TIGA

37 6 3
                                    

Malamnya saat Kirana sedang makan di ruang tengah, Bapaknya yang belum lama sampai dirumah langung menghampiri dan duduk disebelahnya. Kirana pikir, Bapaknya pasti akan menanyakan perihal Ibu.

“Nak, gimana Ibumu? Apa dia ngomong sesuatu tentang smartphone itu lagi?” tanya Bapak sedikit berbisik takut Ibunya yang di kamar mendengar.

Kirana bingung, jika dia menceritakan yang sebenarnya pasti itu akan menambah beban pikiran Bapak. Tapi jika dia berbohong, pasti akan ketahuan juga oleh Bapaknya.

“Tadi Ibu ngomong sih pak, sedikit.” jawab Kirana singkat mencoba membuat Bapaknya tidak tertarik.

“Wah, sudah Bapak duga. Ngomong apa Ibumu itu Nak?”

Ternyata dia salah menduga, justru Bapaknya makin penasaran dengan apa yang dibicarakan Ibunya. Kirana menggerakan bola matanya ke kanan dan kiri, nampak sedang mencari titik tengah untuk jawaban dari pertanyaan Bapak.

“Kata Ibu, apa benar Bu Siti beli smartphone merah itu. Terus aku jawab saja, iya. Dan Ibu juga bertanya-tanya soal smartphone itu. Hanya itu saja, sudah, Ibu tidak bicara apa-apa lagi,” jawab Kirana sedikit berbohong, tak apalah demi kebaikan. Batinnya.

“Oh, hanya itu saja. Ya sudah, Bapak mau mandi dulu. Nanti kita ngobrol tentang sekolahmu, ya?”

Ya Tuhan, Bapak yang baru pulang dan pastinya sangat lelah saja masih ingin mendengarkan cerita anaknya. Apa kabar dengan Ibu yang seharian dirumah? Dia menanyakan Kirana dan Adiknya sudah makan atau belum saja, tidak. Apalagi menanyakan perihal sekolah anaknya. Bahkan tentang impian anaknya saja, mungkin Ibunya juga tidak tahu. Bapak, semoga saja engkau selalu diberi kekuatan dan kesabaran ya, Pak.

Kirana mengangguk, "Iya. Memangnya Bapak gak capek? Lebih baik Bapak istirahat saja. Besok kan Bapak harus berangkat pagi,” Kirana coba memahami kondisi Bapaknya yang bisa dibilang sudah tidak muda lagi.

“Gak. Bapak gak capek. Lagi pula, tadi kamu udah janji mau cerita ke Bapak. Bapak mandi dulu, ya."

Kirana memperhatikan pundak Bapaknya yang menghilang perlahan ke balik tembok kamar mandi. Pundak yang dulu kekar, sering jadi tempatnya bersandar ketika lelap dan lelah di bahunya. Kini nampak membungkuk dan lebih kurus, terlihat sekali banyak beban hidup yang harus dipikul dan urus.

Kirana ingin sekali bisa membantu Bapaknya untuk bekerja dan mencari uang. Kirana sadar betul, Ia tidak bisa terus-terusan hanya bergantung pada Bapaknya saja. Sudah cukup Bapaknya menanggung semua beban keluarga seorang diri selama ini, setidaknya, Ia ingin membantu untuk mewujudkan mimpi Adiknya. Tapi apakah akan diijinkan oleh Bapaknya?

“Nak? Kamu ngelamunin apa to, sampe kaya orang kerasukan gitu?” tegur Bapaknya yang tiba-tiba sudah duduk di sampingnya.

“Bapak, bikin aku keget saja,” jawab Kirana yang tak sadar akan kedatangan Bapaknya.

“Ngelamunin apa si Nak”

“Gak ngelamunin apa-apa kok, Pak. Cuma lagi mikirin tugas buat besok aja.”

“Kenapa? Ada yang susah dengan tugasnya?” Kirana menggeleng sebagai jawaban. "Lha terus?"

"Ya kepikiran aja Pak." Kirana terkekeh.

"Bapak kira apaan Nak. Jadi, Kirana mau cerita apa ke Bapak?" Tanya Bapak sambil mengubah posisinya seperti orang yang sedang mendengarkan dongeng.

“Jadi gini Pak, dua hari yang lalu kan Kirana ikut olimpiade Fisika tingkat kota. Terus Kirana …”

“Nak, menang-kalah itu wajar dalam perlombaan. Jangan berkecil hati, ya. Bapak yakin kalau kamu lebih giat lagi belajarnya, pasti di olimpiade berikutnya kamu bisa menang.” nasihat dari Bapak memotong cerita Kirana yang belum selesai.

“Bapak Kirana belum selesai cerita, Lagian Kirana menang kok.” Kirana cemberut mendengar nasihat dari Bapaknya itu.

"Wah! Beneran?! Gak bohong?"

"Yee Bapak. Anak sendiri dikata tukang bohong. Beneran Pak. Eh, Bapak malah ngira Kirana kalah, males, ah, cerita ke Bapak.” sambung Kirana dengan nada sebal tapi sedikit menahan tawa atas perilaku Bapaknya.

“Oh, kamu menang, Nak? Syukurlah kalau begitu. Maaf, Bapak kira kamu kalah. Abis, nada bicaramu kaya bukan orang menang, ga bersemangat. Hahaha …” Bapak tertawa renyah sambil mengelus kepala anak gadisnya itu sebagai pujian karena sudah menang.

“Lagian Bapak asal motong aja, kan aku belum selesai cerita. Haha …” jawab Kirana diikuti tawa tipisnya.

“Selamat ya, atas kemenangan kamu. Bapak harap kamu tetap semangat ya, untuk ngejar cita-cita kamu meski kondisi keluarga kita seperti ini. Yasudah, kamu istirahat sana, sudah larut malam. Takut besok kamu kesiangan sekolah.”

“Iya Pak, makasih. Siapp,.. Kirana pasti bakal semangat terus kok. Yasudah Pak, Kirana pamit masuk kamar dulu ya,” jawab Kirana sambil berdiri dan pamit untuk masuk ke kamarnya.

Sementara itu, Bapak masih terduduk diruang tengah. Terlihat hendak makan malam. Sebenarnya Kirana ingin menemani Bapaknya makan, tapi ia harus bangun pagi besok. Ada lomba kelas yang harus dia ikuti.

“Makasih, Pak.” ucap Kirana halus sebelum menutup pintu kamarnya.

Kini, kirana tengah membaringkan tubuhnya diatas kasur, tepat disebelah Adiknya yang sudah tertidur lelap. Entah kenapa, langit-langit kamar seperti enak dipandang oleh Kirana malam ini. Mungkin, karena perasaan senangnya telah diberikan orang tua seperti Bapak. Yang menaungi dan melindungi anaknya seperti langit-lagit kamar Kirana.

***

Alhamdulillah...
Makasih buat dgibran29 untuk tulisannya...

Oh iya, aku bakal update cerita ini setiap haru selasa, kamis, dan sabtu...
So, jangan bosen ya... 😂😂

Bye
See you next chapter..

Salam,

Lintang AksamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang