Aku menatap gugup sekeliling bar tapi aku tak bisa melihatnya.
“Ana, ada apa? Kau terlihat seperti baru melihat hantu.”
“Christian, dia di sini.”
“Apa? Sungguh?” Dia melirik di sekitar bar juga.
Aku tak menyebutkan kecenderungan Christian sebagai penguntit pada ibuku.
Aku melihat dia. Jantungku seakan melompat, mulai bergetar dan berdegup mengikuti irama saat dia berjalan ke arah kami. Dia benar-benar di sini – untuk menemuiku. Dewi batinku melompat sambil bersorak dari kursi malasnya. Berjalan melewati kerumunan, rambut merah tembaganya mengkilap dan berkilau di bawah lampu halogen yang tersembunyi. Mata abu-abunya cerah bersinar dengan… marah? Tegang? Mulutnya membentuk garis murung, rahangnya tegang. Oh sial… tidak. Aku sangat marah padanya sekarang, dan dia di sini. Bagaimana aku bisa marah padanya di depan ibuku?
Dia tiba di meja kami, menatapku dengan waspada. Dia mengenakan kemeja linen putih seperti biasanya dan celana jins.
“Hai,” Aku berteriak pelan, aku tak bisa menyembunyikan keterkejutan dan kagum saat melihat dia benar-benar berada di sini.
“Hai,” jawabnya, sambil membungkuk, dia mencium pipiku, membuatku terkejut.
“Christian, ini adalah ibuku, Carla.” Sikap sopan santun yang melekat padaku mengambil alih.
Dia berbalik untuk menyambut ibuku.
“Mrs. Adams, aku merasa senang bertemu denganmu.”
Bagaimana dia tahu namanya? Dia memberikan ibuku senyuman paten Christian Grey yang yang bisa membuat jantung ibuku berhenti, senyuman sepenuh hati tanpa ditahan sedikitpun. Ibuku tak punya harapan. Rahang ibuku turun hampir menabrak meja. Astaga, cari pegangan, Ma. Dia menyambut tangan Christian kemudian mereka bersalaman. Ibuku tak bisa menjawab. Oh, lidahnya kelu ternganga – faktor keturunan – aku tidak tahu.
“Christian,” akhirnya dia berhasil mengatasi nafasnya yang terengah-engah.
Dia tersenyum penuh arti pada ibuku, mata abu-abunya berbinar. Aku menyipitkan mataku pada mereka berdua.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Pertanyaanku kedengarannya lebih rapuh dari maksudku, dan senyumnya menghilang, ekspresinya sekarang hati-hati. Aku senang melihatnya, tapi benar-benar kehilangan keseimbangan, kemarahanku yang mendidih tentang Mrs. Robinson masuk ke pembuluh darahku. Aku tak tahu apakah aku ingin berteriak padanya atau melemparkan diri ke dalam pelukannya – tapi aku tahu dia tak akan menyukai salah satunya – dan aku ingin tahu berapa lama dia sudah mengamati kami. Aku juga agak cemas tentang email yang baru saja aku kirim untuknya.
“Tentu saja aku datang untuk bertemu denganmu.” Dia menatap ke arahku tanpa ekspresi. Oh, apa yang dia pikirkan? “Aku menginap di hotel ini.”
“Kau menginap di sini?” Suaraku terlalu melengking bahkan untuk telingaku sendiri seperti seorang mahasiswa tingkat dua yang kecanduan amfetamin.
“Ya, kemarin kau bilang mengharapkan aku ada di sini.” Dia berhenti sebentar mencoba melihat reaksiku. “Kami bertujuan untuk menyenangkan, Miss Steele.” Suaranya tenang tak ada jejak humor sama sekali.
Sial – Apakah dia marah? Mungkin komentarku tentang Mrs. Robinson? Atau fakta karena aku sudah menghabiskan tiga gelas Cosmo segera menjadi keempat? Ibuku melirik cemas pada kami berdua.
“Maukah kamu bergabung minum dengan kami, Christian?” Dalam sekian detik, ibuku melambaikan tangannya ke pelayan yang berada di sisinya.
“Aku ingin segelas gin dan tonik,” kata Christian. “Hendricks jika kamu memilikinya atau Bombay Sapphire. Hendricks dengan mentimun, Bombay Sapphire dengan jeruk limau.”