[Garang Wibawa]

114 26 19
                                    

🌺🌺🌺🌺🌺🌺

Kejahatan enggak boleh dibalas dengan kejahatan

-Sucipto-

🌺🌺🌺🌺🌺🌺

Bel tanda waktu istirahat telah habis, berbunyi. Seluruh siswa dan siswi tergesa-gesa memasuki kelas. Begitu pula dengan kami. Tak ingin mengundang curiga. Akhirnya aku dan sucipto meminta izin untuk masuk ke kelas terlebih dahulu. Padahal bisa saja kami berjalan beriringan dengan Bu Romlah.

Saat aku dan Sucipto memasuki ruang kelas, seperti biasa gerombolan orang-orang tukang nyinyir itu, menyoraki kedatangan kami. Ketua dari pergerakan mereka siapa lagi kalau bukan Garang Wibawa.

Oh, bukan-bukan. Aku keliru. Ketua kelas kami itu tidak ada sangkut pautnya dengan gerombolan nyinyir. Setelah menyisiri satu demi satu orang yang menyoraki kami. Di antara mereka tak terlihat batang hidung Garang Wibawa.

Entah, bagaimana semua ini bermula. Padahal dahulu kelas ini biasa saja. Justru kami saling menghormati satu sama lainnya, karena memang suku dan agama kami tak sama. Bhineka tunggal ika. Berbeda-beda tapi tetap satu.

Boleh jadi latar belakang keluarga kami ada yang dari suku Sunda, Jawa, Betawi, Batak dan lain sebagainya. Namun kami semua tetap lah satu. Bangsa Indonesia.

Sebenarnya frasa 'Bhinneka Tunggal Ika' telah tercipta jauh sebelum Indonesia merdeka. Bahkan penciptanya pun bukan seorang pejuang kemerdekaan.

'Bhinneka Tunggal Ika' adalah sebuah frasa yang terdapat dalam Kakawin Sutasoma. Kakawin sendiri berarti syair dengan bahasa Jawa kuno.

Kakawin Sutasoma merupakan karangan Mpu Tantular yang dituliskan menggunakan bahasa Jawa kuno dengan aksara Bali. Bu Romlah pernah bercerita, jika Kakawin Sutasoma dikarang pada abad ke-14.

Kutipan frasa 'Bhinneka Tunggal Ika' itu terdapat dalam petikan pupuh 139 bait lima pada Kakawin Sutasoma.

Aku sangat menyukai sejarah. Setiap ada yang menceritakan sejarah pasti selalu kuingat. Bahkan tak jarang dicatat. Seperti buku diary.

Oh, ya, Kakawin Sutasoma kini bisa dilihat secara langsung dalam Pameran Pancasila yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Pameran tersebut diadakan di Museum Nasional Indonesia, Jalan Medan Merdeka Barat, No 12, Gambir, Jakarta Pusat.

Kakawin Sutasoma yang dipamerkan telah dituliskan kembali di atas daun lontar berukuran 40,5 X 3,5 cm pada tahun 1851 dengan isi 182 halaman dan tiap halamannya ditulis dalam empat baris.

Namun, tak diketahui siapa yang menuliskan ulang Kakawin Sutasoma tersebut, karena tidak ada petugas yang bisa ditanya perihal informasi lengkap kakawin ini.


"Ce-ileeeh ... Sucipto sama Fatimeh berduaan aja dari tadi!"

"Lagi berflower-flower kali, tuh orang dua."

"Apaan berflower-flower?"

"Berbunga-bunga. Hahahaha."

"Yaelah, tinggal ngomong jatuh cintrong aja susah amat!"

PANGGIL AKU FATIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang