikra merasakan aura keibuan dalam diri Laila. Selesai mandi Zikra ikut bergabung di meja makan untuk sarapan. "Terima kasih, sungguh kalian tidak perlu repot-repot." Zikra mulai melahap ikan bakar sisa semalam.
YOU ARE READING
MENUNGGU DISELAMATKAN
ActionTakdir mempertemukan Zikra dengan empat saudara kembar yang ternyata telah diramalkan untuk membantu Zikra menuntaskan misinya. Namun Zikra justru membawa mimpi buruk bagi mereka. Antara kebenaran pahit yang terungkap dan konspirasi alam di dalamnya...