chapter three

72 12 6
                                    

Aksa memandang ayahnya yang terbaring lemah di atas ranjang pasien dari balik kaca. Ia tidak ingin masuk saat ini. Melihat dari luar saja sudah mengukir retakan hatinya, apalagi jika ia masuk ke dalam? Ia kira akan berserakan kepingan hati di sekelilingnya nanti.

Ia kemudian duduk di kursi tunggu. Menunduk, rasanya ia ingin menangis saja. Kenapa beban yang ia pikul sungguh berat? Ia tidak tahu berapa banyak biaya yang harus ia keluarkan bersama dengan ibunya nanti. Ia sungguh berharap bahwa semesta akan memberi dirinya dan keluarganya keajaiban.

.
.
.

Langit menangis hari ini, awan yang semula menampakkan sinarnya bahkan berganti warna menjadi abu-abu kelam. Sinarnya meredup. Sang baskara yang semula garang menyinari kolong langit yang terik juga bersembunyi entah di mana. Hari itu, hujan turun deras. Seakan membasuh rasa sakit yang menempel pada raga Bram, ayah Aksa.

Angin yang bertiup kencang juga seolah-olah meniup jiwa ayah Aksa yang telah menyelesaikan hidupnya di dunia. Penyakit stroke yang dideritanya tidak sanggup ia lawan. Bram akhirnya menyerah, pasrah ada keadaan yang menghimpitnya, meninggalkan anak lelaki tunggalnya dan istri yang mencintainya. Meninggalkan keluarga kecil yang selalu ia bawa dalam doanya.

Petang itu, petang paling kelam yang pernah Aksa lewati. Ayahnya semula siuman, namun hanya mengucap salam perpisahan sebelum detak jantungnya berhenti. Mengacuhkan Aksa yang hanya bisa berteriak, mencoba membangunkan ayahnya yang bahkan sudah terpejam dan jiwanya menguap. Aksa, dan hujan petang itu.

Aksa dan segala rasa sakitnya, Aksa dan segala cara semesta yang ia rasa tidak adil. Ia bahkan sempat berpikir, apakah ini karma karena ia pernah meninggalkan Tinkerbell-nya waktu itu? Aksa bahkan tidak sengaja meninggalkannya sendiri, Aksa hanya dipaksa pulang oleh ibunya, Aksa bahkan ingin sekali menemukan Tinkerbell-nya.

Rasa bersalah itu kembali menyelimuti dirinya. Rasa bersalah itu akan selalu menghampirinya kapanpun. Di lorong rumah sakit yang dingin itu, Aksa hanya terduduk lemas bersandar pada dinding dengan sorot mata kosong.

Ibunya masih dalam perjalanan ke rumah sakit. Sesekali bulir air itu menumpahkan genangannya yang sudah penuh di pelupuk mata. Ayahnya, orang yang hangat, ia bahkan belum pernah membuat beliau menangis karena terharu. Tapi keadaan berkata lain. Aksa bahkan belum bisa mewujudkan mimpi ayahnya ; ia akan menjadi dokter bedah terbaik seantero Indonesia.

Isakan itu kembali keluar dari bibir Aksa. Cowok yang masih menyandang tas ransel itu hanya bisa mengusap wajahnya gusar. Entah ia harus berbuat apa kali ini. Untuk kesekian kali, mulutnya ingin sekali mengumpat. Mengumpat tentang keadaan yang tidak berhenti menekannya. Mengumpat dengan dunia yang seakan tertawa melihat penderitaannya.

.
.
.

"Iya, bu. Ini Nadin mau pulang juga, tapi hujan." Nadin menggenggam ponsel dengan tangan sebelah kanan, sedangkan tangan satunya lagi menggenggam payung untuk melindunginya dari rinai hujan.

"Udah ada payung kok, bu. Ntar kayaknya, naik taksi online."

Setelah mengucap salam, Nadin mematikan teleponnya. Matanya menyapu keadaan di depan Rumah Sakit Giandra. Sebenarnya ia bahkan belum memesan taksi online. Entah kenapa, ia ingin berjalan-jalan di luasnya lingkungan rumah sakit ini sebentar.

Aneh, memang. Saat hujan begini, Nadin malah memilih untuk mengitari taman rumah sakit. Entah kenapa, cowok bernama Aksa itu masih setia menempel di pikirannya.

Langkahnya pelan tapi pasti, genangan air diinjaknya tanpa ampun. Menciptakan cipratan air di sekeliling kakinya yang dibungkus sneakers berwarna biru dengan gambar awan.

Gadis berbalut dress cokelat muda itu tampak menawan dengan rambut bob berponi yang manis. Bibir piasnya hanya dipoles lipbalm.

Sampai di tengah-tengah taman, Nadin melihat seorang lelaki sedang duduk termenung di bangku. Laki-laki itu hanya menatap satu titik di depannya tanpa membuat gerakan apa-apa.

H I D D E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang