DUA

39 6 0
                                    

Setelah rapi berganti pakaian, Kirana menuju ruang tengah untuk berbicara dengan ibunya, yang telah menunggunya.

Mempersiapkan diri dengan mengatur napasnya, Kirana duduk di hadapan ibunya. Wajah serius yang ditampakkan sang ibu mencipta suasana menjadi sedikit tegang.

"Ibu ingin bicara perihal smartphone merah yang di beli Bu Siti," kata Ibu setelah diam beberapa saat.

" Smartphone?"

"Iya. Tolong bilang ke Bapak bahwa Ibu menginginkan smartphone seperti itu. Bisa kan?"

"Enggak bu. Maaf." Tolak Kirana halus.

"Apa Kamu tidak kasihan dengan Ibu? Ibu menjadi seperti ketinggalan zaman jika tidak membeli smartphone yang seperti Bu Siti itu?" Ucap Ibu masih mencoba membujuk putrinya.
"Ibu, akan selalu ada produk baru yang muncul. Apa Ibu akan selalu mengikutinya? Kalau seperti itu bagaimana bisa hidup kita akan membaik?" kata Kirana sedikit memberi pengertian kepada Sang Ibu.

"Kan Bapakmu kerja. Lama-lama nanti juga bakal membaik kok." Ibu mengeyel. Dan Kiran paling malas melayani eyelan ibunya ini.

"Gak bisa Bu. Kirana gak mau bantu Ibu ngomong ke Bapak. Kasian Bapak kerja capek-capek cuma buat nurutin kemauan Ibu yang gak penting itu." Tegas Kirana. Ia benar-benar muak dengan Ibunya yang selalu mencoba mengikuti trend. Ah, untuk makan saja susah. Bagaimana bisa mengikuti trend?

"Kamu sekarang berani membantah Ibu ya? Tinggal bilang saja, beres masalahnya." Wajah Ibu nampak kesal ditambah suaranya yang meninggi..

"Ibu, jelas sekali kondisi kita berbeda dengan para tetangga. Hidup mereka berkecukupan bahkan lebih. Sedangkan kita? Ibu saja tidak bekerja dan hanya bergantung pada Bapak. Apa Ibu tega melihat Bapak bekerja keras sendirian?"

PLAK!

Taamparan keras mendarat di pipi kanan Kirana.

"Berani kamu bicara seperti itu?! Durhaka kamu!" Jeda sejenak, Ibu menarik nafas dan mengeluarkannya. "Baiklah kalau kamu gak mau bilang ke Bapakmu, Ibu akan membeli sendiri," tukas Ibu Kirana kesal kemudian berlalu menuju kamarnya.

Kirana  menggelengkan kepalanya pelan. Menatap sayu pintu kamar yang baru saja tertutup. Sebenarnya dimana letak hati nurani perempuan itu? Bagaimana bisa setega itu?

Bangkit dari duduknya, Kirana melangkah pelan menuju kamar dengan bahu terkulai lemah. Oh, Bapaknya yang malang, memiliki istri yang jauh dari kata pengertian. Hanya bisa menuntut tanpa bisa melakukan sesuatu. Bahkan Dia dan Adiknya pun kalah dengan ego sang Ibu.

Sayang sekali, kepulangan Bapak masih lama. Berniat bersembunyi di balik selimut  bersama sang Adik  hingga Bapak pulang, demi menghindari segala ocehan yang keluar dari bibir tipis Ibunya. Itu lebih baik, demi kesehatan telinganya.

Apa yang akan dilakukan Ibu? Ia tahu betul tabiat Ibunya. Akan melakukan apapun demi keinginannya terpenuhi. Meminjam uang bisa jadi solusi. Tapi kemana lagi Ibunya akan meminjam? Oh tidak! Jangan sampai Ibunya mencipta masalah lagi. Sungguh! Ia tak tega melihat Bapak pontang-panting mencari uang. Kembali menyayangkan alasan mengapa kehidupan keluarganya seperti ini. Ckk, hanya karena kesalahpahaman di tempat kerja, hidup mereka menjadi buruk seperti ini.

Ya ampun, Kirana lagi-lagi harus ikut memikirkan masalah yang ibunya timbulkan. Ketika seharusnya ia fokus belajar.

Mengambil bukunya, Ia merasa lebih baik jika melampiaskan dengan soal-soal Kimia yang menurut kata orang sungguh memusingkan. Ya Kirana tidak menampik hal itu, tak jarang Ia menemui kesulitan. Namun, syukur Ia dapat menanggulanginya dengan baik.

Kirana sadar betul alasan Bapak bekerja keras, selain untuk biaya hidup sehari-hari, Bapak ingin Ia tetap sekolah layaknya anak-anak seusianya. Tanpa repot-repot memikirkan uang. Syukur-syukur nanti Ia bisa menempuh pendidikan tinggi. Bapak sangat mendukungnya. Namun, Kirana skeptis hal itu bisa terwujud. Meski Ia akan terus berjuang mencoba mewujudkan keinginan Bapak juga termasuk cita-citanya.

“Kenapa dek?” Tanya Kirana melihat adiknya duduk diam memandangnya.
Kano menggeleng pelan. Menghampirinya kemudian memeluknya erat.

“Kenapa sayang?" Kirana membalas pelukan adiknya tak kalah erat. Mengelus punggung adiknya.
Kano lagi-lagi menggeleng.

“Yakin gak mau cerita?”

Kano mendongak, "Mbak....” Jeda sejenak, "Temen-temen Kano punya mobil yang ada remotnya. Kano juga pengen. Tapi, temen Kano bilang harganya mahal, dan Kano pastu gak bisa buat belinya."

“Cup sayang. Nanti, kalo Mbak punya uang, Mbak beli buat Kano. Nah, sekarang Kano main yang lain dulu, ya? Kano suka main main apa?"

Kano menggeleng, "temen-temen Kano juga suka main game. Kano boleh main game Mbak?"

Kirana terdiam sebentar, memikirkan jawaban yang tepat. “Main game boleh-boleh saja, asal Kano gak lupa belajar. Biar tahun depan bisa sekolah. Tapi....”

“Apa Mbak?"

"Game seperti yang teman Kano mainkan kurang bagus untuk mata. Nanti mata Kano bisa buta. Kano mau gak bisa melihat nantinya?"

Kano menggeleng.

"Kano suka suka main bola?"

Kano mengangguk sebagai jawaban.

"Kano tahu Christian Ronaldo?"

Lagi-lagi Kano mengangguk.

"Mau gak jadi kayak Christian Ronaldo?"

Mata Kano berbinar, "mau kak.. Mau. Kano mau jadi hebat kayak Christian Ronaldo."

"Nah, kalo gitu Kano main bola aja dari pada main game. Ok!"

Kano mengangguk antusias.

Kirana memeluk adiknya sayang. Hatinya menyayangkan keadaan yang membuatnya sulit untuk menuruti keinginan sang adik.

Maafkan mbak sayang.... Katanya dalam hati.

***

Alhamdulillah,
Bisa update juga...
Terima kasih buat achacamarica yang udah nulis part ini...

Oh iya, ini adalah challenge 21 hari menulis bareng Langit Sastra.. ada 4 kelompok... dan Aku kelompok 1 bareng 3 temanku yang kece kece
achacamarica
dgibran29
Tikynara

Semoga tulisan kami semakin membaik ya..
Terima kasih

Salam,

Lintang AksamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang