Christian menerobos masuk pintu kayu di rumah perahu dan berhenti untuk menyalakan beberapa lampu. Lampu fluorescent berdengung dan menyala diikuti cahaya putih membanjiri bangunan kayu besar. Dari sudut pandangku, aku bisa melihat perahu motor yang mengesankan di dermaga mengambang lembut di air yang gelap, tapi aku hanya melihatnya sekilas sebelum dia membawaku melalui tangga kayu ke ruang atas.
Dia berhenti di ambang pintu dan menyentuh tombol lain – halogen kali ini, cahayanya lebih lembut, lebih redup – dan kami ada di ruang loteng dengan langit-langit yang miring. Dihiasi dengan tema kelautan New England : biru laut dan krem dengan sedikit warna merah. Perabotannya jarang, hanya beberapa sofa yang aku lihat.Christian menurunkanku di lantai kayu. Aku tak punya waktu untuk memeriksa sekitarku – mataku tak bisa meninggalkan dia. Aku terpesona… mengawasinya seperti orang menonton predator langka dan berbahaya, menunggunya untuk menyerang. Napasnya keras tapi kemudian dia hanya membawaku menyeberangi beranda dan menaiki tangga. Mata abu-abunya terbakar amarah, kebutuhan dan nafsu murni.
Ya ampun. Aku bisa secara spontan terbakar hanya dari tatapan matanya.
“Tolong jangan pukul aku,” bisikku, memohon.
Alisnya berkerut, matanya melebar. Dia berkedip dua kali.
“Aku tak ingin kamu memukul pantatku, jangan di sini, tidak sekarang. Kumohon jangan.”
Mulutnya menganga sedikit kaget, dan dengan berani, aku ragu-ragu menggapai dan menelusuri jari-jariku di pipinya, di sepanjang tepi pelipis, sampai pada rambut yang baru saja tumbul di dagunya.
Ini adalah kombinasi aneh dari lembut dan tajam. Perlahan-lahan menutup matanya, ia mencondongkan wajahnya pada sentuhku, dan napasnya tertahan di tenggorokannya. Menjangkau dengan tanganku yang lain, aku mengusap jariku ke rambutnya. Aku suka rambutnya. Erangannya lembut hampir tak terdengar, dan ketika ia membuka matanya, tatapannya adalah – waspada, seperti dia tak mengerti apa yang aku lakukan.
Melangkah ke depan sehingga aku mendekatinya, aku menarik lembut rambutnya, membawa mulutnya ke mulutku, dan aku menciumnya, memaksa lidahku melewati bibirnya dan ke dalam mulutnya. Dia mengerang, dan tangannya memelukku, menarikku menempel ketat tubuhnya. Tangannya menemukan jalan ke rambutku, dan dia membalas ciumanku, keras dan posesif. Lidahnya dan lidahku berputar dan meliuk bersama-sama, mengkonsumsi satu sama lain. Dia rasanya surgawi.
Dia menarik diri tiba-tiba, napas kita memburu dan berbaur. Tanganku turun ke lengannya dan dia melotot ke arahku.
“Apa yang kau lakukan padaku?” Bisiknya bingung.
“Mencium kamu.”
“Kau bilang tidak.”
“Apa?” Tidak untuk apa?
“Di meja makan, dengan kakimu.”
Oh… jadi ini yang dia maksudkan.
“Tapi kita berada di meja makan orang tuamu.” Aku menatap ke arahnya, benar-benar bingung.
“Tak ada seorangpun yang pernah bilang tidak padaku sebelumnya. Dan ini sangat – panas.”
Matanya melebar sedikit, terisi dengan rasa takjub dan nafsu. Ini adalah campuran yang memabukkan. Aku menelan ludah. Tangannya bergerak ke pantatku. Dia menarikku keras ke arah tubuhnya, dan aku bisa merasakan ereksinya.
Oh…
“Kau marah dan terangsang karena aku bilang tidak?” Aku bernapas, heran.
“Aku marah karena kau tak pernah menyebutkan Georgia padaku. Aku marah karena kau pergi minum dengan pria yang mencoba merayumu ketika kau sedang mabuk dan yang meninggalkan kau ketika kau mabuk berat dengan orang yang nyaris asing bagimu. Teman macam apa yang melakukan itu? Dan aku marah dan terangsang karena kau menutup kakimu padaku.” Matanya berkilau dan berbahaya, Dan dia perlahan-lahan mengangkat ujung gaunku.