Bag 35 (Ambigu)

356 33 0
                                    

Dara menyeringai remeh mengangkat satu sudut bibir. Berpaling pandang sejenak ke samping, lalu menatap lagi secara empat mata wajah gadis remaja tanggung di hadapannya. "Oh aku ngerti. Kamu nanya gitu cuma karena aku pernah pacaran sama cewek? Kamu kira dunia aku sesempit itu?"

Gadis remaja di hadapannya menundukkan wajah ketika melangkah lebih dekat. "Maaf, kalau Teteh tersinggung. Oh iya, soal ganti rugi. Orang tua aku bakalan ikut bantu biaya pengobatan Fery sebisanya."

"Dhin, jangan bayar apapun ke pelaku. Aku yang buat dia celaka, biar aku aja yang bayar!"

"Ini." Satu tangan Andhin mengembalikan kunci duplikat gudang yang pernah diberikan untuknya. "Makasih buat semuanya. Kayaknya kita gak bisa deket lagi. Aku baru aja dikeluarin dari tim." Lalu membawa bola basket miliknya yang selalu ia simpan di ruangan kosong yang pernah menjadi tempat paling spesial. Rasa kecewa tak bisa disembunyikan melihat seseorang yang telah membangun mimpi sekaligus menghancurkan impian itu dalam sekejap. Tanpa sepatah kata pamit, ia pergi meninggalkan Dara sendirian.

Baru saja beberapa langkah ia ditinggalkan, Dara berbalik badan memandang ke mana gadis remaja tanggung itu pergi. "Andhin, aku emang sayang sama kamu. Tapi bukan itu maksudnya!"

Yang dipanggil sama sekali tidak menghiraukan. Ia tetap melangkah semakin jauh.

Keduanya sudah tak mengerti bagaimana cara memahami perasaan masing-masing. Menjauh adalah satu-satunya cara yang bisa dilakukan. Meski rasa sesak terus terasa di dada.

Beralih duduk termenung menyandarkan punggung di sudut tembok gudang. Dua bola matanya berlinang kala menatap ring basket yang masih menempel di dinding. Sebuah benda yang mulanya menyimpan seribu harapan. Meski semua usaha itu ternyata sia-sia.

Sementara Andhin yang baru saja tiba di depan rumahnya, melangkah lesu menuju ke dalam kamar. Menutup rapat pintunya dan membanting penuh emosi bola basket yang ia bawa hingga memantul tak tentu arah membentur barang-barang sekitar. Berlanjut melemparkan tasnya ke lantai.

Duduk di tepi ranjang tidur, ia melihat-lihat lagi kumpulan foto yang pernah diunggah di media sosial. Melihat salah satu foto yang menampilkan dua pasang kaki perempuan dengan latar belakang pemandangan malam, lalu menghapus unggahan itu. Setidaknya ia bisa menghapus jejak digital yang masih tertinggal untuk memperbaiki citranya.

Dengan punggung tangan, Andhin kembali menyeka air mata yang masih mengalir di pipi.

***

Suara-suara gunjingan aneh dari sekelompok siswa terdengar samar ke telinga Pandu ketika berjalan di sekitar kantin sekolah. Sekilas ia mendengar kata 'anak basket', 'mantan Kevin, 'ciuman' dan 'biseks' yang membuat dirinya spontan menoleh ke arah mereka. Matanya memicing mencoba mengingat sesuatu.

Ia lalu pergi berjalan cepat bergegas meninggalkan kantin. Perhatiannya tertuju ke berbagai arah seolah mencari seseorang yang harus ditemui. Tak jauh dari kelasnya, ia melihat Dito yang tengah asyik berbincang dengan teman-temannya yang lain. Segera Pandu menarik tubuh sahabatnya itu untuk berbicara lebih dekat. Bersiap memelankan suara ketika ada topik sensitif yang harus dibicarakan.

"Eh, To. Maneh cerita ke siapa aja soal kita yang pernah ngintip Andhin waktu itu?" Pandu menatapnya tajam.

"Cerita apa? Perasaan gak cerita ke siapa-siapa deh."

"Gak mungkin. Semuanya udah bocor ke anak-anak kelas lain. Dan yang tahu kejadian di dalem gudang waktu itu cuma kita berdua. Maneh nyebarin cerita ke siapa aja?"

Dito mulai tampak gugup hingga tak bisa menatap balik lawan bicaranya. "Urang gak cerita sama siapa-siapa, kok. Cuma cerita waktu ngobrol sama si Nita doang. Itu juga secara rahasia."

"Goblok!" Spontan Pandu mendorong kasar hingga punggung Dito membentur tembok. "Maneh gak tahu apa kalau si Nita mulutnya kayak ember?! Dia pasti udah bocorin cerita itu ke yang lain."

"Yaa... urang juga gak tahu. Yang jelas waktu itu Nita janji gak akan bilang ke siapa-siapa."

Tatapan Pandu semakin menyorot tajam. "Gak ada yang namanya rahasia kalau udah masuk telinga cewek ember itu! Maneh juga sama embernya kayak Nita. Kalau udah kayak gini Andhin bisa makin down. Dia kemarin baru aja dikeluarin dari tim basket!"

"Ya maaf, urang juga gak tahu kalau bakalan kayak gini." Dito semakin lesu merengut malu.

Tanpa mau memperpanjang perdebatan, Pandu langsung melihat suasana kelas dari jendela untuk memastikan keadaan teman sebangkunya. Terlihat dari sana Andhin tengah duduk menyendiri di kelas sembari mengoperasikan ponsel untuk mengisi kehampaan. Kepalanya tertunduk beku hanya fokus menatap layar ponsel. Matanya tampak sayu seolah menggambarkan kegalauan yang ia rasakan.

Gadis itu menjadi sering menyendiri. Demi menghindari topik pembicaraan aneh tentang dirinya, ia selalu menghindari interaksi dengan teman-temannya di sekolah. Kini tak ada lagi klub basket kebanggaannya. Juga tak ada lagi hubungan yang semula terasa ambigu baginya.

Melewati area pinggir lapangan untuk segera pulang meninggalkan sekolah. Jam pulang sekolah di hari itu seharusnya menjadi jadwal latihan. Namun, Andhin hanya bisa melihat sekumpulan siswi yang mengenakan kaos merah tanpa lengan yang adalah Jersey kebanggan nama sekolahnya. Mereka telah berkumpul bersiap melakukan latihan di tengah lapangan sekolah.

"Andhin...!" Sebagian teman satu tim memberikan sapaan. Tatapan mereka masih bersahabat saat menyapa. Begitu juga Andhin yang membalasnya dengan senyuman serta lambaian tangan kepada mereka.

Namun beberapa dari mereka malah melihatnya dengan tatapan yang merendahkan. Seolah senang melihat salah satu rekan satu timnya tak bisa kembali berlatih.

Dari kejauhan, Pandu melihat teman sebangkunya berjalan sendirian meninggalkan area sekolah. Benaknya terpikir untuk berjalan mendekati seorang guru olahraga. Namun tiba di sana, entah mengapa ia malah terdiam berdiri di belakang Pak Edi yang tengah memantau kegiatan latihan tim basket putri.

Hingga kehadirannya tertangkap oleh sang guru olahraga. Pandu masih termenung kaku dengan wajah polos. "Eh kamu! ngapain diem aja di sini?"

Tak langsung menjawab, ekspresi wajah Pandu tak berubah ketika ditegur. Arah mata Pak Edi beralih melihat tim basket putri yang sedang berlatih, lalu kembali menoleh ke arahnya.

"Mau lihat cewek-cewek lagi latihan ya? Udah, kamu sana! Cepat pulang ke rumah!"

Tak juga meninggalkan tempatnya berdiri, Pandu terus terdiam menatap sang guru olahraga. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan saat ini.

Next Chapter 🔽

About D ( Her Secret ) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang