Biru POV
Tidak tahu apakah Saga juga tertarik membagiku dengan orang-orang diplanetnya. Atau menjadikanku tokoh utama dalam ceritanya nanti. Atau pula memasukkan namaku di list peran pendukung ceritanya.
Dua minggu sudah berlalu. Jangan tanya apa yang berubah, aku juga tidak tahu. Aku bingung. Sudah masuk hari ke enam, kami, hmm maksudku, aku dan Saga tidak bertemu. Dalam artian tidak berbincang lebih lama dari biasanya. Maksudku lagi, semua terasa berbeda tapi aku tidak tahu apa yang telah diubah waktu. Semua diluar kendaliku.
Beberapa kali aku kerumahnya, memastikan semuanya baik-baik saja. Tapi, Saga seperti menghindar. Bahkan kemaren aku harus pulang tanpa bertemu dengannya lebih dulu.
Hari ini pun sama, Saga bilang ia tak bisa mengantarku pulang. Kali ini, ia tak menemuiku lebih dulu dijam istirahat. Ia hanya mengirim sebuah pesan melalui via sms.
'Dia sibuk, Bi.' Aku membatin, berusaha untuk tak berlebihan.
Sepulang sekolah, aku memilih melipir dari hiruk pikuk. Inilah duniaku. Dibawah pohon rindang, ditaman sekolah. Kebiasaan baruku, akhir-akhir ini. Aku duduk sendirian. Sunyi sekali disini. Cuacanya cukup cerah. Tidak terik pun tidak bisa dikatakan mendung. Anginnya cukup bersahabat. Berada disituasi seperti ini selalu mampu membuatku merasa pulang.
Pikiranku menerawang, berkelana jauh sekali ke depan. Aku hanya memandangi sampul buku ditanganku, tanpa berniat membukanya. Tatapanku kosong. Barangkali hatiku juga ikut kosong.
Sampai saat dimana sebuah tangan terulur berikut sekotak tissue mendarat diatas buku itu secara tiba-tiba. Aku kaget, tentu saja. Aku menatap tissue itu kebingungan. Lebih bingung lagi ketika mendapati seorang laki-laki berkacamata, mengenakan hoodie berwarna abu-abu. Potongan rambutnya seperti mangkok terbalik dengan poni menyentuh sedikit alisnya.
Ah iya, aku ingat sekarang. Ketimbang culun dia lebih terlihat seperti Park Chan-yoel, salah satu personil EXO yang digemari anak-anak The Gringos. Tetapi, jika diteliti lebih jauh, wajahnya sama sekali tidak meninggalkan kesan indonesian manly.
Bagiku, EXO adalah ujian pertama yang harus aku lalui ditengah-tengah usahaku untuk memasuki dunia mereka. The World of Gringos. EXO adalah kuncinya. Aku tidak akan pernah lupa masa-masa itu.
Laki-laki itu berdiri disebelah kiriku. Menatapku lamat-lamat.
'Kenapa? Kenapa aku dikasih tissue, ya?'
Belum sempat tanya itu mengudara, dia lebih dulu bersuara.
"Gue nggak pernah tahu kalo buku matematika bisa sesadis ini." Katanya, kemudian dia menunjuk area bawah matanya sendiri.
Terlihat seperti sebuah isyarat. Aku jadi ikut-ikutan meraba area wajahku. Dan voila, disana ada airmata. Lebih parah lagi, aku tidak menyadari kenapa dan untuk apa airmata itu terjatuh. Mengaliri pipiku.
'Masa iya aku nangis?'
Dia tersenyum. Dimatanya, aku pasti terlihat bodoh sekarang.
"Pake tissue." Katanya, ketika aku memilih mengusap airmata itu dengan tangan.
'Tidak mau dan tidak akan.'
"Nggak, makasih." Aku kembali menyodorkan tissue itu kearahnya.
Lagi-lagi ia tersenyum. Menyebalkan.
"Aru palakka. Panggil aja Lakka." Dia menyodorkan tangannya kearahku.
Aku hanya diam memandangi. Tidak berniat menyambut uluran tangannya. Setelah kubiarkan cukup lama tangannya tergantung diudara. Dia kembali menarik uluran tangannya, memilih menyimpannya ke dalam saku hoodie.
'Orang asing.'
Aku mendengus kemudian berdiri, beranjak dari sana, dan memutuskan melangkah menuju halte. Tapi, segera kuurungkan. Di depan sana, halte sudah terlihat dipenuhi segerombolan siswa laki-laki dengan penampilan urak-urakan. Mereka bukan siswa sekolahku, itu tampak dari seragam yang mereka kenakan. Aku jadi ragu. Mereka pasti berandalan.
"Efek halo." Lakka tau-tau sudah berdiri disampingku.
Aku menoleh, menatapnya. Meminta penjelasan.
"Fenomena bias kognitif. Sering terjadi ditengah-tengah masyarakat, dimana persepsi satu sifat mempengaruhi sifat yang lain." Dia menjelaskan, matanya menatap lurus kearah gerombolan siswa di halte.
"Kayak yang lo lakuin sekarang." Tambahnya.
"Hah?" Itu reaksiku. Memangnya aku melakukan apa?
"Mau ke halte, kan?" Aku mengangguk ragu, memberinya jawaban.
"Tapi, gak jadi karena penampilan mereka yang urak-urakkan." Aku mengangguk lagi, kali ini dengan yakin.
"Nah, first impression lo ke mereka pasti udah buruk, karena penampilan mereka. otak lo otomatis kasih ultimatum, mereka harus dijauhi, mereka pasti berandalan. Padahalkan belum tentu." Tepat sasaran, orang asing ini benar.
"Itu gak sepenuhnya salah dan gak sepenuhnya benar. Tapi, bisa dimaklumi." Lakka tersenyum.
"Gue juga mau kesana, tapi gak jadi."
"Kenapa?" Aku menyipitkan mata kearahnya.
"Kalo lo gak nyaman, kenapa harus dipaksa." Aku mendengus, ternyata Lakka ini jenis orang yang punya mulut besar.
"Efek halo itu melekat disetiap diri manusia, tanpa terkecuali gue. Kadang itu juga berguna sebagai insting." Dia kemudian melenggang pergi, aku terpaku ditempat.
Lenguhan panjang klakson-klakson kendaraan di jalan raya, mengembalikan kesadaranku.
'Dia manusia seperti apa? Datang tiba-tiba, pergi gitu aja.'
°°°
Gimana kabarnya?
Aku denger kamu lagi ngerasa kek ditinggalin gitu aja. Kamu hancur. Parah. Ngerasa kek lagi diputusin padahal jadian aja gak pernah.
Gapapaaaa. Kadang kecewa datang setelah kita berharap kepada manusia. Wajar kok. Gak boleh gitu ah, nyalahin diri sendiri apalagi orang lain.
Percaya deh, waktu itu obat yang paling ampuh untuk lukamu. Barangkali dia memang bukan pasangan sepatu yang kamu cari. Jadi gak pas. Nanti, kalo jalan kamu yang ketinggalan atau bisa jadi dia. Atau jalannya malah jadi aneh. Iya, kan? 😃
Aku do'akan semoga tetap baik, tetap sehat dan kuat menjalani hari-hari, entah itu kamu sebut hari bahagiamu ataupun itu hari sedih, hari dukamu.
😇😇
KAMU SEDANG MEMBACA
CROWN SHYNESS
Teen FictionKarena berpaling darimu adalah caraku menyayangimu dan diriku sendiri. _____________________ Thankyou for your constant love and support.