O2. Jingga

319 73 46
                                    

kalau takdir pada akhirnya memutuskan untuk bersuara, akankah ia memberi selain luka lara?

🌸 Tanya Fajar 🌸

"Ck"

Hanif tersenyum kecil, sesekali mencuri pandang ke arah putri semata wayangnya yang sejak dua jam lalu pulang dengan keadaan berdecak kesal tiap beberapa menit sekali. Oh jangan lupa dengan gerutuan dan omelan kecilnya yang seperti tidak akan berhenti semalaman.

"Udah dong, nanti mamah beliin deh yang lain. boneka paus kan?"

Tanya menggeleng. "Gamau mah, itu tuh bonekanya lucu dan Tanya udah ngincer dari tiga bulan yang lalu. Bayangin, tiga bulan Tanya ngumpulin tiket segitu banyaknya," Hanif mengarahkan pandangan ke tempat yang saat ini ditunjuk putrinya. ada bungkusan besar berisikan gulungan tiket di sudut kamar.

"Dan malah ga dapet apa-apa !" Lanjutnya dengan ekspresi yang semakin muram. "Lagian dia kan cowo ya mah, ngapain coba masih aja butuh boneka."

"Ya mungkin buat adenya sayang, kalau engga pacarnya mungkin?"

"Cih, yang jadi pacar dia pasti cape punya pacar batu kaya gitu," cibir Tanya.

"Hush. Justru seneng dong? Bayangin dia mati-matian rebutin boneka itu sama kamu, anak mamah yang keras kepala ini cuma buat ngasih itu ke pacarnya, romantis kan?"

"Ih mamahhh ! ko jadi belain dia sih?"

"Oops, maaf." Hanif tertawa pelan. "Mamah buatin susu coklat mau?"

"Engga ah, udah kenyang Tanya sama emosi."

"Yaudah, mamah tinggal ya? Tuh tuh, mending pake masker yang mamah beliin biar ga keriput karena marah mulu," goda Hanif.

Tanya meraih guling yang ada di sisi kirinya untuk dipeluk erat. Sekilas, ia terbayang pertandingan di arkade game tadi sore. Raut wajah pemuda itu memang terlihat serius saat fokus melemparkan bola ke dalam ring.

"Beneran buat pacarnya kali ya?" gumamnya pelan. Ucapan Kirana tadi mungkin benar, gadis itu mungkin beruntung jadi pacarnya.

"Ah tapi engga. Apa bagusnya jadi pacar orang sebatu itu? Dingin banget udah dimohon-mohonin tetep ga peduli," lanjutnya.

Demi apapun, ia berjanji jika ia bertemu lagi dengan pemuda itu maka ia akan menginjak kakinya sekuat mungkin sampai kesakitan.

Siapa yang tahu, kalau mungkin saja takdir mengizinkan keduanya bertemu nanti?

𝓣𝓪𝓷𝔂𝓪 𝓕𝓪𝓳𝓪𝓻

Fajar berdiri diam di depan pintu salah satu kamar di apartermennya. Cukup lama sampai kakinya merasa pegal.

Ia menoleh ke kiri, menatap lekat pada boneka paus yang seharian ini menjadi pusat perhatiannya. Ia baru sadar, kalau seumur hidupnya, sudah menjadi kebiasaan, ia selalu mengumpulkan semua benda berbentuk paus yang ia temukan.

Setelah meletakkan boneka paus itu di sudut kamar, Fajar duduk di depan boneka itu. Kadang ia merasa aneh, kenapa selama 10 tahun ini ia masih belum berhenti mengumpulkan hal yang berkaitan dengan paus. Padahal kemungkinan untuk bertemu anak perempuan itu nihil.

Entahlah. Mungkin alasannya sesederhana ia merasa berhutang budi, atau mungkin karena ia jatuh cinta?

Ia mendengus geli, lalu menenggak sisa cola yang tersisa pada kaleng minuman di genggamannya. Omong kosong. Terlalu aneh untuk anak berusia 6 tahun jatuh cinta. Benar, pasti karena ia merasa berhutang nyawa pada anak perempuan yang bahkan tidak ia ketahui dan ia ingat wajahnya.

Tanya FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang