Bag 33 (Ruang BK 1)

337 32 1
                                    

Nama selanjutnya ikut mengacungkan tangan.

"Kalian berdua ikut saya ke ruang BK!"

Semua mata siswa di kelas tertuju kepada dua orang itu. Keduanya bangkit dari bangku, mengikuti perintah. Hari itu adalah hari pertama mereka menerima panggilan menuju ruangan Badan Kesiswaan yang sering disebut tempat penghakiman bagi para siswa bermasalah. Betapa berat langkah yang dirasakan Andhin ketika harus berjalan menuju ke sebuah ruangan yang sangat horor bagi reputasinya.

Sesampai di ruang BK, terlihat beberapa orang telah dikumpulkan untuk duduk bersama. Di hadapan seorang guru BK, duduk tiga orang orang siswa yang terlibat perkelahian kemarin, dan seorang pria paruh baya berpenampilan rapi-terlihat seperti orang tua siswa.

Mereka semua dikumpulkan untuk merundingkan peristiwa kemarin saat jam pulang sekolah. Guru BK sekolah-Bu Sasmi segera membuka pembahasan tentang perkelahian antar siswa yang telah terjadi kemarin.

"Ya, terimakasih kalian semua udah mau datang ke sini. Kemarin saya dapat kabar kalau Pandu, Fery, Septian, Yuda sama Azil berkelahi di dekat gerbang sekolah. Fery sekarang lagi ada di rumah sakit. Bapaknya sudah hadir di sini." Bu Sasmi menunjuk lelaki dewasa berkumis yang turut hadir. "Kalian bisa lihat rekaman CCTV yang udah kita dapatkan." Sang guru membalikkan laptop menunjukan layar yang menampilkan video rekaman peristiwa perkelahian kemarin.

Lima orang siswa menyaksikan lagi peristiwa yang masih menyisakan trauma. Ketika ancaman bahaya tertuju pada mereka semua. Rekaman yang diperlihatkan berlangsung 4 menit lebih. Setelahnya, Bu Sasmi mengulang durasi video dan menekan tombol jeda untuk melihat awal peristiwa. Matanya tertuju kembali pada semua yang hadir.

"Ada yang bisa jelaskan waktu Fery samperin Andhin ini maksudnya untuk apa?"

"Fery cuma iseng aja godain Andhin. Tapi Pandu tiba-tiba mukulin dia. Jadi kita kepancing emosi," jelas Septian---salah satu dari teman Fery.

"Enggak, Bu. Fery bukan cuma godain, tapi dia nepuk pantat Andhin." Pandu frontal menimpali kronologi sebenarnya.

Pernyataannya yang naif itu justru membuat Andhin terperangah merasa risih melihat teman dekatnya.

"Jadi yang bener yang mana, nih? Di sini rekamannya gak begitu jelas. Apa ada tanda kalau Fery pegang punya Andhin di sini?" Sang guru BK kembali memutar video untuk mengamati lebih detail.

Tangan Pandu menunjuk pada salah satu adegan. "Nah itu, Bu. Waktu Andhin baru aja ngedorong, Fery ngikutin dari belakang, udah gitu nepok pantatnya. Saya kebetulan ngikutin Andhin sampai gerbang sekolah. Pas lihat Fery kurang ajar, saya langsung aja hajar dia."

"Enggak Bu, itu Fery cuma ngegodain Andhin bukan nepok pantatnya." Siswa bertuliskan nama Yuda di seragam putihnya mencoba memberikan pembelaan.

"Udah, kalian diam dulu." Bu Sasmi beralih mengarahkan perhatian pada satu-satunya siswi yang ada di ruangan. "Andhin, yang benar kejadiannya kayak gimana?"

Yang ditanya menunduk sejenak sebelum menatap sang guru untuk menjawab. "Iya, Bu. Fery nepok pantat saya. Itu kejadian yang kedua kali. Sebelumnya Fery pernah... pegang dada saya waktu di lantai dua."

"Kamu gak pacaran kan sama Fery?" Pria berkumis dengan suara berat menimpali pernyataan Andhin.

Yang ditanya menjawab dengan lirikkan kesal. "Enggak."

Bu Sasmi mulai mengarahkan perhatian penuh sang orang tua siswa. "Kalau dari Bapak sebagai orang tuanya Fery mungkin bisa ikut jelasin permasalahannya ke mereka?"

"Gini ya. Dek. Anak saya itu kemarin harus dibawa ke rumah sakit. Tulang hidungnya patah, sekarang harus dioperasi. Dia sampai pingsan waktu dipukulin sama perempuan yang lagi jemput adek ini." Sambil menunjuk pada Andhin. "Siapa sebenarnya perempuan itu. Apa saudara kamu?"

"Dia temen saya, Pak," ucap Andhin lesu.

"Pokoknya dia harus bertanggung jawab. Atau saya lanjutin perkara ini ke kepolisian atas dasar penganiayaan!"

Bentakan pria itu sontak membuat Andhin kian terpojok. Tatapannya kosong menunduk menghindari kontak mata.

"Tapi Andhin udah dilecehin sama anak Bapak!" sambar Pandu pada si pria paruh baya.

Sontak pria itu tak terima diperlakukan kurang sopan oleh seorang remaja. "Emang dampaknya sebesar apa dibandingin anak saya yang harus dioperasi?!"

Bu Sasmi berusaha menetralkan suasana. "Iya sabar Pak, kita coba selesaikan masalahnya disini."

Tatapannya kembali mengarah pada satu-satunya siswi di ruangannya. "Andhin, kalau sekarang kamu bisa telepon atau panggil temen kamu itu ke sini? biar kita bisa diskusi sama-sama. Atau kalau gak bisa mungkin orang tua kamu bisa ikut berunding sama kita di sini?"

"Iya Bu, sekarang saya coba telepon temen saya." dengan tangan yang gemetar, Andhin mengambil ponsel dari saku roknya untuk segera menelepon orang yang dimaksud. Batinnya kacau, entah apa yang akan terjadi pada mereka berdua. Perhatian semua orang di ruangan itu tertuju padanya.

Di balik telepon itu, Dara yang masih sibuk melayani pelanggan di bengkel harus menerima telepon di tengah pekerjaan.

📞

Halo, Teh. Sekarang lagi sibuk, gak?

Iya nih lagi sibuk. Ada apa, Dhin?"

Aku sekarang lagi di ruang BK. Lagi ngurusin masalah yang kemarin. Teteh sekarang bisa ke sini gak?

Aduh,bisa nanti aja gak? Sekalian pulang sekolah aja deh ya. Aku masih banyak kerjaan

Teh, bapaknya cowok yang kamu pukulin kemaren pengen ketemu kamu buat bahas ini. Dia sekarang patah tulang hidung, harus dioperasi di rumah sakit

Oke, oke. Kalau gitu kasih hp kamu ke si bapak itu. Aku pengen ngomong sama dia

Tapi Teh

Kasih atau aku tutup aja teleponnya!

Permintaan itu dituruti Andhin meski seluruh tubuhnya mulai mengeluarkan keringat dingin. Ia menyerahkan ponselnya pada Ayahnya Fery. Berharap tidak akan terjadi keributan lewat interaksi telepon diantara mereka.

Halo. Dengan Mbak kemarin yang mukulin anak saya?

Iya, emang kenapa?

Maksud kamu apa ikut mukulin anak saya sampai hidungnya patah?

Masih mending cuma saya pukul, gak saya bunuh

Nantang ya kamu. Mau saya penjarakan?

Next Chapter 🔽

About D ( Her Secret ) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang