Christian berdiri di sangkar baja. Mengenakan celana jins robek yang lembut, dada dan kakinya telanjang, dan dia menatapku. Tersenyum karena leluconnya sendiri, terukir di wajah tampannya dan mata abu-abunya meleleh. Di tangannya, dia memegang semangkuk stroberi.
Dia berjalan seenaknya dengan postur tubuh atletis yang anggun menuju bagian depan sangkar, menatap tajam padaku. Sambil mengangkat stroberi yang sudah matang, dia mengulurkan tangannya melalui jeruji.
“Makan,” katanya, lidahnya membelai bagian depan langit-langit mulutnya sambil mengucapkan ‘n’.
Aku mencoba bergerak ke arahnya, tapi aku terikat, ditahan oleh beberapa kekuatan yang tak terlihat di sekitar pergelangan tanganku, menahanku. Lepaskan aku.
“Ayo, makan,” katanya dengan senyum miringnya.
Aku menarik dan menarik… Lepaskan aku! Aku ingin menjerit dan berteriak, tapi tak ada suara yang muncul. Aku jadi bisu. Ia mengulurkan lebih jauh lagi, dan stroberi sampai dibibirku.
“Makan, Anastasia.” Mulutnya menyebut setiap suku kata namaku dengan sensual.
Aku membuka mulut dan menggigit, sangkarnya tiba-tiba menghilang, dan tanganku bebas. Aku mengulurkan tangan untuk menyentuhnya, jari-jariku menyentuh rambut dadanya.
“Anastasia.”
Tidak, aku mengerang.
“Ayo, Sayang.”
Tidak. Aku ingin menyentuhmu.
“Bangun.”
Tidak. Tolong. Mataku berkedip dengan enggan membuka untuk sekian detik. Aku di tempat tidur dan seseorang mengendus telingaku.
“Bangun, sayang,” dia berbisik, dan pengaruh suaranya yang merdu menyebar seperti karamel hangat meleleh melalui pembuluh darahku.
Ini Christian. Astaga, masih gelap, dan bayangan dia di mimpiku terus berlanjut, meresahkan dan menggoda di kepalaku.
“Oh… tidak,” erangku. Aku ingin kembali ke dadanya, kembali ke mimpiku. Mengapa dia membangunkan aku?
Sepertinya masih tengah malam. Sialan. Apa dia ingin seks – sekarang?
“Waktunya bangun, sayang. Aku akan menyalakan lampu samping.” Suaranya tenang.
“Tidak,” aku mengerang.
“Aku ingin mengejar fajar denganmu,” katanya, dia mencium wajahku, kelopak mataku, ujung hidungku, mulutku, dan aku membuka mata. Lampu samping menyala. “Selamat pagi, cantik,” bisiknya.
Aku mengeluh, dan dia tersenyum.
“Kau bukan orang yang suka bangun pagi,” bisiknya.
Melalui cahaya yang redup, aku memicingkan mata dan melihat Christian membungkuk, tersenyum. Geli. Geli melihatku. Sudah berpakaian! Warna hitam.
“Aku pikir kau menginginkan seks,” aku menggerutu.
“Anastasia, aku selalu menginginkan seks denganmu. Rasanya menyenangkan mengetahui bahwa kau merasakan hal yang sama,” katanya datar.
Aku memandang dia saat mataku sudah bisa menyesuaikan dengan cahaya, tapi dia masih terlihat geli … syukurlah.
“Tentu saja aku menginginkannya, hanya saja tidak pada waktu yang masih terlalu larut.”
“Ini bukan masih larut, ini sudah pagi. Ayo – kau harus bangun. Kita akan jalan-jalan keluar. Nanti aku akan menagih seksnya nanti.”
“Aku tadi bermimpi menyenangkan,” aku merengek.