8• Tentang Seorang Ibu [ √ ]

534 48 2
                                    

"Ketahuilah! Allah menjatuhkanmu untuk mengajarkan kamu berdiri lagi bukan menyesali."


¤¤¤¤¤

Langkah Nafisa terhenti di jalan tak jauh dari taman rumah sakit, samar-samar ia mendengar suara isak tangis seseorang.
Salahkan sikap keponya yang membuat Nafisa bukannya lekas ke ruangan Azka, namun malah berjalan mencari tahu dari mana asal suaranya. Gadis yang saat ini mengenakan hijab merah maroon itu mengedarkan pandangan menatap segala penjuru.


Dan di sana, duduk di salah satu kursi taman seorang diri, wanita yang sepertinya tidak lagi muda tengah menangis tersedu-sedu. Di jam masih sepagi ini, apa alasan ibu itu menangis. Apakah keluarganya di rawat di sini dan memiliki penyakit parah. Nafisa berjalan menuju ke arah wanita itu, tanpa permisi duduk di sisi yang kosong.

"Ibu baik-baik saja?" tanya Nafisa tak tega melihat wanita paruh baya itu menangis.

"Saya baik-baik saja, Nak. Hanya sedikit sedih," jawabnya sembari menghapus air mata di pipi.

Nafisa segera mengeluarkan tisu dari dalam tas dan memberikannya. Ia tengah berpikir, masih memproses perkataan ibu ini. "Baik-baik saja tapi kok sedih, bukannya itu artinya lagi gak baik? Itu juga, memangnya ada sedikit sedih? Bukankah yang namanya sedih tetep sedih, entah itu banyak atau sedikit."

Jangan salahkan Nafisa kalau lama memprosesnya, ia hanya sedikit tidak mengerti. Sedikit, dan berarti tidak ada setengahnya. Oke, abaikan hal itu. Sekarang mari menghibur ibu ini. Yang pertama harus dilakukan adalah mencari tahu kenapa beliau menangis.

"Kalau boleh tau kenapa, Bu? Mungkin saya bisa bantu. Ibu gak sendiri, banyak yang baka bantu ibu di sini." Jiwa kemanusiaan dan kekepoan Nafisa semakin bersemangat. Ayolah, hitung-hitung pahala. Lagipula, bukankah memang tugasnya sebagai calon dokter untuk membantu. Meski ini di luar jam kerja.

Perempuan paruh baya itu menatap Nafisa intens, seakan menilai tawaran yang baru saja Nafisa tawarkan. Dia seakan menilai dari raut wajah Nafisa yang tersenyum menenangkan.

Lalu ibu itu menghela nafas lelah. Seakan beban yang ditanggungnya benar-benar berat.
"Anak saya salah satu dokter di sini," tutur wanita paruh baya itu mengawali cerita. d

Seorang dokter di sini, Nafisa yakin ia mengenalnya. Walau tidak akrab Nafisa hampir tahu semua nama dokter di rumah sakit. Atas bantuan David, ia mampu mengetahui nama-nama orang penting di rumah sakit hanya dalam waktu satu bulan. Lalu, kira-kira siapa dokter yang di maksud ibu ini. Eh, tunggu....

Kalau begitu permasalahn ibu ini bukan karena keluarganya sakit. Apa kalau begitu dirinya masih boleh tahu?

"Dia dokter yang hebat." Nafisa kembali fokus pada ibu, menyimak dengan saksama ceritanya, "Anak laki-laki satu-satunya yang saya punya. Anak bungsu kebanggaan saya sebagai seorang ibu. Saya bangga salah satu anak saya ada yang menuruni bakat suami saya menjadi dokter, tapi saya juga sedih."

"Kenapa?" tanya Nafisa penasaran, bagaimana bisa sedih di saat anaknya berjaya. Bukankah itu prestasi yang membanggakan.

"Karena saat dirinya berhasil, dia harus kehilangan seseorang yang sangat dicintainya." Tangis ibu itu kembali turun. Nafisa mengusap pundaknya menguatkan. Pasti berat menjadi ibu ini.

"Yang lebih menyakitkan bagi saya adalag karena anak saya menyalahkan Tuhan atas perginya seseorang yang dia cintai. Hingga akhirnya dia melupakan jati dirinya sebagai seorang makhluk ciptaan Tuhan. Menentang Tuhan dengan tak mempercayainya lagi."

Usapan di pundak terhenti. Nafisa membelalak kaget, ia membungkam mulutnya tak percaya, bagaimana bisa menyalahkan Tuhan, apa laki-laki itu begitu kehilangan hingga tak berpikir jernih. Tapi tidakkah ia sadar bahwa semua yang ada di dunia hanya titipan.

Dear Doctor (Complete) [Tahap Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang