01 = JANJI

20 2 1
                                    

Ibu pernah menasihatku dulu, jauh sebelum ia pergi. Banyak sekali yang beliau utarakan padaku. Tentang menjadi anak yang harus menghormati ayahnya, tentang menjaga kerukunan antara aku dan kelima saudaraku, juga tentang bagaimana menjadi anak laki-laki yang kuat.

Ibu juga bilang kalau aku tidak boleh terlalu emosi. Apalagi kalau harus meluapkannya, seperti membentak sampai meninju orang sekitar, merusak dan membanting barang-barang yang ada.

"Itu hanya akan merugikan dirimu sendiri dan juga orang lain," batuk membuat nasihatnya terjeda. Aku buru-buru meraih gelas di atas nakas dan menyerahkan kepada ibu yang beranjak duduk. Wajah ibu memucat, membuatku khawatir dengan kondisi beliau yang tak kunjung pulih belakangan ini. Air di gelas tinggal setengah saat beliau memberikannya padaku, untuk kemudian beliau melanjutan nasihatnya.

"Kalau kamu sedang marah atau kesal, cobalah kamu tahan. Sekiranya kamu tidak sanggup lagi, kamu boleh melampiaskannya tanpa harus merugikan siapa-siapa," ujarnya.

Dahiku terlipat. Bagaimana caranya? Bukankah kalau kita marah menyalurkan emosi dengan melemparkan barang ke segala arah lebih efektif? Atau bisa saja bereaksi dengan tangan kosong jauh lebih melegakan? Tapi sepertinya ibu tidak sependapat denganku. "Ada banyak cara tanpa harus melibatkan kekerasan,sayang. Misalnya dengan berlari? Tidak akan ada yang terluka dan kamu juga diuntungkan karena bisa sedikit berolahraga." Senyum terukir di wajah ibu saat mengakhiri kalimatnya.

Demi melihat itu aku berjanji untuk melakukan semua yang telah ibu katakana padaku. Mungkin dengan begitu aku bisa meringankan beban pikirannya

Dan disinilah aku sekarang. Duduk bersandar di bangku taman dengan kedua kaki yang sengaja ku luruskan, menghalangi jalan. Tidak peduli gerutuan orang-orang yang hamper tersandun karena kakiku. Keringat meluncur turun dari pelipisku. Juga napas yang memburu masih ku atur. Kulirik arloji di pergelangan tangan. Ternyata sudah cukup lama aku berlari sore ini, tapi entah mengapa aku masih merasa kesal.

Ting! Sepertinya satu pesan masuk ke handphoneku. Kurogoh saku training dan mengeluarkan benda pipih itu, yang kini tengah ku genggam.

"Kakak?" gumamku kala membaca nama si pengirim pesan.

Si kembar mengadu padaku, bilang kamu bertengkar lagi dengan ayah. Masalah apa lagi sekarang? Apa kamu gak capek begitu terus? Sudahlah, jadi anak baik-baik dan turuti apa kata ayah, walau itu sedikit menekanmu. Jangan seperti kakak, nanti kamu menyesal.

Aku berdecak saat membaca pesan dari kakak perempuanku. Dalam hati aku merutuk adik kembarku yang tidak bisa menjaga rahasia. Lagipula, kenapa kakak malah membela ayah dan bukannya membantuku mencari jalan keluar untuk masalahku. Kenapa tidak ada yang memahamiku,sih?!

PRANG!!! Handphone ku mendarat mulus di atas aspal. Terlihat retakan menghiasi layar. Kulepas kacamata yang sedari tadi turun, menaruhnya tepat di sebelahku, menghela napas panjang. Aku mengusap wajah, mencoba mengandalikan emosiku. Seketika aku lupa dengan pesan-pesan ibu. Bukannya aku telah berjanji untuk tidak mengingkarinya? Ibu pasti kecewa di tempatnya berada

Aku masih dinaungi emosi kala sebuah suara yang entah ditujukan pada siapa membuyarkan semuanya.

"Masih waras, mas?"

WTF=Way To FreeWhere stories live. Discover now