Christian membawa kedua tangannya ke rambutnya dan berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya. Kedua tangannya – dua kali lipat jengkel. Sepertinya pengendalian dirinya yang kuat tampak sedikit merosot.
“Aku tidak mengerti mengapa kau tak memberi tahuku,” protesnya padaku.“Topiknya tak pernah muncul dalam obrolan kita. Aku tidak memiliki kebiasaan mengungkapkan status seksualku pada semua orang yang aku temui. Maksudku, kita hampir tak mengenal satu sama lain.” Aku menatap tanganku. Mengapa aku merasa bersalah? Mengapa dia begitu marah? Aku mengintip ke arahnya.
“Yah, kau tahu banyak tentangku sekarang,” bentak dia, menekan mulutnya menjadi garis keras. “Aku tahu kau tidak berpengalaman, tapi perawan!” Katanya seperti kata-kata yang kotor. “Sialan, Ana, aku hanya menunjukkan padamu,” ia mengeluh. “Semoga Tuhan memaafkan aku. Pernahkah kau dicium, selain olehku?”
“Tentu saja aku pernah.” Aku mencoba untuk terlihat tersinggung. Oke… mungkin dua kali.
“Dan seorang pria muda yang baik belum pernah membuatmu jatuh cinta? Aku tak mengerti. Kau dua puluh satu tahun, hampir dua puluh dua. Kau cantik.” Dia mengusap tangannya ke rambutnya lagi.
Bagus. Aku memerah karena gembira. Christian Grey menganggapku cantik. Aku simpul jemariku secara bersamaan, menatapnya dengan keras, mencoba menyembunyikan senyum konyolku. Mungkin dia rabun, alam bawah sadarku telah membangunkan orang yg berjalan sambil tidur. Di mana dia saat aku membutuhkannya?
“Dan kau serius membahas apa yang aku inginkan, padahal kau belum memiliki pengalaman.” Kedua alisnya menyambung. “Bagaimana kau bisa menghindari seks? Aku mohon ceritakan padaku.”
Aku mengangkat bahu.
“Benar-benar tak ada seorangpun, percayalah.” Muncul untuk digesek, hanya denganmu. Dan kau ternyata seorang monster. “Mengapa kau begitu marah padaku?” Bisikku.
“Aku tak marah padamu, aku marah dengan diriku sendiri. Aku menduga…” Dia mendesah. Dia menganggap aku cerdik dan kemudian menggeleng. “Apakah kau ingin pergi?” Tanyanya, suaranya melembut.
“Tidak, kecuali kau ingin aku pergi,” bisikku. Oh tidak… aku tak ingin pergi.
“Tentu saja tidak. Aku suka kau di sini.” Dia mengernyit saat ia mengatakan ini dan kemudian melirik jam tangannya. “Sekarang sudah malam.” Dan dia menoleh ke arahku. “Kau menggigit bibirmu.” Suaranya serak, dan dia menatapku curiga.
“Maaf.”
“Jangan meminta maaf. Hanya saja aku ingin menggigitnya juga.”
Aku terkesiap… bagaimana bisa dia mengatakan hal-hal seperti itu padaku dan tak mengharapkan aku terpengaruh.
“Ayo,” bisiknya.
“Apa?”
“Kita akan meluruskan situasi sekarang.”
“Apa maksudmu? Situasi apa?”
“Situasimu. Ana, aku akan bercinta denganmu, sekarang.”
“Oh.” Lantainya telah menjauh. Aku sebuah situasi. Aku menahan napas.
“Itupun jika kau menginginkan, maksudku, aku tak ingin memaksakan keberuntunganku.”
“Kupikir kau tidak melakukan ML. Aku pikir kau hanya suka sex yang keras,” Aku menelan ludah, mulutku tiba-tiba kering.
Dia menyeringai jahat, pengaruhnya sampai ke bawah… disana.
“Aku bisa membuat perkecualian, atau mungkin menggabungkan keduanya, kita lihat saja. Aku benar-benar ingin bercinta denganmu. Ayo ke tempat tidur denganku. Aku ingin perjanjian kita berjalan, tetapi kau benar-benar harus paham beberapa ide tentang apa yang sedang kau lakukan. Kita bisa mulai pelatihanmu malam ini – dasar-dasarnya. Maksudku ini tidak berarti aku telah menjadi terlalu sentimentil, ini hanya sarana untuk mencapai tujuan, tapi satu yang aku inginkan, dan mudah-mudahan kamu juga.” Tatap tajam mata abu-abunya.