[11] Melepas Penat

297 16 0
                                    

Semilir angin malam mengajak rambut lelaki itu bermain. Ia memejamkan mata, sejenak merasakan ketenangan itu. Baginya, tidak ada yang lebih penting dari bersyukur. Apapun kondisinya, sudah kehendak yang di atas.

"Bay," ujar Kirana, "aku mau pulang."

Baylor menoleh dengan tatapan lekat, memang gadis di depannya tidak punya waktu untuk berlama-lama bersamanya. Malam semakin larut dan tak terasa sudah hampir pukul sembilan.

Mungkin bagi Baylor masih sore, tapi tidak bagi seorang gadis.

Kirana mencengkeram ujung bajunya kuat-kuat, menyadari tidak ada respon apa-apa dari Baylor selain menatapnya. Untuk kesekian kalinya, Kirana salah apa?

"Yuk!" Baylor bangkit sambil mengeluarkan kunci motor dari saku celananya, ia hanya membawa satu helm yang diberikan kepada Kirana.

Ingat kan, bahkan Baylor tidak suka kalau debu macam-macam sama gadis itu.

Kirana memakainya sebagaimana anjuran Baylor, menurunkan kaca helmnya. Setelah itu, menaiki jok penumpang.

"Jangan ngebut, Bay. Nanti masuk angin." Kirana memberi peringatan kecil agar Baylor mengendarai motor dengan kecepatan standar, apalagi jalanan Ibu Kota yang seolah semakin malam semakin ramai.

Jakarta itu kasihan, kota yang enggak pernah tidur. Jakarta dipaksa jadi pemuas orang-orang di dalamnya. Mereka berekspetasi berlebihan sama kota itu, sampai-sampai banyak yang bergantung hidup di sana. Tapi, pernah gak mikir Jakarta bicara gini,

"Aku mau istirahat."

Jangan sampai, ya.

Baylor mengangguk. Sebelum benar-benar pergi, ia menoleh pada gadis itu. Tatapan penuh arti yang seolah menyuruh Kirana berpegangan.

"Eh iya, lupa." Gadis itu buru-buru melingkarkan tangannya.

Sekarang, sudah beres. Ia pun langsung menancapkan gas. Selama di perjalanan, hanya angin malam dan suara bising kendaraan yang memecah keheningan. Mereka menciptakan dunia sendiri dengan cara berdiam-diaman.

Menyesakkan.

Sampai tiba di kediaman Kirana, motor tersebut menepi.

"Na?" Baylor menoleh dan mendapati Kirana tertidur di atas pundaknya. Jadi, daritadi beban berat itu kepala Kirana? Baylor kira perasaannya saja.

Kirana bergumam kacau sambil mengerjap-ngerjapkan matanya yang merah dan berair. Sesekali juga menguap lebar. Baylor yakin Kirana benar-benar mengantuk.

"Aku masuk ya, Bay. Hati-hati, daaahh...." Gadis itu melambaikan tangan sebagai lambang perpisahan.

Kali ini, Baylor tidak langsung pulang. Ada sesuatu yang ingin lelaki itu urus lebih dulu, ia mengendarai motornya ke suatu tempat setelah memastikan Kirana masuk dengan aman.

***

"Lo ke sini cuma mau minta maaf?" Nata menjatuhkan bokong di samping lelaki itu, tangannya menyodorkan beberapa makanan ringan dan sekaleng minuman bersoda.

Sementara itu, Nata juga membawa asbak dan rokok untuk dirinya saja. Karena tahu kalau Baylor golongan anti rokok.

"Iya, bre." Meruntuhkan segala ego dan gengsinya lelaki itu menganggukkan kepala. Benteng yang terbangun di antara keduanya dilapisi ego dan gengsi yang berbahaya, makanya Baylor berusaha meruntuhkannya dengan cara meminta maaf lebih dulu.

Kalau tidak ada yang memulai meminta maaf, semua akan semakin memburuk. Ia tidak mau pertemanan hancur hanya karena masalah sepele.

Baylor [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang