Part 5

10 4 0
                                    

"Kan! Udah deh ga usah dicari lagi. Airnya bau!" Protes Ica yang menunggu diatas. Arkan yang masuk kedalam sumur tua tak terpakai itu membuatnya kesal. Bukannya mengobati luka tangannya, Arkan malah mengajaknya mengambil kalung tua sialan itu.

Air keruh yang hanya sejengkal mata kaki Arkan, mengeluarkan bau tak sedap. Banyak batu bata dan sampah yang masuk didalam sumur tua itu. Hal itu tak mengurungkan niatnya mencari kalung itu. "Bentar lagi ketemu." Tolaknya.

Ica yang menyanggah dagunya dengan tangan kiri mendengus tak suka. "Kan! Kok gue takut ya ama lo. Kek situ terlalu terobsesi ama gue. Ihh ngeri anjir!" pikiran itu terbesit begitu saja saat sadar jika sahabatnya itu ternyata begitu terobsesi akan dirinya.

"Bodo! Lagian ini masih utang! Belum gue bayar!" Sargah Arkan tak terima dibilang terobsesi dengan Ica. Bagaimanapun ia tak tertarik dalam hal percintaan dengan gadis yang dari kecil sudah terobsesi jadi pria tersebut.

"Kan tinggal bayar cuma 5000 doang!" Debat Ica. Ayolah tangannya sudah kembali nyeri, dan Arkan masa bodo dengan tangannya ini.

"Ketemu!" Teriakan Arkan membuat Ica bertepuk tangan tanpa ekspresi seolah menghinanya secara halus.

"Wau, selamat." Sudah mengatakan itu, ia tinggal pergi Arkan yang masih dibawah tak tau caranya keatas. Masa bodo dengan anak itu yang pentingukanya tak iritasi.

Teriakan Arkan yang meminta tolong tak digubris olehnya, dengan pasti Ica melangkahkan kaki menuju UKS. "Iya juga ya, Arkan kalo teribsesi ama gue nyeremin. Dihh bayanginnya aja buat gue pen muntah." Gumamnya.

Sesampainya diuks, sudah ada 4 siswa yang tadi berkelahi dengan Arkan. Tatapan mereka berempat langsung teralihkan pada pintu yang dibuka dengan kasar. Ica yang sadar menjadi pusat perhatian tak perduli langsung melangkah masuk mengambil obat P3K lalu mengibati lengan kananya. "Anjirr gimana caranya?" Gumamnya yang tak bisa membuka tutu botol alcohol dengan tangan kirinya. Sampai sebuah tangan terulur seolah meminta alcohol itu. "Sini."

Ica mendongak melihat siapa yang meminta. Dan ternyata anak itu anak yang membuat luka ditangan kanannya. Diberikannya alcohol itu. "Sorry." Lirih siswa itu. Ica mengangguk malas, toh itu bukan salah dirinya yang membuatnya terluka. "Santay." Balasnya.

Dengan telaten siswa itu mengobati tangannya. Kadang rintihan kecil keluar dari bibir Ica. "Gue Edho." Kata Edho tak dapat balasan dari Ica.

"Lo seriusan Ica?" Pertanyaan Edho sontak membuat Riski dan Andi menoleh. "Ha?"

"Tadi Arkan manggil dia Ica." Jelas Teodor. Mendengar penuturan Teodor, Andi dan Riski langsung turun dari tempat tidur mendekati diri pada Ica dan Edho.

Perban sudah terpasang rapih. "Iya gue Ica yang cantiknua ga ketolongan. Udah cantik, manis juga. Nilai plus gue juga pinter." Bangga Ica akan dirinya. Keempat siswa itu cengo mendengarnya.

"Bener kata Arkan, pedenya kebangetan." Tutur Riski.

"Hooh." Setuju Andi.

"Kenapa baru dateng sekarang? Kenapa ga pernah ngehubungi Arkan? Lo ga tau seberapa tersiksanya dia?" Rentetan panjang aduan dari Teodor membuat Ica menatapnya tajam.

"Lo mirip Arkan. Ngomongnya banyak." Balas Ica. Tangan kanannya yang sudah diperban rapi oleh Edho, diangkatnya tinggi.

"Gue ga kaya lo pada yang kaya, makanya bisa masuk kesekolah ini. Gue ngandelin otak biar dapet beasiswa. Lagian pamannya Arkan yang jadi kepsek. Mudah bagi gue dapet beasiswa." Jelas Ica yang tengah menatap tangannya yang diangkat itu dengan tatapan berbinar.

"Cocok banget lo jadi perawat." Puji Ica akan ketrampilan Edho yang merawat tangannya.

"Ga seharipun dia ga inget sama lo, Ca." lagi Teodor mengadu akan Arkan. Uca mengalihkan pandangnnya kearah cowok bertato di bagian lehernya. Tindik dibawah bibir dan rambut hitam legam dengan aksen biru diujungnya. Wajah tampan yang dihiasi lebam dan beberapa luka tak mengurangi sedikitpun kesan tampannya.

"Jangan bilang lo suka sama Arkan?" Tebak asal Ica yang membuat Teodor langsung melotot tak percaya.

"Anjing! Gue ga homo!" Bantahnya kuat. Ketiga temannya tak ada yang membantu, mereka sibuk mencerna kata-kata dari Ica.

"Bener juga, lo yang dari dulu kek ga suka kalo Arkan bahas soal Ica. Lo cemburu?" Seakan panah yang langsung melesat kearah Teodor menembus jantungnya. Ucapan Andi membuatnya benar-benar marah.

"Gue perduli bukan cemburu anjing! Aw!" Suara Teodor meninggi tak terima dicap homo. Tapi akibatnya luka disudut bibirnya kembali terbuka.

"Teo, gue ga mau ya temenan sama homo!" Riski bergidik ngeri membayangkan jika benar sahabatny itu homo.

"Teo, kita udah sering buka bukaan baju ya. Jangan bilang lo ngiler liat otot kita-kita!" Ingatkan Teodor untung menghantam wajah Edho. Cowok yang tak terkontaminasi oleh kenakalan mereka, cowok yang biasanya diam tak perduli, sekarang ikut menganggapnya homo!

"GUE BUKAN HO-

"Ica!" Terikan dari luar ruangan uks membuat ucapan Teodor terpotong. Seseorang dengan baju berwarna cokelat sedikit kehitaman yang mengeluarkan bau busuk itu masuk kedalam uks dengan wajah yang tak kalah menjijikan.

"Arkan? Lo ngapain kek gitu?!" Pertanyaan Andi benar-benar mewakili mereka bertiga. Sedangkan Ica menatap kearah lain.

"Bangsat lu! Untung aja gue bisa manjat sumurnya!" Arkan berjalan mendekati mereka berlima, tepatnya kesatu siswi yaitu Ica. Dengan cepat mereka berlima langsung menghindar ketika Arkan tiba di dekat mereka.

"Bau lu anjing! Jangan deket deket!" Usir Andi.

"Sono-sono! Jijik gue!" Imbuh Riski.

"Ihh jorok banget lu, Kan!" Tambah Ica.

"Jorak-jorok! Ini gegara lo asu! Pake ninggalin gue! Setidaknya kasih tali apa tangga kek!" Arkan benar-benar marah sekarang. Sepanjang jalan ia sudah menjadi pusat perhatian, bahkan ada yang terang-terangan muntah mencium baunya. Lantai koridor kotor akibat ulahnya.

"Gue ga mau tau lo berempat bersihin lantai koridor yang kotor karna gue! Sekarang!" Titahnya. Ica melotot mendengarnya.

"Lah!" Kelima orang itu serentak menjawab.

"Ogah banget asu!" Balas Teodor.

Arkan dengan pongahnya menatap mereka berlima. "Oh jadi gitu? Ga ada rasa bersalah lo, Teo? Dan lo Andi, Riski, Edho. Kalo lo bertiga ga ngehalangi Teo buat buang ni kalung, kita ga bakal berantem dan ga bakal gue nyebur. Dan lo Ica, kalo bukan lo ninggalin gue, ga bakal gue kek gini parahnya."

Kelima orang itu siap memberikan protes tak terima, namun langsung mengangguk setuju saat Arkan berkata jika ini salah mereka. Toh memang benar ini salah mereka.

Uks yang terletak di tantai 3 membuat mereka berlima membagi tugas. Teo dan Andi membersihkan lantai satu dengan Andi yang menyapu dan Teo yang mengepel.

Lalu, lantai dua diambil alih oleh Riski dan Edho. Sedangkan lantai tiga diambil alih oleh anak-anak geng Sasya. Ica mengadu pada Sasya dan dengan sigao Sasya membantunya. Lalu dimana Ica? Dia tidur dipangkuan Clara yang setia menemaninya di UKS, yang sebelum itu telah dibersihkan oleh Sasya dkk.

Arkan sendiri sudah mandi dan berganti seragam olahraga, dan sekarang tengah menghadap kepala sekolah. Namun sebelum itu Teodor yang melihat Arkan sudah bersih dengan seragam baru menyeletuk, "Daleman? Kaga ganti?" Pertanyaan Teodor sukses membuat ke Ica, Andi, Edo, Riski dan Clara terperangah.

"Sampe lo pikirin kesana, Teo?" Andi yang tak percaya menggeleng takjim.

"Udah gue bilang, Teo emang homo." Balas Ica.

"Gue ga homo asu!"

LOVE IS SAHABATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang