20. Naima Rosdiana

1.6K 129 1
                                    

 ⁠۝ ͒ ⁠⁠۝  ⁠۝ ͒

Luas hati tidak dapat diukur, tapi siapa yang paham bahwa di balik dalamnya lautan ada tangis yang menyumbangkan beberapa air di sela-sela hujan yang mengguyur bumi.

Meskipun aku tak lagi melanjutkan pendidikan. Aku sadar, bahwa belajar tidak  harus duduk di bangku sekolah.
Ada banyak pelajaran tanpa harus di sekolah.

Untuk hubunganku dengan Ezard setelah malam yang indah itu cukup membawa perubahan besar. Ia tidak lagi pulang larut malam. Tidak meminum minuman yang mengandung alkohol. Tidak pulang dalam keadaan tidak sadarkan diri lagi. Dan sekarang, usia pernikahan kami sudah menginjak angka lima bulan.

Alana sudah masuk universitas dan Andre homeschooling. Aku sangat senang dengan semua perubahan besar ini. Ini persis seperti keluarga bahagia yang kuimpikan. Meski perasaan Ezard untukku masih terbilang abu-abu.

Tetapi mari kita lupakan perihal itu. Karena yang terpenting sekarang adalah bagaimana aku tengah menyiapkan hidangan sarapan pagi untuk kedua adikku yang sebentar lagi akan sibuk dengan jadwal belajarnya.

Selama empat bulan Alana dan Andre di sini, Ezard tidak pernah lagi sarapan di atas meja atau acara makan malam sekalipun. Alasannya selalu sama, ia sibuk. Ada pekerjaan. Lelah dan sejenis alasan klise lainnya.

Aku tidak masalah. Karena aku menyadari bahwa ia sangat tidak nyaman dengan hal-hal seperti ini. Ia tidak suka keramaian, ia tidak suka berbasa-basi. Jadi sudah seharusnya sikap Ezard yang satu ini tidak perlu di ambil pusing.

"Kau ada mata kuliah pagi ini?" Aku bertanya pada Alana yang baru duduk di atas kursi. Matanya berbinar ketika melihat hidangan di atas meja makan.

"Bulan depan aku sembilan belas tahun. Aku ingin hadiah!" Gadis itu bahkan tak menghiraukan pertanyanku. Ia malah sibuk mengambil sup ayam dan menuangkan ke mangkuknya.

"Kau ingin hadiah apa?"

"Bekini!"

"Ada-ada saja." Aku geleng-geleng kepala.

"Lagi pula aku akan ke Bali bersama pacarku. Kau yakin tidak ingin memberikan hadiah sejenis itu. Aku bahkan sudah belajar dengan giat sampai bisa masuk Universitas terbaik dengan nilai bagus! Setidaknya berikan aku hadiah!"

"Hanya karena orang tua kita sudah tidak ada bukan berarti kau bebas berteman dengan siapa saja, Al."

"Aku tidak sebebas itu! Hanya bekini, tidak perlu diambil pusing! Kau saja yang katrok, Kak Nai." Gadis itu menghela napas kasar. Jelas ia tidak terima dengan penjelasanku.

"Akan kupikirkan."

"Juga tiketnya!"

"Astaga anak ini!"

"Suamimu kaya! Dia bisa berikan apapun yang kau minta. Tiket ke Bali mungkin hanya hal kecil baginya!"

"Cukup, sekarang pergi sebelum aku benar-benar melempar wajahmu dengan oven karena terlalu banyak minta!"

"Maafkan aku." Gadis nakal itu beranjak dengan senyum sumringah dan mencium pipiku. "Aku mencintaimu, Kakakku Sayang!!!" Ia berteriak sangat nyaring.

Aku yakin binatang di hutan sana bisa terjaga gara-gara suara Alana yang cempreng tidak tertolong.

Aku terkejut lagi ketika kaki gadis itu menabrak sofa di ruang tamu. Ah! Selain gila ia juga gegabah. Lihat kan, jadi begini sekarang. Tapi gadis ceria itu tidak ambil pusing. Tetap pergi dengan meninggalkan senyum manisnya untukku.

"Alana kesandung lagi?"

Aku berbalik. Sudah pasti itu Andre. Memangnya siapa lagi yang mau mengantri di meja makan ini untuk mendapatkan perhatianku. Kalau tidak ada Alana dan Andre rumah ini, mungkin sudah seperti sarang hantu karena sepi.

Season With You || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang