Matahari di ufuk barat jelas hendak tenggelam. Cahaya hangatnya menembusi jendela ruangan kelas yang seharusnya sudah tak berisi.
Karena momen itu adalah hal langka bagi seorang Insta famous, Salwa meninggalkan meja yang telah kami susun agar lebih lebar untuk mendekorasi kertas karton tugas agama kami.
"Bentaran guys, gue ambil foto dulu."
Aku tertawa saja dan menggeleng melihat tingkah teman kelasku yang kabar hubungannya masih abu-abu bersama rival-nya, Radil. Mereka sepasang teman yang tak sejenis-- kerap berkelahi namun, terkadang pula secara tidak langsung memperlihatkan keromantisan.
Aku masih ingat, pertama kalinya aku melihat mereka bercek-cok mulut kala Radil meminta akun Instagramku dan berujung beradu mulut karena ternyata Radil belum mengikuti balik Salwa.
Apa yang diinginkan Salwa? Pengikut Instagram-nya puluhan ribu. 1 pengikut dari Radil tentu tidak memberi dampak yang signifikan. Intinya, Salwa menginginkan perhatian lebih dari Radil.
"Adelll," Salwa mulai memanggilku. Aku menghela napas. Jangan lagi. Saat menoleh ke arahnya, sesuai dugaanku anak itu tengah merekam kami dan pastinya akan ia bagikan di Insta story-nya. "Indy, Indy. Woi ih balik kali."
"Iya sayang?" Indy mengerucutkan bibir memberikan ekspresi jeleknya ke arah kamera.
"Mau di tag gakkk?"
"Sok ae lah. Kapan lagi masuk snap orang pemes."
"Cailah," tambahku menyengir menggelengkan kepala. "Tag-tag aja."
"Okay zeyang."
Aku melirik jam di tangan. "Gue sholat dulu ya?"
"Okesip Del." Indy memberiku jempol. Jangan tanya, anak gadis itu sedang datang bulan.
"Gak ikut Sal?" Tanyaku.
"Gak sayang. Gue kan udah tadi, karna itu tadi telat gabung."
Aku mengangguk paham. "Gue cabut dulu."
Belum saja beranjak keluar dari pintu kelas, Indy memanggilku, "Del, abis sholat titip beliin spidol dong di photo copy." Aku pun mengangguki.
"ADEL! Sekalian manggil Radil yaa? Tu anak ye enak-enak maen bola di luar. Kita malah ribet ngerjain agama." Aku gemas melihat tingkah Salwa yang mendumel layaknya anak-anak.
Ada-ada saja dua pasangan sejoli ini.
○●○
Area sekolah sudah menyepi. Jam setengah 5, beberapa murid saja yang memang mengisi sore hari sekolah karena kegiatan ekstrakulikuler yang mereka ikuti. Anak futsal, basket, voli dan paskibra.
Sehabis berwudhu, aku pun memasuki masjid yang sudah kosong. Tentu saja kosong karena jam sholat azhar sudah seharusnya selesai sejak bel pulang sekolah kami, di jam 15:45. Tetapi karena sengaja kutunda sebab mengerjakan tugas presentasi agama kami untuk esok harinya, aku pun harus sholat secara munfarid.
Seusai sholat, aku pun segera melipat mukenah. Kakiku berhenti saat seharusnya aku benar-benar hendak keluar dari masjid. Kuputar tubuh seiring langkahku yang mendekati batas sholat laki-laki.
Kupikir hanya aku sendiri saja yang tengah menjalankan ibadah. Ternyata ada orang lain.
Sebenarnya untuk apa kucek orang di sana. Sama sekali tidak penting dan memang kerap kali sering terjadi. Namun, kudengar orang itu mengeluarkan suara yang membuatku mengernyit, bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bully and The Victim
Teen FictionAda takdir yang mampu diubah oleh manusia, usaha untuk memperbaiki dirinya dan yang diimpikannya. Bagaimana ketika dulu ia yang terburuk kini menjadi yang terbaik. Bagaimana ketika mimpinya yang cerah tak secerah milikmu. Dan bagaimana ketika ia...