Sial… dia akan datang sekarang. Aku harus menyiapkan satu hal untuk dia – edisi pertama buku Thomas Hardy masih di rak di ruang tamu. Aku tak bisa menyimpannya. Aku bungkus dengan kertas coklat, dan aku beri coretan pada pembungkusnya kutipan langsung dari buku Tess :
“Hai.” aku merasa malu tak tertahankan ketika aku membuka pintu. Christian berdiri di teras dengan jins dan jaket kulit.
“Hai,” katanya, dan wajahnya bersinar dengan senyum berseri-seri itu. Aku luangkan waktu untuk mengagumi ketampanannya. Ya, dia seksi memakai jaket kulit.
“Masuklah”
“Jika aku boleh,” katanya geli. Dia memegang sebuah botol sampanye saat ia berjalan masuk “Aku pikir kita akan merayakan kelulusanmu. Tak ada yang bisa mengalahkan Bollinger yang enak.”
“Pilihan kata-kata yang menarik,” komentarku datar.
Dia menyeringai.
“Oh, aku suka kecepatan berpikirmu, Anastasia.”
“Kita hanya punya cangkir teh. Kita telah mengemas semua gelas.”
“Cangkir teh? Kedengarannya bagus untukku.”
Aku menuju ke dapur. Gugup, rasa gugup membanjiri perutku, itu seperti memiliki panther atau singa gunung yang secara tak terduga ada di ruang tamuku.
“Apa kau ingin piring juga?”
“Cangkir teh sudah cukup, Anastasia,” panggilan Christian dari ruang tamu mengalihkan perhatianku.
Ketika aku kembali, dia menatap bungkusan buku coklat. Aku menaruh cangkir di atas meja.
“Itu darimu,” bisikku cemas.
Sial… ini mungkin akan menjadi pertengkaran.
“Hmm, aku bisa membayangkannya. Kutipan yang sangat tepat.” Jari telunjuk yang panjang menelusuri tulisan itu. “Ku pikir aku adalah D’Urberville, bukan Angel. kau memilih pada kehinaan itu” Dia memberiku sekilas senyum serigala. “Percaya padamu untuk menemukan sesuatu yang bergema begitu tepat.”
“Ini juga sebuah permohonan,” bisikku. Mengapa aku begitu gugup? Mulutku jadi kering.
“Sebuah permohonan? Bagiku untuk bertindak lembut padamu?”
Aku mengangguk.
“Aku membelikan ini untukmu,” katanya tenang dengan tatapan tanpa ekspresi. “Aku akan bertindak lembut padamu jika kau menerima bukunya.”
Aku menelan dengan susah.
“Christian, aku tak bisa menerima buku itu, itu terlalu berlebihan.”
“Kau lihat, ini adalah apa yang aku bicarakan, kau menentangku. Aku ingin kau memilikinya, dan itulah akhir dari diskusi. Ini sangat sederhana. Kau tak harus berpikir tentang hal ini. Sebagai submisif kau hanya akan berterima kasih menerimanya. Kau hanya menerima apa yang aku belikan untukmu karena itu menyenangkanku jika kau melakukannya.”
“Aku belum jadi submisif ketika kau membelikan buku itu untukku,” bisikku.
“Tidak… tapi kau setuju, Anastasia.” Matanya berubah hati-hati.
Aku menghela napas. Aku tak akan memenangkan ini, jadi ganti ke rencana B.
“Jadi buku itu adalah milikku dan terserah apa padaku?”
Dia mengamati dengan curiga, tapi menyerah.
“Ya.”
“Dalam hal ini, aku ingin memberikan buku-buku itu untuk amal, orang yang bekerja di Darfur karena tampaknya mereka dekat di hatimu. Mereka dapat melelangnya.”