Berhenti Berharap.

300 30 14
                                    

ini panjang banget serius!





Tanpa terasa waktu terus berjalan tanpa mengerti ada kebahagian yang belum tercapai. Terkadang aku ingin menghentikan waktu disaat aku merasa bahagia agar kebahagiaan yang saat itu dirasa tidak akan berhenti. Aku selalu ingin bahagia menjalani hari bersama Adlan yang notabennya adalah laki-laki yang aku sayang melebihi sayang seorang teman. Tetapi aku dipaksa atau lebih kejamnya aku harus menghentikan hatiku untuk terus mencintainya agar aku tidak terus berharap lebih dengan kehadirannya di hidup dan hatiku. Bukan hanya semesta yang tidak mendukung aku bersamanya, tetapi orang-orang sekelilingkupun tidak memberi dukungan. Bahkan orangtuaku sendiri memintaku tidak menaruh hati atau berharap lebih dengan semua perhatian Adlan padaku. Mereka semua mengingatkanku bahwa Adlan adalah milik Kak Mecca sejak satu tahun lalu atau mungkin selamanya mereka memberi label,





Adlan milik Mecca!







Aku menyukai Adlan sejak lima tahun lalu! Katanya, kalau kita menyukai seseorang melebihi empat bulan itu artinya kita sudah mencintainya. Itu artinya aku bukan lagi menyukai Adlan, melainkan aku juga sudah mencintainya tanpa melihat status Adlan yang notabennya Pacar Mecca! Dulu sebelum aku menyukainya, aku hanya menganggapnya sebagai teman karena ia anak dari sahabat Bia. Tetapi Adlan mengatakan bahwa ia akan mengajakku pacaran saat nanti aku besar dan akan menikahiku ketika kami dewasa. Nyatanya? Sebelum aku besar, ia sudah menjadi pacar gadis lain dan apakah ketika aku dewasa ia tetap menepati janjinya untuk menikahiku atau ia harus menikahi Kak Mecca? Aku belum bisa menjawabnya atau mungkin aku tidak mau menjawabnya karena kenyataannya hubungan Adlan dan Kak Mecca adalah hubungan serius antar keluarga. Aku yakin dan percaya bahwa sampai kapanpun aku tidak akan pernah bisa memiliki Adlan.

"Kamu kan udah kelas sebelas, apa kamu enggak mau naik motor aja, Nak?"

Aku menghela nafas panjang dengan hembusan kasar. Entah sudah beratus kali Baba menanyakan pertanyaan yang sama. Aku sudah menolak, kalau kesekolah aku tidak ingin naik motor atau mobil. Aku lebih nyaman naik kendaraan umum seperti angkot atau kereta.

"Biar lebih irit waktu." Lanjutnya.

"Jual aja motornya." Ketusku.

"Aiihhh... Kamu nih dikasih tau orang tua malah ketus begitu. Emangnya boleh?" Kesal atau mungkin Baba sedang menegurku.

"Baba, Ayahku... Aku kan enggak minta dibeliin motor. Aku lebih nyaman naik angkot atau kereta. Kalo nanti aku butuh atau ingin naik motor, bakalan aku pake kok motornya."

"Naik angkot itu sumpek, naik kereta juga desek-desekan. Apa nyamannya deh." Celetuk Bimaa yang duduk dihadapanku.

"Enggak usah ikut campur! Sekolah aja dulu yang bener!"

"Dasar iblis"

"Eh lo yang sopan ngomong sama kakak lo!"

"Kayak lo sopan aja ngomong sama Baba."

"Ishh..."

"Gini aja deh, kalo berangkat biar Baba antar aja. Kalo pulangnya baru deh terserah kamu." Putuskan Baba.

"Hmm."

"Jawab?"

"Iya Baba."

"Iya apa?"

"Iya di antar Baba kalo sekolah. Pulangnya bebas."

"Kamu mau bawa bekal enggak?" Tanya Bia setelah melihat aku menyelesaikan sarapan.

Tinggal KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang