"Permisi, Pak. Saya disuruh kepala sekolah buat manggil Baylor Sagara Putra." Siswa tersebut berhasil membuat kelas menjadi hening akan kehadirannya di sela-sela KBM.
Hingga Pak Purnomo yang sedang mengajar menghentikan sejenak kegaitannya dan beralih pada Baylor yang letaknya di pojok. Bukan hanya Pak Purnomo, melainkan seluruh mata yang ada di sana.
Gery selaku teman sebangku melempar tatapan penuh tanda tanya, yang dibalas Baylor dengan angkatan bahu.
Tiba-tiba Restu berbisik ke belakang, "Apa gara-gara masalah Jessie?"
Sekali lagi Baylor mengangkat bahunya, ia benar-benar tidak tahu apa alasan kepala sekolah itu memanggilnya. Atau sebenarnya ada yang perlu disampaikan kepada orangtuanya lewat perantara Baylor? Tapi biasanya karena sudah akrab, pihak sekolah jika ada sesuatu langsung menghubungi Dewi.
Dengan kepala yang dirsarangi berbagai pertanyaan, Baylor diminta keluar.
Siswa tersebut kembali berujar ketika Baylor tidak membawa apa-apa, "Katanya bawa tas sekalian sampai pulang."
Lalu, siswa tersebut berjalan menuju Pak Purnomo untuk menyerahkan surat dispensasi.
Baylor menggendong ranselnya setengah bahu, kelewat enteng. Ia sengaja menaruh macam-macam yang menyangkut dengan buku paket di kolong meja. Jenius bukan? Meski sering ditegur, Baylor tetap melakukannya. Sampai benar-benar ada sanksi baru Baylor sedikit jera.
Lelaki itu menyalami Pak Purnomo, lalu bola matanya iseng menyapu ruangan. Mereka--para penghuni kelas terlihat mupeng alias muka pengen. Siapa sih yang gak mau dispen?
Ia berjalan santai menyusuri koridor yang lenggang, Baylor menyapa beberapa guru yang kebetulan berpapasan. Satu di antaranya Pak Dedi, guru BK kelas XI yang mewanti-wanti Baylor di meja piket.
"Baylor!" panggil guru itu dengan nada tinggi.
"Iya, Pak?" Baylor mendekat.
"Ngapain kamu bawa-bawa tas gitu? Mau pulang kampung?!" Pak Dedi berkacak pinggang, dibuat istigfar berhadapan dengan Baylor.
Ia terkekeh, Pak Dedi bisa juga bercanda. "Kampung saya di Jakarta, Pak. Lagian saya bukan pengen pulkam, tapi pengen ke ruang kepsek."
Alis Pak Dedi yang hitam nan tebal itu bertemu, dengan nada introgasi guru itu kembali bertanya, "Ngapain?"
Seperti jawabannya kepada Gery dan Restu di kelas, kepada Pak Dedi pun Baylor hanya menggerakkan bahunya.
Setelah mendapat usiran untuk segera ke sana, ia kembali melanjutkan langkah. Ruang Kepala Sekolah berada di lantai dasar, letaknya bersebelahan dengan ruang Tata Usaha.
Di depan pintu yang besar itu, Baylor menelan ludah. Mendadak pikirannya jadi kacau. Apa benar yang diucapkan Restu? Kalau memang iya, walaupun tindakannya benar untuk melindungi Kirana, tapi sepertinya caranya yang salah.
Ceklek
Suhu dingin menyambut kedatangan Baylor. Seorang wanita yang tak lain tak bukan adalah kepala sekolah atau ketua yayasan, memutar kursi yang membalikkan tubuhnya menghadap Baylor.
Wanita itu lebih dikenal dengan sebutan Bunda. Bunda menrekahkan senyum dan menyuruh Baylor mendekat.
Mendapati wajah Baylor yang tegang, Bunda terkekeh kecil. "Gak usah tengang, Bay. Bunda manggil kamu bukan mau ngasih hukuman, kok." Dikarenakan sudah cukup kenal dengan Baylor, Bunda juga memakai bahasa informal.
"Terus?" Baylor mendongak dengan satu alis yang terangkat.
"Bunda mau kamu wakilin sekolah buat OSN Matematika tahun ini!" ujar Bunda bersemangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baylor [Completed]
Teen FictionBEST RANK : #3 literasiindonesia 21 Juni 2020 #1 literasiindonesia 6 Juli 2020 Baylor itu enggak bakal main-main kalau ada orang yang berani ngusik kehidupannya. Dia itu sosok yang susah ditebak, bahkan dirinya sendiri juga masih bingung. Sama bing...