// CHAPTER 1 //

7 1 0
                                    

"Ris? Bareng nggak?" Tanya Zefa.

Aris mengangguk, ia mengenakan jaketnya dan membawa tasnya, siap untuk pulang setelah seharian berkegiatan di sekolah. Ya... walaupun kegiatan yang dilakukan Aris hanyalah menelungkupkan wajah di meja dan duduk.

Kalau ditanya Aris itu mirip siapa, sejak dulu ia selalu disamakan dengan Squidward. Tokoh gurita yang mati segan hidup tak mau. Aris demikian, kerjaannya hanya berbaring-duduk-tiduran dan begitu terus sampai seterusnya kecuali memang harus berdiri.

Fisiknya memang sangat lemah, dan hidupnya sudah entah berapa tahun tidak bersemangat.

"Nanti lo ada les, Ris?" Tanya Acha.

"Eh iya, ada."

Sebuah senyum tipis merekah di bibirnya, mempermanis wajahnya yang biasanya selalu menampilkan ekspresi fully-resting bitch face. Zefa menyenggol Yoon Ji dan Acha, mereka melirik-lirik sahabat mereka ini dengan senyum tipis.

"Kasmaran mah bebas~" Goda Yoon Ji.

"Siapa pula yang kasmaran?" Tanya Aris.

"Mbak-mbak kantin. YA ELO LAH, MARIS!" Jawab Zefa sewot, dengan penekanan pada kata 'Maris'.

Hanya satu orang di bumi ini yang memanggil Aris dengan sebutan tersebut, tak boleh ada orang lain yang ikut memanggilnya demikian karena hanya orang spesial itu saja yang boleh memanggilnya dengan sebutan 'Maris'.

"Udah pada dijemput?" Tanya Aris sesampainya mereka di lobby.

"Kayaknya belum," Ujar Zefa

Yoon Ji dan Acha hanya mengangguk menyetujui. Keempatnya menunggu, Acha dan Yoon Ji duduk di lantai sementara Zefa dan Aris berdiri.

"Hai, Ris."

Yoon Ji, Zefa, dan Acha menoleh ke arah suara itu. Aris tak peduli, langsung memasang earphone di telinganya dan memutar lagu. Ketiga temannya menatapnya, namun Aris hanya memberikan tatapan seolah bertanya ada apa. Berpura-pura tak dengar apapun.

Mereka mengobrol, lebih tepatnya Yoon Ji, Zefa, dan Acha mengobrol sedangkan Aris hanya menambahkan sesekali.

"Maris!"

Aris menoleh ke arah luar lobby, dan ia terkejut. Begitupun ketiga temannya yang lain. Seorang lelaki tinggi melambaikan tangan, dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya. Iris matanya berubah menjadi lembut, ia menatap kepada teman-temannya.

"Hiyaaa! Dijemputt siapa itu, Maris??" Goda Zefa.

"Dah, sana, buruan! See you, Ris!" Ujar Acha.

Kakinya bergegas berlari menghampiri sosok itu. Sosok yang paling disayanginya di muka bumi ini. Sosok yang selalu ada untuknya, yang selalu menyayanginya.

Tubuhnya menjulang tinggi dan agak besar, membuat Aris yang sudah mungil tambah mungil saja saat berdiri di hadapannya.

"Kak Ethel kok di sini?"

Namanya Ethel, Ethel Nathaniel. Orang ini adalah orang yang memanggilnya dengan sebutan Maris, satu-satunya orang yang membuat semangat seorang Aris membuncah-buncah, satu-satunya orang di bumi ini yang dapat mengubah sifat Aris seratus delapan puluh derajat.

Jika biasanya ia seperti Squidward, di depan Ethel, ia bisa tak kalah berisik dengan Spongebob.

"Kakak abis dari kampus, izin ke Mama kamu buat jemput kamu sekalian. Yuk!"

Aris merasa bersemangat. Sangat bersemangat sampai wajahnya berseri-seri.

Ethel adalah sosok yang sudah seperti kakaknya sendiri. Ethel dikirimkan semesta untuk menjaga Aris, setelah kakaknya, Ares, tak bisa lagi menjaganya.

"Kakak bawa motor?" Tanya Aris.

"Nggak, saya bawa mobil." Ujar Ethel.

Aris mengangguk paham. Keduanya berjalan menuju tempat Ethel memarkirkan mobilnya. Aris masih diam, sebab masih ramai di lingkungan sekolah ini.

Ethel melirik perempuan mungil disebelahnya itu. Ia tersenyum sendiri, membayangkan sedikit kejutan kecil yang akan diberikannya kepada Aris. Perempuan itu meminta hadiah permen jelly, yoghurt, dan es krim stroberi jika berhasil mendapatkan nilai baik di ulangan Fisikanya.

Mereka masuk ke dalam mobil, Aris duduk di kursi depan sebelah pengemudi, merapikan barangnya dan merapatkan jaket putihnya yang kebesaran.

"Maris," Panggil Ethel, membuat perempuan mungil itu menoleh.

Ethel memberikan sebuah paper bag dengan banyak stiker menggemaskan bergambar wajah member grup K-Pop kesukaannya, NCT.

"Uwaahhh!" Seru Aris bersemangat.

Lelaki itu tersenyum, mulai menjalankan mobilnya sambil Aris menggeledah isi paper bag yang baru saja di terimanya. Aris menunggu sampai mereka di lampu merah, saat mobil berhenti, ia memeluk bahu serta leher Ethel erat-erat.

Mereka pacaran?

Tidak.

Hanya hubungan yang sudah seperti kakak-adik. Berhubung Ethel adalah anak tunggal, ia senang dan sangat sayang kepada Aris yang sudah seperti adiknya sendiri.

Ethel tertawa, sementara Aris kembali ke posisinya semula, menatap Ethel yang fokus menyetir. Mungkin di mata lelaki itu Aris hanyalah sesosok adik, dan mungkin, Ethel tidak tahu, kalau Aris memandangnya sebagai seorang lelaki, lebih daripada seorang kakak.

...

"Maris?"

Panggilan lembut itu tak mendapat jawaban. Ethel baru kembali setelah mengambil dua gelas latte yang dibuatnya di dapur rumah Aris. Ya, mereka sedang bimbel dan sedang istirahat, Ethel memutuskan untuk membuatkan dirinya dan Aris segelas latte.

Di ruang tengah lantai tiga rumah Aris, perempuan itu terlihat memejamkan mata dan meletakkan keningnya diatas meja dengan pandangan kebawah, sesekali menghela napas. Gumpalan-gumpalan tisu bertumpuk tak jauh dari tempatnya.

Ethel menghampirinya, memungut tisu-tisu tersebut dan membuangnya ke tempat sampah, membuat Aris mendongak.

"Kotor, Kak. Tadi mah saya aja yang buang sendiri." Ujar Aris sambil meraih latte yang baru dibawakan oleh Ethel.

"Kamu lemes begitu berdiri aja juga jatoh, Ris. Ga apa-apa, lah."

Aris tersenyum tipis, matanya menyayu. Rhinitisnya kambuh entah apa pemicunya, membuatnya harus membuang ingus dan bersin-bersin sampai lemas.

"Abis ini ayo main, Kak!" Ujar Aris. Nada suaranya sumbang karena hidungnya tersumbat, tubuhnya lemas tapi tatapan bersemangat terpancar dari kedua bola matanya. Ethel tersenyum, perempuan ini memang sebenarnya punya semangat tinggi, hanya saja tubuhnya sama sekali tak mengizinkan.

"Sebentar, Maris." Ethel membalas pesan di ponselnya.

Tanpa sengaja, Maris melihatnya. Sepertinya perempuan.

"Cewek, Kak?"

"Hm? Iya nih, saya lagi coba deketin dia."

Aris memandang wajah itu lekat-lekat. Entahlah, ada suatu perasaan aneh seperti em.. tidak rela? Tidak rela kalau Ethel membagi waktu bersamanya dengan orang lain. Cemburu, mungkin?

Ethel memandang wajah gadis itu, kemudian tertawa terbahak-bahak, membuat Aris menatapnya heran.

"Kamu cemburu, Maris?" Tanyanya dengan nada usil.

"Nggak!" Bantahnya, memutar-mutar pulpen yang ada di tangannya.

Ethel masih tertawa, ia menepuk-nepuk pucuk kepala perempuan itu. Namun jauh di dalam benak Aris, ia berpikir tentang banyak hal. 

Puzzle PieceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang