🌿 Obrolan Ringan

233 12 1
                                    

“Saya perhatikan dari awal semester, kelas ini memang tidak ada effort untuk sukses,” suara dosen mata kuliah Fisika Terapan berhasil membuat semua mahasiswa kelas A mengheningkan cipta.

Bu Deya menyimpan tumpukan kertas di atas meja sambil menghela napas agak ngegas. “Yang tidak remedial hanya dua orang. Kalian ngapain saja waktu saya nerangin? Tidur?”

Begitulah sesi perkuliahan sore itu berakhir. Setelah puas meluapkan kekesalannya, Bu Deya keluar meninggalkan kelas. Mahasiswa selain dua orang yang beruntung tadi, berhamburan ke meja dosen untuk melihat nilai kuis masing-masing.

“Dip, makasih banget udah mau ngajarin gue.”

Makhluk yang dipanggil Deeva itu menoleh ke sumber suara dan tersenyum simpul untuk menanggapi.

Galan, yang tadi berterimakasih, kini ikut maju ke depan untuk mengambil hasil kuisnya. Ia membawakan milik Deeva juga untuk dibandingkan.

“Wah, nilai lo seratus,” ucap Galan. Matanya masih terpaku pada kertas jawaban keduanya. “Nih. Makasih, ya.”

“Oke, sama-sama,” sahut Deeva mengakhiri obrolan.

Individualis adalah kata yang cocok untuk menggambarkan karakter kelas ini. Padahal jumlah mahasiswanya nggak sampai menyentuh angka 30, seharusnya lebih mudah bagi mereka untuk menyatu.

Tapi kelihatannya nggak ada yang mempermasalahkan itu. Bahkan nggak sedikit juga yang menganggap itu adalah zona yang nyaman. Tak terkecuali bagi Deeva.

Khaerullah
Sudah sesuai titik mba?

Nadeeva TR.
Sudah pak.
Saya pake jaket denim ya.

Deeva yang males buat aktif ini-itu, perlahan-lahan mulai menghilang dari peradaban. Mulai membatasi waktu kumpul dengan teman satu divisi, sampai benar-benar stop dari UKM Panahannya.

Bahkan disaat yang lain sibuk nentuin tempat nongkrong, dia malah sibuk ngehindar dari ajakan main teman-temannya. Bukan, nggak sampe ansos kok. Cuma ingin membatasi aja.

Makanya, bagi sebagian orang menjadi individualis itu menguntungkan. Kelasnya nggak perlu repot-repot mikir buat bikin acara, kondisi kelas waktu jamkos juga nggak bakalan berisik. Cukup menguntungkan bukan?

Nèng Deeva, ya?”

Deeva memasukkan ponselnya ke saku jaket. “Iya, Pak.”

Driver ojek online-nya kali ini adalah seorang bapak-bapak paruh baya yang sangat ramah. Sepanjang perjalanan menceritakan ini-itu dan terkadang meminta pendapat Deeva. Mulanya ia merasa tidak perlu untuk menjawab serius, dan hanya akan menjawab singkat agar si Bapak kapok untuk bertanya lagi.

Jarak dari kampus ke toko buku lumayan dekat, tapi sayangnya sore-sore begini pasti macet. Ditambah ada banyak lampu merah yang harus dilalui. Seharusnya, sih, udah sampai sejak sepuluh menit yang lalu.

“Biasanya mah Bapak setiap lewat sini suka nunggu di kolong jembatan itu sambil jajan es cendol,” sesaat setelah menaikkan kaca helmnya, Bapak Ojek menunjuk ke suatu arah. “Soalnya lampu merah di sini lama pisan, Neng. Apalagi macet gini mah bisa-bisa lebih lama.”

Deeva mengikuti arah pandang tersebut. Lahan kosong di bawah jembatan layang itu tampak ramai, beberapanya terdapat penjual yang sedang beristirahat. Ada pula sekelompok anak yang sedang berkumpul di satu titik sambil memandangi papan tulis kecil.

Seulas senyum terukir dari wajahnya. Deeva paling suka pemandangan seperti ini. Terasa menghangatkan hati.

“Hm, bapak mau ke situ dulu?” tanya Deeva ragu-ragu.

Bapak langsung menyahut dengan antusias. “Boleh, Neng. Pokoknya mah harus cobain es cendolnya. Enak pisan!”

Setelah menepikan motornya di tempat yang sudah disediakan, mereka berjalan beriringan ke tempat penjual es cendol yang dimaksud. Deeva sih suka-suka aja.

“Mau pake nangka nggak, Neng?” tanya si Bapak yang dijawab dengan anggukan. “Punten, Ni. Mèsèr es cendolnya dua lengkap.”

Deeva duduk di bangku plastik sambil memandangi hiruk pikuk kegiatan di bawah sini. Ia mengeluarkan ponselnya, berniat untuk mengambil beberapa gambar yang tersajikan di sini.

“Itu tèh kalo nggak salah dari kampus Nèng da,” Bapak Ojek menunjuk kumpulan anak yang Deeva lihat tadi. “Enèng nggak ikutan juga?”

Deeva menggeleng. Bahkan ia baru tahu ada kegiatan semacam itu dari kampusnya. “Setiap hari suka ada, Pak?”

“Nggak apal Bapak juga, Nèng. Tapi setiap hari ini suka ada sampe jam 5an,” jelas Bapak Ojek.

Tak jauh dari sana, terdapat spanduk yang digantung memanjang berwarna perpaduan antara biru muda dan putih. Yang dapat Deeva tangkap, di situ tertulis : Di Atas Rata-rata.

Ah, nama kegiatannya mungkin, ya? Keren juga.

Salut nggak, sih, sama orang yang bisa dan mau meluangkan waktunya buat membantu sesama? Deeva salut banget. Baginya, hal kemanusiaan seperti itu susah banget dilakuin. Harus bener-bener dari hati.

Sekitar dalam sepuluh menit, segelas mminuman manis itu sudah habis. Jalanan pun sudah tidak sepadat tadi.

Hayu Nèng udah mau Magrib,” ucap Bapak Ojek setelah membayar dua gelas cendol tadi. Bapaknya bilang beliau yang traktir, katanya sedang ada rejeki lebih.


Siapa yang bakal sangka, obrolan demi obrolan yang terjadi sepanjang sore tadi dapat membuka pikiran Deeva menjadi jauh lebih luas?

Cerita Tanpa KonflikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang